Sudah sebulan
lamanya nurani bekerja sebagai pelayan kafe milik tante viola. Ia merasa enjoy
dan bahagia dengan pekerjaan barunya. Ini adalah pekerjaan termudah yang pernah
ia temukan selama ini. Mengantar-antar pesanan, memasak, mencuci perlatan dan membereskan
meja-meja. Dan itu pun dikerjakan bersama dua rekannya secara bergantian.
Selama
sebulan ini, nurani ditemani sekar dan ninon dalam kesehariannya sebagai
pelayan di kafe siang. Biasanya mereka akan menemani seminggu sekali secara
bergantian. Minggu pertama ninon, minggu kedua sekar dan begitu seterusnya.
Sayangnya, nur belum diijinkan untuk bekerja di kafe malam. Entah apa
alasannya, ketika nur mencoba membujuk tante viola untuk bisa mempekerjakan dia
di kafe malam, tante viola menolaknya.
“sudah,
selama sebulan ini kamu focus aja dulu di kafe siang. Ninon sama sekar juga
pertama kali begitu. Ya, semacam masa orientasi gitu.” Terang tante viola.
“MOK. Masa
orientasi kerja.”timpal sekar sembari tertawa.
Nur tidak
menuntut lebih. Ia menuruti apa yang dikatakan tante viola dan apa yang
diinginkan terhadap dirinya.
Ada satu
perubahan yang begitu kentara di dalam pribadi nur sebagai gadis kampung. Ia
tak lagi merasa canggung dan pemalu. Ia mulai agresif dan ramah. Itu tak lain
karena tuntutan pekerjaannya sebagai pelayan kafe yang harus selalu berwajah
sumringah dan menyapa pengunjung. Tak sia-sia tante viola dan dua rekannya
mengajarkan seni seorang pelayan handal kepada nur.
“kamu harus
pasang senyum dalam jarak beberapa meter sebelum kamu menemui mereka. Pokoknya
pasang senyum pas kontak mata terjadi.” Bisik ninon kepada nur sebelum
mengantarkan nampan-nampan berisi minuman. Itu terjadi beberapa minggu yang
lalu ketika nur terlihat malu-malu dan terkesan kaku. Ia terseyum, tapi
senyumnya hambar dan terkesan dipaksakan.
“natural aja
nur. Anggap semua pelanggan adalah sahabat terbaikmu yang tak jumpa sejak lama.
Senyummu nggak ada nyawanya tahu nggak.” Kritik ninon pada saat itu. Nur hanya
tersipu, ia sadar, ninon memperhatikan setiap gerak-geriknya dan ia harus
membuktikan bahwa ia bisa menjadi pelayan yang ramah dan disukai para
pelanggan.
“kalau kita
bersikap ramah, para pelanggan akan merasa betah dan tentunya besar kemungkinan
mereka akan datang kembali ke kafe kita.”
Nur merasa
beruntung dengan kuliah-kuliah panjang mereka. Sekali dua kali coba ia masih
merasa kikuk dengan apa yang dia lakukan. Lama kelamaan ia merasa terbiasa
dengan semua itu. Proses. Ya, itu semua karena proses yang tiada jeda ia
lakukan. Ala bisa karena biasa. Kebiasaan akan muncul karena satu hal yang dilakukan
secara berulang-ulang.
Begitu adanya
dengan nur. Pertama ia merasa canggung dengan kostum barunya yang seksi dan
serba berpakaian minim, dan itu hanya bertahan beberapa hari saja. Kemudian
rasa canggung terhadap para pengunjung, dank arena dorongan teman-temannya. Nur
bisa mengatasinya dengan sukses.
Hari itu, di
sudut kafe siang, nur tanpk sibuk melayani para pengunjung kafe. Senyum nur
merekah di kedua bibirnya yang kini sudah berwarna merah menyala. Tante viola
dan kedua kawannya mencoba meyakinkan nur bahwa ia akan terlihat cantik dan
menawan bila memakai seperangkat alat-alat kecantikan; mascara, eyeshadow,
lipstick dengan berbagai variasi pilihan warna yang bisa dipakai kapan saja,
bedak dan minyak wangi. Nur tak pernah melepaskan senyum itu. Sesekali ia
menyapa para pelanggan tetap yang sudah ia kenal. Dan mereka menyukai nur
sebagaimana nur suka kafenya tak pernah sepi dengan pengunjung. Para pengunjung
yang kebanyakan kaum adam itu, boleh dibilang sangat baik dan loyal terhadap
nur. Mereka suka melempar senyum dan sapaan genit kepada nur. Nur sendiri
merasa senang. Ia merasa diperhatikan dan mempunyai eksistensi yang
menjanjikan.
Ia begitu
piawai meletakan nampan demi nampan disertai pandangan takjub para pengunjung yang
kebanyakan adalah para pria berusia muda. Mereka merasa tertarik dengan senyum
dan kecantikan nur. Selain itu mereka tertarik dengan tubuh nur yang semampai
dengan balutan baju yang apa adanya. Menampakan lekukan demi lekukan yang
setiap lelaki suka. Konyolnya, nur si gadis desa yang polo situ tak pernah
menyadari semua itu.
Malam belum
larut ketika tante viola memanggil mereka di ruang tamu. Dalam sekejap saja
mereka sudah berkumpul dan duduk melingkar di sofa. Wajah mereka terlihat cerah
dan sumringah. Semuanya sudah pada tahu, hari ini adalah hari gajian. Mereka
akan mendapatkan sejumlah rupiah hasil jerih payah mereka selama sebulan ini.
“oke sayang,
tantae ucapkan makasih banget sama kalian semua. Kafe kita berkembang pesat.
Baik kafe siang dan kafe malam memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Tapi
tetap pemasukan lebih besar dari kafe malam. Dua kali lipat dari income kafe
siang.”
Nur
mengerutkan kening.”kok bisa tan?”Tanya nur heran. Oya, nur sekarang juga bisa
lebih terbuka dan tidak canggung di hadapan tantenya sendiri. Beda ketika
awal-awal ia masih di Jakarta.
“memang sih,
kalau malam pengunjungnya banyak nur. Apalagi tempatnya juga strategis.”
“kalau
begitu, yang kafe siang buka sampai malam saja tante.”ujar nur mengemukakan
pendapatnya.
“jika
seandainya buka sampai malam, pastinya harus ada pekerja baru. Kamu pasti
ketetaran.”
“nggak papa
tante.”
“kamu berani kerja dari pagi sampai dini hari? Nggak mungkin nur. Kalau kamu
memang ingin kerja malam hari, nanti tante kasih jatah di kafe malam saja
bareng ninon.”“yeeh, ditanya malah balik nanya. Aku…sejuta setengah!”seru sekar sumringah.
“kirim uang ke kampung.”
“sampai dini
hari? Memangnya ada pelanggan yang minum-minum sampai dinihari?”Tanya nur
heran.
Tante viola,
ninon dan sekar saling berpandangan.
“oke, lupakan
dulu tentang itu. Nanti tante pikir-pikir dulu. Kalau seandainya nur cocok kerja
di kafe malam, nanti bisa diatur.” Ujar tante viola sembari membagikan tiga
buah amplop kepada masing-masing gadis di hadapannya.
“oke, tante
ada janji sama hendi.”seru tante viola dan segera beranjak dari sofa. Mengambil
tas kulitnya yang tergeletak di meja dan segera pergi dari hadapan mereka
bertiga.
Cepat-cepat
mereka merobek amplop mereka masing-masing. Ninon dan sekar terlonjak gembira.
