3 Feb 2015

NURANI YANG TERKOYAK >>PART 08


Sudah sebulan lamanya nurani bekerja sebagai pelayan kafe milik tante viola. Ia merasa enjoy dan bahagia dengan pekerjaan barunya. Ini adalah pekerjaan termudah yang pernah ia temukan selama ini. Mengantar-antar pesanan, memasak, mencuci perlatan dan membereskan meja-meja. Dan itu pun dikerjakan bersama dua rekannya secara bergantian.
Selama sebulan ini, nurani ditemani sekar dan ninon dalam kesehariannya sebagai pelayan di kafe siang. Biasanya mereka akan menemani seminggu sekali secara bergantian. Minggu pertama ninon, minggu kedua sekar dan begitu seterusnya. Sayangnya, nur belum diijinkan untuk bekerja di kafe malam. Entah apa alasannya, ketika nur mencoba membujuk tante viola untuk bisa mempekerjakan dia di kafe malam, tante viola menolaknya.
“sudah, selama sebulan ini kamu focus aja dulu di kafe siang. Ninon sama sekar juga pertama kali begitu. Ya, semacam masa orientasi gitu.” Terang tante viola.
“MOK. Masa orientasi kerja.”timpal sekar sembari tertawa.
Nur tidak menuntut lebih. Ia menuruti apa yang dikatakan tante viola dan apa yang diinginkan terhadap dirinya.
Ada satu perubahan yang begitu kentara di dalam pribadi nur sebagai gadis kampung. Ia tak lagi merasa canggung dan pemalu. Ia mulai agresif dan ramah. Itu tak lain karena tuntutan pekerjaannya sebagai pelayan kafe yang harus selalu berwajah sumringah dan menyapa pengunjung. Tak sia-sia tante viola dan dua rekannya mengajarkan seni seorang pelayan handal kepada nur.
“kamu harus pasang senyum dalam jarak beberapa meter sebelum kamu menemui mereka. Pokoknya pasang senyum pas kontak mata terjadi.” Bisik ninon kepada nur sebelum mengantarkan nampan-nampan berisi minuman. Itu terjadi beberapa minggu yang lalu ketika nur terlihat malu-malu dan terkesan kaku. Ia terseyum, tapi senyumnya hambar dan terkesan dipaksakan.
“natural aja nur. Anggap semua pelanggan adalah sahabat terbaikmu yang tak jumpa sejak lama. Senyummu nggak ada nyawanya tahu nggak.” Kritik ninon pada saat itu. Nur hanya tersipu, ia sadar, ninon memperhatikan setiap gerak-geriknya dan ia harus membuktikan bahwa ia bisa menjadi pelayan yang ramah dan disukai para pelanggan.
“kalau kita bersikap ramah, para pelanggan akan merasa betah dan tentunya besar kemungkinan mereka akan datang kembali ke kafe kita.”
Nur merasa beruntung dengan kuliah-kuliah panjang mereka. Sekali dua kali coba ia masih merasa kikuk dengan apa yang dia lakukan. Lama kelamaan ia merasa terbiasa dengan semua itu. Proses. Ya, itu semua karena proses yang tiada jeda ia lakukan. Ala bisa karena biasa. Kebiasaan akan muncul karena satu hal yang dilakukan secara berulang-ulang.
Begitu adanya dengan nur. Pertama ia merasa canggung dengan kostum barunya yang seksi dan serba berpakaian minim, dan itu hanya bertahan beberapa hari saja. Kemudian rasa canggung terhadap para pengunjung, dank arena dorongan teman-temannya. Nur bisa mengatasinya dengan sukses.
Hari itu, di sudut kafe siang, nur tanpk sibuk melayani para pengunjung kafe. Senyum nur merekah di kedua bibirnya yang kini sudah berwarna merah menyala. Tante viola dan kedua kawannya mencoba meyakinkan nur bahwa ia akan terlihat cantik dan menawan bila memakai seperangkat alat-alat kecantikan; mascara, eyeshadow, lipstick dengan berbagai variasi pilihan warna yang bisa dipakai kapan saja, bedak dan minyak wangi. Nur tak pernah melepaskan senyum itu. Sesekali ia menyapa para pelanggan tetap yang sudah ia kenal. Dan mereka menyukai nur sebagaimana nur suka kafenya tak pernah sepi dengan pengunjung. Para pengunjung yang kebanyakan kaum adam itu, boleh dibilang sangat baik dan loyal terhadap nur. Mereka suka melempar senyum dan sapaan genit kepada nur. Nur sendiri merasa senang. Ia merasa diperhatikan dan mempunyai eksistensi yang menjanjikan.
Ia begitu piawai meletakan nampan demi nampan disertai pandangan takjub para pengunjung yang kebanyakan adalah para pria berusia muda. Mereka merasa tertarik dengan senyum dan kecantikan nur. Selain itu mereka tertarik dengan tubuh nur yang semampai dengan balutan baju yang apa adanya. Menampakan lekukan demi lekukan yang setiap lelaki suka. Konyolnya, nur si gadis desa yang polo situ tak pernah menyadari semua itu.

Malam belum larut ketika tante viola memanggil mereka di ruang tamu. Dalam sekejap saja mereka sudah berkumpul dan duduk melingkar di sofa. Wajah mereka terlihat cerah dan sumringah. Semuanya sudah pada tahu, hari ini adalah hari gajian. Mereka akan mendapatkan sejumlah rupiah hasil jerih payah mereka selama sebulan ini.
“oke sayang, tantae ucapkan makasih banget sama kalian semua. Kafe kita berkembang pesat. Baik kafe siang dan kafe malam memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Tapi tetap pemasukan lebih besar dari kafe malam. Dua kali lipat dari income kafe siang.”
Nur mengerutkan kening.”kok bisa tan?”Tanya nur heran. Oya, nur sekarang juga bisa lebih terbuka dan tidak canggung di hadapan tantenya sendiri. Beda ketika awal-awal ia masih di Jakarta.
“memang sih, kalau malam pengunjungnya banyak nur. Apalagi tempatnya juga strategis.”
“kalau begitu, yang kafe siang buka sampai malam saja tante.”ujar nur mengemukakan pendapatnya.
“jika seandainya buka sampai malam, pastinya harus ada pekerja baru. Kamu pasti ketetaran.”
“nggak papa tante.”
“kamu berani kerja dari pagi sampai dini hari? Nggak mungkin nur. Kalau kamu memang ingin kerja malam hari, nanti tante kasih jatah di kafe malam saja bareng ninon.”
“yeeh, ditanya malah balik nanya. Aku…sejuta setengah!”seru sekar sumringah.
“kirim uang ke kampung.”


“sampai dini hari? Memangnya ada pelanggan yang minum-minum sampai dinihari?”Tanya nur heran.
Tante viola, ninon dan sekar saling berpandangan.
“oke, lupakan dulu tentang itu. Nanti tante pikir-pikir dulu. Kalau seandainya nur cocok kerja di kafe malam, nanti bisa diatur.” Ujar tante viola sembari membagikan tiga buah amplop kepada masing-masing gadis di hadapannya.
“oke, tante ada janji sama hendi.”seru tante viola dan segera beranjak dari sofa. Mengambil tas kulitnya yang tergeletak di meja dan segera pergi dari hadapan mereka bertiga.
Cepat-cepat mereka merobek amplop mereka masing-masing. Ninon dan sekar terlonjak gembira. Mereka teriak-teriak dan berjoget saking senangnya. Nur hanya tersenyum dan ia segera merobek amplopnya dengan tangan gemetar. Tak pernah ia memegan amplop yang berisi uang setebal itu. Ia sudah meyakini uang itu berkali-kali lipat dari upah yang diterimanya dari tuan haji samsuri.
Benar. Nur disana menemukan uang kertas berwarna merah sejumlah enam lembar.”Alhamdulillah…”
Nur menangkupkan amplop itu di dadanya. Ia berencana akan mengirimkannya ke paman salim malam ini juga.
“eh, kamu dapat berapa?”Tanya sekar kepada ninon.
“kamu?”balik ninon.
Nur terperangah.
Ninon hanya tercenung.”beda dikit.”
“kamu berapa?”Tanya nur kepada ninon.
“sejuta seratus.”jawab ninon malas. Tanpaknya ia merasa tersaingi dengan sekar. Jelas, beberapa hari kemarin ninon sempat cerita kepada nur, bahwa sekar sering merebut para pelanggannya. Katanya, sekar punya daya tarik tersendiri. Selain itu sekar –katanya lagi- nggak pernah member kesempatan kepada ninon untuk melayani para pelanggan.”mau menang sendiri dia mah.”ujarnya tempo hari. Ninon jadi ikut-ikutan logat sunda gara-gara sering ngobrol sama nur.
Nur Cuma mengerutkan keningnya.”rebutan pelanggan. Aneh banget kamu mah non. Masa pelanggan aja direbutin. Kan udah ada jobdesk masing-masing. Kita juga, maksud saya aku, kamu sama sekar, pas kerja di kafe siang nggak pernah rebutan tuh pelanggan.”
Ninon merengut.”yang ini beda nur. Ini bukan pelanggan biasa.”
“trus?”
“sudah ah, kita bahas yang lain aja. Aku males ngomonginnya.”jawab ninon dan ia beranjak dari hadapan nur yang  menatapnya  heran.



“nggak papa. Sukuri aja yang kita dapat. Nggak usah ngiri sama sekar non.”ujar nur memberi nasihat. Sekar hanya manyun dan ngelirik nggak jelas.”iya non, kamu bukannya harus ngiri ke aku. Tapi setidaknya kamu harus intropeksi diri. Siapa tahu selama ini kamu nggak atau kurang professional dalam melayani tamu-tamu.”
“kalau mau ceramah di mimbar sana. Ngomong emang enak!”semprot ninon dengan tatapn tak senang. Sekar kembali manyum.”lho, kok marah. Githu aja kok repot.
“sudah, sudah! Kalian itu ya, duit aja didebatin.” Seru nur nggak sabar.”eh, siapa yang mau nganter aku ke kantor pos nanti malam”
“Mau ngapain?”Tanya sekar sembari menghitung kembali uangnya. Nur nggak tahu, apakah dia beneran ngitung uang atau memang pura-pura, hanya untuk menunjukan lembaran uang miliknya di hadapan ninon. Nur bisa melihat raut muka ninon yang ditekuk. Memang, dari dulu sekar dan ninon jarang akur.
“kantor pos nggak ada yang buka malam neng.” Ujar ninon mengalihkan kekesalannya.
“okey, kalau begitu besok.”jawab nur.
“iya, sama aku aja, sekalian berangkat ke kafe.”kata ninon sambil beranjak menuju tangga;hendak ke kamarnya.
Kini tinggal nur dan sekar yang berada di ruang tamu.
“aku kira tante viola bakal ngasih gaji sama rata.”ujar nur.
“enggak lah, ini professional. Kalau kerja kita bagus dan banyak pemasukan, kita bisa dapet uang lebih banyak lagi. Jadi tergantung dari seberapa banyak keuntungan yang kita berikan buat tante viola. kalau umpamanya bulan depan penghasilanmu dari kafe siang nambah, itu berarti gaji kamu juga bakalan nambah.”
Nur hanya mengaggukan kepalanya. “emang gimana sih rahasianya kamu bisa punya penghasilan gede. Bahkan bisa lebih dari ninon.”pancing nur. Jelas ia masih penasaran dengan kata-kata ninon dahulu. Pelanggan yang seperti apa yang biasa mengunjungi kafe malam. Lalu apa yang menyebabkan mereka berebut pelanggan.
“ya intinya kembali ke kita. Kalau kita pinter ngedeketin pelanggan dan ngajak dia, maksudku, bersikap ramah terhadap para pelanggan. Maka otomatis pelanggan balakan seneng sama kita.”jelas sekar.
“trus apa bedanya ninon sama kamu?”Tanya nur lebih lanjut.
Sekar terdiam.”maksud kamu?”
“iya, kan penghasilan kalian berdua jauh berbeda, padahal kerja di tempat yang sama. Factor apa yang membuat kalian beda dari segi penghasilannya.”
“tapi kamu janji nggak bilang-bilang ke ninon ya.”bisik sekar.
“sejak kapan aku ingkar janji.”balas nur.
Sekar mencondongkan kepalanya dan berbisik di telinga nur.”ninon itu orangnya pilih-pilih. Dia pasti milih para pelanggan yang cocok dia layanin.”
“lho, pas kerja sama aku ninon biasa aja tuh.”
“iya, tapi kalau di kafe malam ini beda.”
“Bedanya?”
“Sudahlah, nanti juga tahu sendiri. Eh ngomong-ngomong, kamu dapet berapa dari tante, nur?” selidik sekar. Kini ia sudah memasukan semua uang miliknya ke dompetnya.
“lumayan lah, buat bantu biaya di kampung.”jawab nur. Jujur, dia juga merasa minder menyebutkan nominalnya.
“kamu bantu emak sama bapakmu?”Tanya sekar lebih lanjut.
Nur menatap sekar dengan tatapan penuh selidik.’emangnya kenapa Tanya-tanya segala.”
“nggak kenapa-napa. Pengen tahu aja.”
Nur tercenung.”emak sama bapakku udah meninggal. Kini aku yang bertanggung jawab buat ngebiayain adik-adikku. Mereka masih pada sekolah.”
Sekar menatap nur dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Matanya tanpak berkaca-kaca. Sekar terdiam beberapa saat. Tak berapa lama ia kembali menatap nur,“emang kamu punya adik berapa nur?”
“dua.”
Sekar menghela nafas panjang. Kemudian ia beranjak dari hadapan nur.”aku duluan ya nur.”
“ya.”jawab nur pendek. dan ia pun segera beranjak menuju kamarnya juga.
Ia harus banyak menyimpan energy untuk bisa kembali bekerja esok hari. Ia tak ingin ketiduran di meja resepsionist seperti pengalamannya pas minggu pertama. Ia juga tak ingin rasa kantuk menyerangnya ketika ia mengantar pesanan ke setiap meja.
malam ini nur merasakan kebahagian yang tiada tara. Sudah terbayang di benaknya, esok ia akan mengirimkan sebagian besar uangnya dan ia juga bisa membayangkan senyum paman dan bibinya.Nur membayangkan dani yang memakai buku-bukunya yang baru. Adik laki-lakinya itu juga punya pensil crayon baru dan menggoreskan beberapa warna di buku gambarnya.
 Ia bisa membayangkan arti yang menggendong tas sekolahnya yang baru. Seragamnya dan sepatunya juga baru. Arti berjalan dengan langkah yang gembira. Ia bernyanyi kecil dan seselaki berkata lirih,”hatur nuhun teh nur.”
Malam itu nur benar-benar mimpi indah. Ia bisa melihat senyum emak dan bapak di dalam mimpinya.




Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment