5 Apr 2015

Permintaan Terakhir Nadia


Sofia terhenyak begitu melihat sosok yang berbaring di atas ranjang putih itu. Ia tak menyangka adiknya sakit separah itu. Tubuhnya terlihat kurus dengan wajah pucat seperti tanpa darah. Tulang pipinya semakin terlihat kentara diantara dua cekungan hitam mata nya. Selang infus menempel di pergelangan tangan kirinya. Sementara matanya yang sayu masih terpejam.

Sofia menggigit bibirnya dan mencoba untuk tidak menitikkan air mata. Bagaimana pun juga, ia merasa sedih dan tak tega ketika harus melihat Nadia menderita seperti itu. Ia melangkah menuju pembaringan adik semata wayangnya dan duduk di kursi besi. Tangannya mengenggam tangan kurus Nadia dan mencoba menyatukan kerinduan lewat sentuhan itu. Ia tahu, adiknya sudah siuman sejak menjalani kemoterapi dua jam tadi, tapi ia tak ingin mengganggu nadia sampai nadia sendiri yang menyapa untuknya.

Benar, beberapa detik kemudian nadia perlahan membuka mata  dan tersenyum lemah ke arah kakaknya itu.”kak sofia…”ujarnya lirih. Bibirnya bergetar disertai derai air mata ketika ia menyadari ada sofia di sampingnya.

“iya nadia. Kakak disini. Kakak sayang sama nadia.”jawab sofia dengan lirih. Ia semakin mengeratkan pegangan tangannya dan tersenyum lebar.”percayalah , semuanya akan baik-baik saja.”

Nadia mengangguk lemah dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya yang pucat.”kapan kakak pulang dari new York?”

“kemarin sore. Kakak kangen sama nadia.”

“bagaimana tesisnya? Sudah selesaikah?”Tanya nadia lagi.

“sudah. Dua minggu yang lalu.”

Nadia kembali terdiam. Mata cekungnya menerawang langit-langit kamar rumah sakit. Ia seakan memikirkan sesuatu. Dan sofia masih terdiam di tempatnya. Mencoba menyelami kedalaman hati adiknya. Baginya, nadia adalah segalanya setelah mama dan papa.

***
Mama dan papa meninggal karena kecelakaan sepuluh tahun silam. Mobil yang dikendarai papa terpelanting  karena diserempet sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Papa meninggal di tempat, sementara mama mengalami koma selama satu minggu . Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa mama mengalami gegar otak dan sedikit pendarahan di pembuluh otaknya. Hingga kematian memisahkan mama dengan kedua anaknya, sofia dan nadia.

Saat itu, sofia sedang menjalani semester akhir SMA. Sebentar lagi akan dilaksanakan UN. Sementara nadia masih kelas satu SMA di sekolah yang sama. Yang paling tegar menjalani musibah itu hanya nadia. Ia selalu menghibur sofia dan mencoba membujuk kakaknya untuk bangkit dari kesedihan yang mendera hari-harinya.

“sudahlah kak sofia. Kakak harus kuat menerima cobaan ini. Nadia yakin, bahwa Allah saying sama kita dan akan membukan jalan keluar untuk kita berdua.”

Sofia mendengus dan menatap tajam kedua mata nadia.”kalau allah saying sama kita, kenapa ia malah merenggut kedua orang tua kita nadia. Di saat kita masih membutuhkan kasih sayangnya.”

nadia menghela anfas panjang.”istighfar kak sofia. Yakinlah, allah mempunyai hikmah tersendiri dengan musibah ini. Cuman, kita saja yang tidak mengetahuinya. Yang terpenting, sekarang kita harus bangkit dan allah akan menunjukan segala kemudahan kepada kita.”

sofia mendengus kesal. Ia melemparkan bantal yang sedari tadi teronggok di sampingnya. Ia memukul-mukul tangannya ke tembok kamar.”aku benci tuhan nadia. Kenapa kau bodoh! Bodoh! Harusnya kau tahu, bahwa tuhan tidak lagi saying sama kita! Ia telah merenggut kebahagiaan dari kita. Lebih baik aku mati!”

“kakak. Bukankah allah yang member kehidupan kepada mama, papa dan kita berdua. Bukankah dia yang menciptakan apa yang dia kehendaki. Jadi, kapan pun allah bisa mencabut apa yang ia ciptakan jika ia berkehendak. Itu adalah takdirnya yang harus kita terima dengan lapang dada.”

