Sofia terhenyak begitu melihat
sosok yang berbaring di atas ranjang putih itu. Ia tak menyangka adiknya sakit
separah itu. Tubuhnya terlihat kurus dengan wajah pucat seperti tanpa darah.
Tulang pipinya semakin terlihat kentara diantara dua cekungan hitam mata nya.
Selang infus menempel di pergelangan tangan kirinya. Sementara matanya yang
sayu masih terpejam.
Sofia menggigit bibirnya dan
mencoba untuk tidak menitikkan air mata. Bagaimana pun juga, ia merasa sedih
dan tak tega ketika harus melihat Nadia menderita seperti itu. Ia melangkah
menuju pembaringan adik semata wayangnya dan duduk di kursi besi. Tangannya
mengenggam tangan kurus Nadia dan mencoba menyatukan kerinduan lewat sentuhan
itu. Ia tahu, adiknya sudah siuman sejak menjalani kemoterapi dua jam tadi,
tapi ia tak ingin mengganggu nadia sampai nadia sendiri yang menyapa untuknya.
Benar, beberapa detik kemudian nadia
perlahan membuka mata dan tersenyum
lemah ke arah kakaknya itu.”kak sofia…”ujarnya lirih. Bibirnya bergetar
disertai derai air mata ketika ia menyadari ada sofia di sampingnya.
“iya nadia. Kakak disini. Kakak
sayang sama nadia.”jawab sofia dengan lirih. Ia semakin mengeratkan pegangan
tangannya dan tersenyum lebar.”percayalah , semuanya akan baik-baik saja.”
Nadia mengangguk lemah dengan
senyum yang tak lepas dari bibirnya yang pucat.”kapan kakak pulang dari new
York?”
“kemarin sore. Kakak kangen sama
nadia.”
“bagaimana tesisnya? Sudah
selesaikah?”Tanya nadia lagi.
“sudah. Dua minggu yang lalu.”
Nadia kembali terdiam. Mata
cekungnya menerawang langit-langit kamar rumah sakit. Ia seakan memikirkan
sesuatu. Dan sofia masih terdiam di tempatnya. Mencoba menyelami kedalaman hati
adiknya. Baginya, nadia adalah segalanya setelah mama dan papa.
***
Mama dan papa meninggal karena
kecelakaan sepuluh tahun silam. Mobil yang dikendarai papa terpelanting karena diserempet sebuah truk yang melaju
dengan kecepatan tinggi. Papa meninggal di tempat, sementara mama mengalami
koma selama satu minggu . Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa mama
mengalami gegar otak dan sedikit pendarahan di pembuluh otaknya. Hingga
kematian memisahkan mama dengan kedua anaknya, sofia dan nadia.
Saat itu, sofia sedang menjalani
semester akhir SMA. Sebentar lagi akan dilaksanakan UN. Sementara nadia masih
kelas satu SMA di sekolah yang sama. Yang paling tegar menjalani musibah itu
hanya nadia. Ia selalu menghibur sofia dan mencoba membujuk kakaknya untuk
bangkit dari kesedihan yang mendera hari-harinya.
“sudahlah kak sofia. Kakak harus
kuat menerima cobaan ini. Nadia yakin, bahwa Allah saying sama kita dan akan
membukan jalan keluar untuk kita berdua.”
Sofia mendengus dan menatap tajam
kedua mata nadia.”kalau allah saying sama kita, kenapa ia malah merenggut kedua
orang tua kita nadia. Di saat kita masih membutuhkan kasih sayangnya.”
nadia menghela anfas
panjang.”istighfar kak sofia. Yakinlah, allah mempunyai hikmah tersendiri
dengan musibah ini. Cuman, kita saja yang tidak mengetahuinya. Yang terpenting,
sekarang kita harus bangkit dan allah akan menunjukan segala kemudahan kepada
kita.”
sofia mendengus kesal. Ia
melemparkan bantal yang sedari tadi teronggok di sampingnya. Ia memukul-mukul
tangannya ke tembok kamar.”aku benci tuhan nadia. Kenapa kau bodoh! Bodoh!
Harusnya kau tahu, bahwa tuhan tidak lagi saying sama kita! Ia telah merenggut
kebahagiaan dari kita. Lebih baik aku mati!”
“kakak. Bukankah allah yang member
kehidupan kepada mama, papa dan kita berdua. Bukankah dia yang menciptakan apa
yang dia kehendaki. Jadi, kapan pun allah bisa mencabut apa yang ia ciptakan
jika ia berkehendak. Itu adalah takdirnya yang harus kita terima dengan lapang
dada.”
