husni mubarok
Siapa pun yang ingin atau sudah menjadi penulis, baik itu
penulis beneran atau penulis amatiran pasti pernah menghadapi pertanyaan yang
serupa.
“eh…ngomong-ngomong, udah bikin buku belum?”
“kapan mau bikin bukunya?”
“udah punya karya berapa?”
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin pertanyaan yang biasa
dan enteng untuk para penulis handal atau boleh lah dibilang penulis best
seler. Mungkin akan dijawab dengan ngucapin hamdalah dan nyebutin judul-judul
bukunya yang udah best seller atau paling tidak sudah beredar di toko-toko
buku.
Tapi bagi para penulis pemula yang –memang- amatiran itu
adalah pertanyaan horror yang akan membawa mimpi buruk semalaman. (hahah,
bercanda ding!). maksudnya, pertanyaan itu hanya akan membuat kita gelagapan
untuk menjawabnya.
Itu bisa terjadi –mungkin- karena banyak faktor. Bisa jadi,
belum menerbitkan satu judul buku pun, atau beberapa kali melamar penerbit,
tapi terlanjur di tolak mulu. Padahal, teman-teman sejawat kita, keluarga kita,
dan semua orang-orang terdekat kita sudah terlanjur tahu, bahwa kita
bercita-cita ingin menjadi seorang penulis handal. Kita sering mengatakan itu
pada orang-orang terdekat kita. Bisa juga karena mereka sering melihat kamu
menulis di setiap waktu luang. Jadi, mereka menyimpulkan bahwa kau sudah
menjadi seorang penulis. Lagi pula, kita juga sering meminta pendapat dan saran
mereka mengenai tulisan kita. Dan –karena mereka buta sastra- mereka bilang
tulisan kita baguus… hmm. Padahal kita baru belajar nulis. Bahkan masih amatiran!
Oke, saya akan mengupas dulu apa sih pengertian amatiran
itu? Kalau menurut KBBI, amatir itu adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar
kesenangan, bukan bermaksud untuk memperoleh nafkah. Misalnya, orang yang
bermain musik, melukis, menari dan sebagainya. Termasuk di dalamnya dunia tulis
menulis. Banyak orang yang menulis karena hobi atau memang kebutuhan.
Adapun amatir-an. Bukan sesuatu yang sesungguhnya. Bukan
murni! Jadi, kita tidak seharusnya dibilang penulis kalau belum berbitin buku.
Kita belum dikatakan jadi penulis kalau belum mempunyai buku best seller yang
bisa dibanggakan. Tapi…memang kenyataan mengatakan hal yang sebaliknya. Oh
my….pastinya kita harus banyak-banyak sabar.
Saya pernah punya pengalaman yang menarik mengenai hal ini.
Setidaknya, saya jujur kepada para pembaca, bahwa saya masih dalam level
penulis abal-abal alias amatiran. Hehehe.
Beberapa kali saya pernah memposting status di facebook yang
memuat link cerpen saya yang dimuat
di media-media online.
Banyak respon yang saya dapatkan. Komen-komen teman maya
saya diantaranya, waah..selamat ya. Moga
sukses, congratulation…, semoga tetep istiqomah nulis ya.
Tapi saya hanya bisa menelan ludah ketika ada beberapa komen
yang tanpa tendeng aling-aling langsung menghujam dada saya.
“husni, awas lu kagak nraktir gue. Kan udah dapet
honorarium…”
“kapan mo nerbitin buku…”
Dua pertanyaan itu adalah pertanyaan yang bikin kepala
pusing delapan keliling. (Bosen dengan angka tujuh. Terlalu klise!)
Saya hanya bisa tersenyum hambar. Padahal, tidak semua media
menyediakan honorarium kepada para penulis. Bahkan menganggap penulis adalah
para relawan. Dan itu tidak harus diungkit-ungkit kan? Lagi pula, memang tidak
semua media mampu memberikan yang terbaik untuk para penulis. Toh, kalau pun
dapat honorarium, saya sudah menyiapkan catatan anggaran untuk menghabiskan
honorarium itu dalam waktu sekejap. Beli pulsa, sepatu yang udah sobek
depannya, baju baru yang lebih layak, uang jajan buat adik, bensin, buku teks
kuliah, bla…bla…bla…
Untuk pertanyaan kedua,”kapan nerbitin buku,” saya jawab
deh.”insya allah. Doanya aja ya, moga lancar.”
Kita harus mafhum dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Karena, bagaimana pun juga, yang muncul di benak-benak mereka adalah, bahwa
penulis itu adalah profesi yang prestisius. Dan ini memang tidak salah. Banyak
yang membuktikan bahwa menulis bisa menghasilkan uang banyak. Sayangnya,
terlalu banyak orang yang memudahkan. Padahal, menjadi penulis juga butuh
proses yang panjang dan jatuh bangun untuk beberapa waktu yang kita tidak tahu
sampai kapan. Yang mereka tahu, kita sudah menjadi penulis ketika melihat satu
dua tulisan kita dimuat di media. Lagi pula bukan media besar pula.
Walau pun begitu, kita kudu sabar merespon itu semua. Justru
dengan celotehan-celotehan teman terdekat kita, semangat kita akan kembali
bangkit layaknya para pejuang revolusi kemerdekaan RI, kita semakin yakin dan
ingin membuktikan bahwa kita bisa menjadi penulis sesungguhnya. Jangan sampai
hal itu membuat kita down dan minder
mengatakan bahwa kita seorang penulis.
Baiknya sih, kalau memang punya rezeki lebih atau paling
tidak, uang honorariummu ada lebih beberapa perak,
traktir teman-temanmu. Bisa jadi sedekahmu menjadi jembatan kesuksesan yang
sesungguhnya. Kalau pun memang nggak bisa, ya bilang saja dengan jujur.”lain
kali aja ya cuy…” apa susahnya coba.
Tak harus
uring-uringan ketika disindir teman-teman masalah nraktir jajan dengan uang honorarium atau kapan buku kita akan terbit. Yakinlah, mereka punya andil di setiap
kesuksesan kita.
No comments:
Post a Comment