Sofia terdiam. Rambutnya yang kusut masai ia biarkan terurai menutupi wajahnya yang ayu. Nadia memeluk kakaknya dengan penuh kasih saying. Ia tahu, sofia sedang dalam kondisi labil. Lagi pula, kakaknya masih awam dalam segi agama. Tiba-tiba, dalam diamnya nadia merasa bersyukur karena ia berkesempatan bisa kenal dengan ROHIS di sekolahnya. Ia merasa semakin tenang dan dewasa setelah memahami hakikat kehidupan dari kajian-kajian yang selalu ia ikuti secara rutin. Ia jadi tahu segela hal tentang islam, agama yang selama ini ia akui hanya nagkring sebagai identitas di Kartu pelajar, kartu keluarga, akta kelahiran dan rapor kelasnya. Dan nadia merasa sangat beruntung bisa mengenal teman-teman rohis di sekolahnya. Hatinya selalu berharap semoga sofia juga bisa mendapatkan kesempatan mengenal manhaj yang selama ini telah ia kenal.

****

“nadia, andai tanpa dirimu, kakak mungkin sudah terpuruk dan tak akan pernah bangkit dari kesedihan yang mendera kita. Kakak saying sama nadia.”

Nadia mencoba untuk tersenyum lebar walau ia merasakan sakit di kepalanya. Ia merasa pusing, tapi ia tak ingin terlihat lemah di hadapan kakak tercinta.”terimakasih kak sofia. Begitu juga dengan nadia, terimakasih telah membuat nadia bahagia dengan kehadiran kakak di sini.”

Sofia terdiam.

“mungkin sebentar lagi nadia akan meninggalkan kakak.”ujar nadia lirih.

“jangan bilang begitu. Kamu pernah bilang bahwa kita tak boleh mendahului takdir. Kakak yakin, kamu akan sembuh dalam waktu dekat ini. Yusuf dan ketiga anakmu masih mengharapkan kasih saying dari kamu sebagai istri dan ibu untuk anak-anak suamimu nadia.”

Nadia mengangguk. Hatinya bahagia mendengar kata-kata yang mengalir dari mulut kakaknya. Menyejukan dan membawa ketenangan batin.

“bukan aku mendahului takdir kak. Tapi aku hanya menyadari bahwa allah bias mencabut nyawaku kapan saja dia mau.”

Sofia masih terdiam dan tangannya tak terlepas dari tangan adiknya.”ya kakak tahu.”

“sebelum aku meninggal, aku ingin ada orang yang menjadi penggantikanku sebagai ibu bagi anak-abakku. Tapi…”air mata merembes dari kedua kelopak mata nadia.”tapi sampai saat ini yusuf tak ingin mencari penggantiku. Dia hanya berharap aku sembuh walau sudah menjalani delapan kali kemoteraphi. aku tak pernah tenang sampai yakin bahwa suamiku akan menikah lagi. Aku berharap dia menikah dengan wanita baik. Yang bias menyayangi suami dan anak-anakku.”

Sofia menghela nafas dalam-dalam.”sudahlah nadia, kau jangan berpikiran macam-macam. Yang penting kamu selalu berdoa sama allah untuk kesembuhanmu.”

****

Hari sudah mulai gelap getika yusuf menutup tirai kamar rawat inap istrinya. Tangannya yang kukuh merapatkan kisi-kisi jendela hingga tertutup sempurna. Suara adzan bersahutan dari masjid sekitar rumah sakit. Yusuf segera berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu ia kembali untuk melaksanakan shalat maghrib di samping istrinya yang berbaring tak berdaya.
Yusuf menghela nafas berat. Biasa ia selalu menjadi imam dan istrinya sebagai makmum. Tapi kali ini ia harus shalat sendiri. Setelah selesai shalat, ia mentayamumi nadia dan menemani nadia yang shalat di pembaringannya. Ada rasa damai dan bahagia ketika yusuf melihat istrinya shalat dalam kehusyuan, diam-diam, hatinya merasa sangat takut kehilangan kasih saying yang selama ini ia dapatkan dari nadia, kasih saying yang tulus dari seorang istri.