Mereka teriak-teriak dan berjoget saking senangnya. Nur hanya tersenyum dan ia
segera merobek amplopnya dengan tangan gemetar. Tak pernah ia memegan amplop
yang berisi uang setebal itu. Ia sudah meyakini uang itu berkali-kali lipat
dari upah yang diterimanya dari tuan haji samsuri.
Benar. Nur
disana menemukan uang kertas berwarna merah sejumlah enam lembar.”Alhamdulillah…”
Nur
menangkupkan amplop itu di dadanya. Ia berencana akan mengirimkannya ke paman
salim malam ini juga.
“eh, kamu
dapat berapa?”Tanya sekar kepada ninon.
“kamu?”balik
ninon.
Nur
terperangah.
Ninon hanya
tercenung.”beda dikit.”
“kamu
berapa?”Tanya nur kepada ninon.
“sejuta
seratus.”jawab ninon malas. Tanpaknya ia merasa tersaingi dengan sekar. Jelas,
beberapa hari kemarin ninon sempat cerita kepada nur, bahwa sekar sering
merebut para pelanggannya. Katanya, sekar punya daya tarik tersendiri. Selain
itu sekar –katanya lagi- nggak pernah member kesempatan kepada ninon untuk
melayani para pelanggan.”mau menang sendiri dia mah.”ujarnya tempo hari. Ninon
jadi ikut-ikutan logat sunda gara-gara sering ngobrol sama nur.
Nur Cuma
mengerutkan keningnya.”rebutan pelanggan. Aneh banget kamu mah non. Masa
pelanggan aja direbutin. Kan udah ada jobdesk masing-masing. Kita juga, maksud
saya aku, kamu sama sekar, pas kerja di kafe siang nggak pernah rebutan tuh
pelanggan.”
Ninon
merengut.”yang ini beda nur. Ini bukan pelanggan biasa.”
“trus?”
“sudah ah,
kita bahas yang lain aja. Aku males ngomonginnya.”jawab ninon dan ia beranjak
dari hadapan nur yang menatapnya heran.
“nggak papa.
Sukuri aja yang kita dapat. Nggak usah ngiri sama sekar non.”ujar nur memberi
nasihat. Sekar hanya manyun dan ngelirik nggak jelas.”iya non, kamu bukannya
harus ngiri ke aku. Tapi setidaknya kamu harus intropeksi diri. Siapa tahu
selama ini kamu nggak atau kurang professional dalam melayani tamu-tamu.”
“kalau mau
ceramah di mimbar sana. Ngomong emang enak!”semprot ninon dengan tatapn tak
senang. Sekar kembali manyum.”lho, kok marah. Githu aja kok repot.
“sudah,
sudah! Kalian itu ya, duit aja didebatin.” Seru nur nggak sabar.”eh, siapa yang
mau nganter aku ke kantor pos nanti malam”
“Mau
ngapain?”Tanya sekar sembari menghitung kembali uangnya. Nur nggak tahu, apakah
dia beneran ngitung uang atau memang pura-pura, hanya untuk menunjukan lembaran
uang miliknya di hadapan ninon. Nur bisa melihat raut muka ninon yang ditekuk.
Memang, dari dulu sekar dan ninon jarang akur.
“kantor pos
nggak ada yang buka malam neng.” Ujar ninon mengalihkan kekesalannya.
“okey, kalau
begitu besok.”jawab nur.
“iya, sama
aku aja, sekalian berangkat ke kafe.”kata ninon sambil beranjak menuju
tangga;hendak ke kamarnya.
Kini tinggal
nur dan sekar yang berada di ruang tamu.
“aku kira
tante viola bakal ngasih gaji sama rata.”ujar nur.
“enggak lah,
ini professional. Kalau kerja kita bagus dan banyak pemasukan, kita bisa dapet
uang lebih banyak lagi. Jadi tergantung dari seberapa banyak keuntungan yang
kita berikan buat tante viola. kalau umpamanya bulan depan penghasilanmu dari
kafe siang nambah, itu berarti gaji kamu juga bakalan nambah.”
Nur hanya
mengaggukan kepalanya. “emang gimana sih rahasianya kamu bisa punya penghasilan
gede. Bahkan bisa lebih dari ninon.”pancing nur. Jelas ia masih penasaran
dengan kata-kata ninon dahulu. Pelanggan yang seperti apa yang biasa
mengunjungi kafe malam. Lalu apa yang menyebabkan mereka berebut pelanggan.
“ya intinya
kembali ke kita. Kalau kita pinter ngedeketin pelanggan dan ngajak dia,
maksudku, bersikap ramah terhadap para pelanggan. Maka otomatis pelanggan
balakan seneng sama kita.”jelas sekar.
“trus apa
bedanya ninon sama kamu?”Tanya nur lebih lanjut.
Sekar
terdiam.”maksud kamu?”
“iya, kan
penghasilan kalian berdua jauh berbeda, padahal kerja di tempat yang sama.
Factor apa yang membuat kalian beda dari segi penghasilannya.”
“tapi kamu
janji nggak bilang-bilang ke ninon ya.”bisik sekar.
“sejak kapan
aku ingkar janji.”balas nur.
Sekar
mencondongkan kepalanya dan berbisik di telinga nur.”ninon itu orangnya
pilih-pilih. Dia pasti milih para pelanggan yang cocok dia layanin.”
“lho, pas
kerja sama aku ninon biasa aja tuh.”
“iya, tapi
kalau di kafe malam ini beda.”
“Bedanya?”
“Sudahlah,
nanti juga tahu sendiri. Eh ngomong-ngomong, kamu dapet berapa dari tante,
nur?” selidik sekar. Kini ia sudah memasukan semua uang miliknya ke dompetnya.
“lumayan lah,
buat bantu biaya di kampung.”jawab nur. Jujur, dia juga merasa minder
menyebutkan nominalnya.
“kamu bantu
emak sama bapakmu?”Tanya sekar lebih lanjut.
Nur menatap
sekar dengan tatapan penuh selidik.’emangnya kenapa Tanya-tanya segala.”
“nggak
kenapa-napa. Pengen tahu aja.”
Nur
tercenung.”emak sama bapakku udah meninggal. Kini aku yang bertanggung jawab
buat ngebiayain adik-adikku. Mereka masih pada sekolah.”
Sekar menatap
nur dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Matanya tanpak berkaca-kaca. Sekar
terdiam beberapa saat. Tak berapa lama ia kembali menatap nur,“emang kamu punya
adik berapa nur?”
“dua.”
Sekar
menghela nafas panjang. Kemudian ia beranjak dari hadapan nur.”aku duluan ya
nur.”
“ya.”jawab
nur pendek. dan ia pun segera beranjak menuju kamarnya juga.
Ia harus
banyak menyimpan energy untuk bisa kembali bekerja esok hari. Ia tak ingin
ketiduran di meja resepsionist seperti pengalamannya pas minggu pertama. Ia
juga tak ingin rasa kantuk menyerangnya ketika ia mengantar pesanan ke setiap
meja.
malam ini nur
merasakan kebahagian yang tiada tara. Sudah terbayang di benaknya, esok ia akan
mengirimkan sebagian besar uangnya dan ia juga bisa membayangkan senyum paman
dan bibinya.Nur membayangkan dani yang memakai buku-bukunya yang baru. Adik
laki-lakinya itu juga punya pensil crayon baru dan menggoreskan beberapa warna
di buku gambarnya.
Ia bisa membayangkan arti yang menggendong tas
sekolahnya yang baru. Seragamnya dan sepatunya juga baru. Arti berjalan dengan
langkah yang gembira. Ia bernyanyi kecil dan seselaki berkata lirih,”hatur
nuhun teh nur.”
Malam itu nur
benar-benar mimpi indah. Ia bisa melihat senyum emak dan bapak di dalam
mimpinya.
No comments:
Post a Comment