Sofia terdiam. Rambutnya yang kusut
masai ia biarkan terurai menutupi wajahnya yang ayu. Nadia memeluk kakaknya
dengan penuh kasih saying. Ia tahu, sofia sedang dalam kondisi labil. Lagi
pula, kakaknya masih awam dalam segi agama. Tiba-tiba, dalam diamnya nadia
merasa bersyukur karena ia berkesempatan bisa kenal dengan ROHIS di sekolahnya.
Ia merasa semakin tenang dan dewasa setelah memahami hakikat kehidupan dari
kajian-kajian yang selalu ia ikuti secara rutin. Ia jadi tahu segela hal
tentang islam, agama yang selama ini ia akui hanya nagkring sebagai identitas
di Kartu pelajar, kartu keluarga, akta kelahiran dan rapor kelasnya. Dan nadia
merasa sangat beruntung bisa mengenal teman-teman rohis di sekolahnya. Hatinya
selalu berharap semoga sofia juga bisa mendapatkan kesempatan mengenal manhaj
yang selama ini telah ia kenal.
****
“nadia, andai tanpa dirimu, kakak
mungkin sudah terpuruk dan tak akan pernah bangkit dari kesedihan yang mendera
kita. Kakak saying sama nadia.”
Nadia mencoba untuk tersenyum lebar
walau ia merasakan sakit di kepalanya. Ia merasa pusing, tapi ia tak ingin
terlihat lemah di hadapan kakak tercinta.”terimakasih kak sofia. Begitu juga
dengan nadia, terimakasih telah membuat nadia bahagia dengan kehadiran kakak di
sini.”
Sofia terdiam.
“mungkin sebentar lagi nadia akan
meninggalkan kakak.”ujar nadia lirih.
“jangan bilang begitu. Kamu pernah
bilang bahwa kita tak boleh mendahului takdir. Kakak yakin, kamu akan sembuh
dalam waktu dekat ini. Yusuf dan ketiga anakmu masih mengharapkan kasih saying
dari kamu sebagai istri dan ibu untuk anak-anak suamimu nadia.”
Nadia mengangguk. Hatinya bahagia
mendengar kata-kata yang mengalir dari mulut kakaknya. Menyejukan dan membawa
ketenangan batin.
“bukan aku mendahului takdir kak.
Tapi aku hanya menyadari bahwa allah bias mencabut nyawaku kapan saja dia mau.”
Sofia masih terdiam dan tangannya
tak terlepas dari tangan adiknya.”ya kakak tahu.”
“sebelum aku meninggal, aku ingin
ada orang yang menjadi penggantikanku sebagai ibu bagi anak-abakku. Tapi…”air
mata merembes dari kedua kelopak mata nadia.”tapi sampai saat ini yusuf tak
ingin mencari penggantiku. Dia hanya berharap aku sembuh walau sudah menjalani
delapan kali kemoteraphi. aku tak pernah tenang sampai yakin bahwa suamiku akan
menikah lagi. Aku berharap dia menikah dengan wanita baik. Yang bias menyayangi
suami dan anak-anakku.”
Sofia menghela nafas
dalam-dalam.”sudahlah nadia, kau jangan berpikiran macam-macam. Yang penting
kamu selalu berdoa sama allah untuk kesembuhanmu.”
****
Hari sudah mulai gelap getika yusuf
menutup tirai kamar rawat inap istrinya. Tangannya yang kukuh merapatkan
kisi-kisi jendela hingga tertutup sempurna. Suara adzan bersahutan dari masjid
sekitar rumah sakit. Yusuf segera berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil
air wudhu. Setelah itu ia kembali untuk melaksanakan shalat maghrib di samping
istrinya yang berbaring tak berdaya.
Yusuf menghela nafas berat. Biasa
ia selalu menjadi imam dan istrinya sebagai makmum. Tapi kali ini ia harus
shalat sendiri. Setelah selesai shalat, ia mentayamumi nadia dan menemani nadia
yang shalat di pembaringannya. Ada rasa damai dan bahagia ketika yusuf melihat
istrinya shalat dalam kehusyuan, diam-diam, hatinya merasa sangat takut
kehilangan kasih saying yang selama ini ia dapatkan dari nadia, kasih saying
yang tulus dari seorang istri.
“Mas, anak-anak sama siapa?”Tanya
nadia dengan lirih.
“mereka ada di rumah ummi. Besok
pada ke sini.”
“mas, sepertinya umrku tak akan
lama lagi. Sebelum aku meninggal, aku ingin mas yusuf sudah punya calon
pengganti. Anak-anak kita masih terlalu kecil, jadi mereka butuh sosok ibu
mas.”
Yusuf menggelengkan
kepalanya.”selalu saja kamu bilang hal itu.”ujarnya sembari mencium pipi
istrinya itu.”aku masih saying kamu nadia.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Sofia dating dengan tersenyum lebar. Ia membawa bungkusan dan meletakannya di
atas meja kecil.”aku bawa kebab turki untuk makan malam.”ujarnya sembari
melirik yusuf.
Yusuf mengangguk dan mengucapkan
terimakasih. Sementara nadia memandang kakaknya dengan tatapan yang sulit
ditafsirkan. Sofia tahu, adiknya tengah memandangi dirinya sedemikian
rupa.”nadia, ada apa kamu menatap kakak seperti itu.”
Nadia tersenyum,”Ah enggak
kok.”jawabnya pendek. Matanya kembali terpejam.
“Ayo, makan kebabnya.”ujar sofia
sembari mengambil satu dan memakannya. Yusuf hanya tersenyum dan mengambil
sisanya.
“Mau berapa lama kamu tinggal di
Indonesia?”Tanya yusuf canggung. Bagaimana pun juga, ini adalah pertama kalinya
ia bertemu kakak istrinya itu. Ia hanya tahu sofia dari cerita nadia. Katanya
sofia sedang di new York untuk menyelesaikan program S2, katanya sofia
bercita-cita ingin menjadi seorang professor di bidang hokum yang ia sukai sejak
SMA, katanya sofia tak akan menikah sebelum berhasil menjadi seorang konsultan
hokum di amerika dan sebagainya. Dalam pandangan Yusuf, Sofia dalah gadis
modern yang punya obsesi tinggi.
“aku akan tinggal di sini sampai
nadia sembuh.”jawab sofia disela suapannya.
Tiba-tiba terdengar erangan nadia
yang halus. Matanya bergerak-gerak seakan gelisah. Bibirnya yang pucat
komat-kamit tak jelas. Dengan sigap yusuf menghampiri istrinya dan memegang
tangannya.”nadia! ada apa?”
Namun nadia tidak menjawab. Ia terus
komat-kamit dan yusuf bias mendengar kalimat toyyibah keluar dari mulut
istrinya. Yusuf mulai gelisah. Ia semakin mengeratkan pegangannya. Sementara
dari matanya merembes air mata.
“ada apa?”Tanya sofia dan memegang
tangan nadia yang sebelah kiri. Dan beberapa detik kemudian baru ia sadar bahwa
nadia sedang di ambang sakaratul maut.
“nadia!”seru sofia sembari
mencengkram pergelangan tangan adiknya. Mata nadia sudah terpejam rapat.
kalimat toyibah yang ia rapal mulai melemah dan akhirnya diam. Nadia diam dalam
kebisuan dan air mata orang-orang yang merasa khilangan atas kepergiannya di
awal malam.
“NADIA!! NADIA! JANGAN TINGGALKAN
AKU!”seru sofia sembari memeluk adiknya. Tubuhnya terguncang oleh tangis yang
tak tertahankan. Ia mencoba mengguncang-guncang tubuh nadia dan berharap nadia
akan kembali membuka matanya. Sementara yusuf hanya menunduk dalam-dalam. Ia
menangis dalam diam.
****
Pagi itu Sofia masih merasa bimbang.
Ia ingin segera pulang ke New York sementara hati nuraninya menolak itu. Entah
kenapa ia merasa hatinya gundah akhir-akhir ini. Wajah adiknya selalu
membayangi mimpi-mimpinya. Sofia juga pernah memimpikan Nadia yang
mendatanginya dan memintanya untuk tetap tinggal di Indonesia.
“Kakak, kamu sebaiknya tinggal di
Indonesia.”ujar adiknya kala itu. Dan sofia segera terbangun dari mimpinya. Ia
tak habis pikir, kenapa nadia selalu hadir dalam mimpinya setelah tujuh hari
kematiannya.
Ah,
nadia. Aku tahu, kita saling menyayangi satu sama lain. Aku selama ini tak
pernah menolak kemauanmu. Tapi, apakah benar mimpi itu? Kau benar-benar
memintaku untuk tinggal di Indonesia? Untuk apa?
****
siang itu Sofia datang ke rumah Yusuf.
Tadi pagi mertua Nadia, yaitu orang tua Yusuf memintanya untuk datang siang itu
juga. Ada hal penting yang ingin ia utarakan, katanya.
Pertama kali ia menginjakan kakinya
di pelataran rumah itu langsung disambut oleh ketiga anak Nadia. Mereka tampak
senang dengan kehadirannya.”holee..bibi Sofia datang. Bibi sofia datang!”seru
Danil, anak bungsu Nadia.
Sofia tersenyum lebar. Ia langsung
memeluk Danil dan membawanya ke dalam pangkuannya.”Danil sayang, udah makan?”
“Udah bi. Sama telol mata
capi.”jawab Danil dengan cadel.
Sofia mencubit gemas kedua pipinya
yang tembem. Sejak pertemuan pertamanya dengan ketiga anak Nadia, mereka
langsung akrab dan memanggilnya bibi tanpa sungkan.
****
“Ada apa bu?”Tanya Sofia.
“Ada sesuatu hal yang ingin ibu
utarakan sama kamu Sofia.”ujar Ibu Aminah, ibunya Yusuf sembari tersenyum.”Ibu
meminta satu hal sama kamu sebagai kakak Nadia satu-sataunya. Tapi semua
kembali ke diri kamu. Keputusan ada di tanganmu.”
“Apa itu bu?”tanya Sofia dengan
hati yang diliputi tanda tanya.
“Ibu berharap kamu bisa
menggantikan Nadia menjadi ibu bagi ketiga cucu ibu. Ibu ingin kamu menjadi
istri Yusuf. Lagi pula Nadia pernah mengutarkan hal ini sama ibu. Ini juga
keinginan Nadia sebelum ia meninggal.”jelasnya panjang lebar.
Sofia menunduk dan menghela nafas
panjang. Ia merasa bimbang ketika mendengar tawaran ibu Aminah barusan.
Bagaimana mungkin ia bisa menerima tawaran itu, sementara ia masih mempunyai
mimpi-mimpi yang belum ia capai. Ia belum mendapatkan gelar S3-nya. Ia juga khawatir tak bisa menjadi seorang
konsultan hukum jika harus menjadi istri bagi seorang suami dalam waktu yang
dekat. Sofia tak ingin mengambil resiko mengorbankan mimpi-mimpinya hanya
dengan sebuah pernikahan.
“kamu sudah seharusnya menikah kan
sofia. Umurmu sudah tiga lima.”ujar Ibu Aminah membayurkan lamuanannya.”Tapi
sekali lagi ibu bilang, ibu tak akan memaksakan kehendak. Hanya kamu yang
berhak menentukan.”
Sofia masih terdiam. Ia mencoba
menata hatinya yang masih dilanda kebimbangan.
“Atau kamu merasa khawatir dengan
masa depanmu? Kamu merasa menikah akan menghambat karirmu?” selidik Ibu Aminah
dengan tatapan tajam. Ah, Sofia jadi merasa jengah mendengar pertanyaan itu.
“Bukan masalah itu bu. Masalahnya,
apakah saya pantas menjadi istri Yusuf. Sementara yang saya tahu, Yusuf seorang
lelaki yang soleh. Sementara saya, saya tak seperti Nadia yang alim. Saya
perempuan kota yang tak memahami agama. Apakah Yusuf mau menikah dengan
saya?”ujar Sofia mengutarakan alasan.
“Semua akan terasa mudah. Asalkan
ada kemauan untuk berubah. Lagi pula, hanya dirimu yang mempunyai kasih sayang
yang lebih terhadap tiga keponakanmu. Sifatmu juga tak jauh beda dengan
almarhum Nadia.”terang Ibu Aminah.
Mimpi-mimpi yang ia alami pada malam-malam
sebelumnya kembali berkelebat di kepalanya. Sofia juga teringat rajuk manja
ketiga keponakannya, wajah lucu mereka, tangis mereka ketika nadia dikebumikan,
dan…wajah Yusuf yang teduh dan menenangkan. Tiba-tiba hatinya bergetar. Sofia
mendongakan kepalanya dan mengangguk pelan.”saya siap menggantikan posisi Nadia
bu.”
Tasikmalaya, 4 april 2015
No comments:
Post a Comment