“Mas, anak-anak sama siapa?”Tanya nadia dengan lirih.

“mereka ada di rumah ummi. Besok pada ke sini.”

“mas, sepertinya umrku tak akan lama lagi. Sebelum aku meninggal, aku ingin mas yusuf sudah punya calon pengganti. Anak-anak kita masih terlalu kecil, jadi mereka butuh sosok ibu mas.”

Yusuf menggelengkan kepalanya.”selalu saja kamu bilang hal itu.”ujarnya sembari mencium pipi istrinya itu.”aku masih saying kamu nadia.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Sofia dating dengan tersenyum lebar. Ia membawa bungkusan dan meletakannya di atas meja kecil.”aku bawa kebab turki untuk makan malam.”ujarnya sembari melirik yusuf.

Yusuf mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Sementara nadia memandang kakaknya dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Sofia tahu, adiknya tengah memandangi dirinya sedemikian rupa.”nadia, ada apa kamu menatap kakak seperti itu.”

Nadia tersenyum,”Ah enggak kok.”jawabnya pendek. Matanya kembali terpejam.
“Ayo, makan kebabnya.”ujar sofia sembari mengambil satu dan memakannya. Yusuf hanya tersenyum dan mengambil sisanya.

“Mau berapa lama kamu tinggal di Indonesia?”Tanya yusuf canggung. Bagaimana pun juga, ini adalah pertama kalinya ia bertemu kakak istrinya itu. Ia hanya tahu sofia dari cerita nadia. Katanya sofia sedang di new York untuk menyelesaikan program S2, katanya sofia bercita-cita ingin menjadi seorang professor di bidang hokum yang ia sukai sejak SMA, katanya sofia tak akan menikah sebelum berhasil menjadi seorang konsultan hokum di amerika dan sebagainya. Dalam pandangan Yusuf, Sofia dalah gadis modern yang punya obsesi tinggi.

“aku akan tinggal di sini sampai nadia sembuh.”jawab sofia disela suapannya.
Tiba-tiba terdengar erangan nadia yang halus. Matanya bergerak-gerak seakan gelisah. Bibirnya yang pucat komat-kamit tak jelas. Dengan sigap yusuf menghampiri istrinya dan memegang tangannya.”nadia! ada apa?”

Namun nadia tidak menjawab. Ia terus komat-kamit dan yusuf bias mendengar kalimat toyyibah keluar dari mulut istrinya. Yusuf mulai gelisah. Ia semakin mengeratkan pegangannya. Sementara dari matanya merembes air mata.

“ada apa?”Tanya sofia dan memegang tangan nadia yang sebelah kiri. Dan beberapa detik kemudian baru ia sadar bahwa nadia sedang di ambang sakaratul maut.

“nadia!”seru sofia sembari mencengkram pergelangan tangan adiknya. Mata nadia sudah terpejam rapat. kalimat toyibah yang ia rapal mulai melemah dan akhirnya diam. Nadia diam dalam kebisuan dan air mata orang-orang yang merasa khilangan atas kepergiannya di awal malam.

“NADIA!! NADIA! JANGAN TINGGALKAN AKU!”seru sofia sembari memeluk adiknya. Tubuhnya terguncang oleh tangis yang tak tertahankan. Ia mencoba mengguncang-guncang tubuh nadia dan berharap nadia akan kembali membuka matanya. Sementara yusuf hanya menunduk dalam-dalam. Ia menangis dalam diam.

****

Pagi itu Sofia masih merasa bimbang. Ia ingin segera pulang ke New York sementara hati nuraninya menolak itu. Entah kenapa ia merasa hatinya gundah akhir-akhir ini. Wajah adiknya selalu membayangi mimpi-mimpinya. Sofia juga pernah memimpikan Nadia yang mendatanginya dan memintanya untuk tetap tinggal di Indonesia.

“Kakak, kamu sebaiknya tinggal di Indonesia.”ujar adiknya kala itu. Dan sofia segera terbangun dari mimpinya. Ia tak habis pikir, kenapa nadia selalu hadir dalam mimpinya setelah tujuh hari kematiannya.

Ah, nadia. Aku tahu, kita saling menyayangi satu sama lain. Aku selama ini tak pernah menolak kemauanmu. Tapi, apakah benar mimpi itu? Kau benar-benar memintaku untuk tinggal di Indonesia? Untuk apa?

****
siang itu Sofia datang ke rumah Yusuf. Tadi pagi mertua Nadia, yaitu orang tua Yusuf memintanya untuk datang siang itu juga. Ada hal penting yang ingin ia utarakan, katanya.

Pertama kali ia menginjakan kakinya di pelataran rumah itu langsung disambut oleh ketiga anak Nadia. Mereka tampak senang dengan kehadirannya.”holee..bibi Sofia datang. Bibi sofia datang!”seru Danil, anak bungsu Nadia.

Sofia tersenyum lebar. Ia langsung memeluk Danil dan membawanya ke dalam pangkuannya.”Danil sayang, udah makan?”

“Udah bi. Sama telol mata capi.”jawab Danil dengan cadel.

Sofia mencubit gemas kedua pipinya yang tembem. Sejak pertemuan pertamanya dengan ketiga anak Nadia, mereka langsung akrab dan memanggilnya bibi tanpa sungkan.

****

“Ada apa bu?”Tanya Sofia.

“Ada sesuatu hal yang ingin ibu utarakan sama kamu Sofia.”ujar Ibu Aminah, ibunya Yusuf sembari tersenyum.”Ibu meminta satu hal sama kamu sebagai kakak Nadia satu-sataunya. Tapi semua kembali ke diri kamu. Keputusan ada di tanganmu.”

“Apa itu bu?”tanya Sofia dengan hati yang diliputi tanda tanya.

“Ibu berharap kamu bisa menggantikan Nadia menjadi ibu bagi ketiga cucu ibu. Ibu ingin kamu menjadi istri Yusuf. Lagi pula Nadia pernah mengutarkan hal ini sama ibu. Ini juga keinginan Nadia sebelum ia meninggal.”jelasnya panjang lebar.

Sofia menunduk dan menghela nafas panjang. Ia merasa bimbang ketika mendengar tawaran ibu Aminah barusan. Bagaimana mungkin ia bisa menerima tawaran itu, sementara ia masih mempunyai mimpi-mimpi yang belum ia capai. Ia belum mendapatkan gelar S3-nya.  Ia juga khawatir tak bisa menjadi seorang konsultan hukum jika harus menjadi istri bagi seorang suami dalam waktu yang dekat. Sofia tak ingin mengambil resiko mengorbankan mimpi-mimpinya hanya dengan sebuah pernikahan.

“kamu sudah seharusnya menikah kan sofia. Umurmu sudah tiga lima.”ujar Ibu Aminah membayurkan lamuanannya.”Tapi sekali lagi ibu bilang, ibu tak akan memaksakan kehendak. Hanya kamu yang berhak menentukan.”

Sofia masih terdiam. Ia mencoba menata hatinya yang masih dilanda kebimbangan.

“Atau kamu merasa khawatir dengan masa depanmu? Kamu merasa menikah akan menghambat karirmu?” selidik Ibu Aminah dengan tatapan tajam. Ah, Sofia jadi merasa jengah mendengar pertanyaan itu.

“Bukan masalah itu bu. Masalahnya, apakah saya pantas menjadi istri Yusuf. Sementara yang saya tahu, Yusuf seorang lelaki yang soleh. Sementara saya, saya tak seperti Nadia yang alim. Saya perempuan kota yang tak memahami agama. Apakah Yusuf mau menikah dengan saya?”ujar Sofia mengutarakan alasan.

“Semua akan terasa mudah. Asalkan ada kemauan untuk berubah. Lagi pula, hanya dirimu yang mempunyai kasih sayang yang lebih terhadap tiga keponakanmu. Sifatmu juga tak jauh beda dengan almarhum Nadia.”terang Ibu Aminah.

 Mimpi-mimpi yang ia alami pada malam-malam sebelumnya kembali berkelebat di kepalanya. Sofia juga teringat rajuk manja ketiga keponakannya, wajah lucu mereka, tangis mereka ketika nadia dikebumikan, dan…wajah Yusuf yang teduh dan menenangkan. Tiba-tiba hatinya bergetar. Sofia mendongakan kepalanya dan mengangguk pelan.”saya siap menggantikan posisi Nadia bu.”

Tasikmalaya,  4 april 2015
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment