8 Feb 2015

Ketika Kang Bani Pergi

Suara pesawat tempur meraung-raung di atas rumah kami. Begitu pula suara deru mobil yang suaranya semakin memekakan telinga. Tangan kananku yang sedari tadi menulis tak ayal berhenti menggerakan pena. Aku ternganga sebelum tersadar dengan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Aku berpikir bagaimana bisa di bulan puasa, bedebah-bedebah itu masih saja punya cara untuk menciptakan kekacauan?

“Asep! Ayo kita segera ke ruang bawah!” seru Kang Jani menyadarkan keterpanaanku. Kami sekeluarga -aku, Emak, Kang Jani, Teh Euis kakak iparku dan Teh Nining- dengan tergesa berlari menuju ruang dapur. Sebenarnya anggota keluarga kami berlima. Cuma kang Bani, kakakku yang pertama yang menjadi suami Teh Euis sedang tidak ada di rumah. Ia sedang berkunjung ke rumah teman-temannya. Kang Bani dan teman-temannya adalah para pejuang desa yang selalu bergerilya saat para kompeni berusaha menguasai desa kami. Pun ketika para Londo hengkang dari tanah air Indonesia, kang Bani dan pemuda-pemuda desa lainnya tak berhenti berjuang untuk menghalau para nipon yang pertama datang dengan memasang topeng simpati mereka. Apa yang mereka bilang? Cahaya Asia? Bah, penduduk desaku telah tertipu dan menjadi sapi perah mereka.

Di bulan puasa kali ini, Nipon kembali menyerang desa kami. Mau tak mau para gerilyawan harus bergerak lebih cepat. Mereka terkadang berbuka atau bersahur di hutan-hutan, jauh dari anggota keluarga yang mereka tinggalkan di perkampungan.

Tanpa membuang waktu, Emak membuka tiga papan jati yang menutupi lubang menuju ruang bawah tanah. Letaknya tepat di samping dapur. Ruang bawah tanah adalah ruang tempat persembunyian kami dan para penduduk kampung pada umumnya. Ketika para nipon menyisir kampung, kami sekeluarga akan bersembunyi di dalamnya hingga para tentara biadab itu hengkang. Kadang kami dapati beberapa barang berharga dan hasil panen sudah raib dari kamar dan goah. Maka sudah pada mafhum, penduduk kampung akan menyimpan padi atau barang berharga lainnya di ruang bawah tanahnya.

Dalih dari penyisiran itu adalah untuk mencari para pejuang yang bersembunyi di desa-desa. Yang selalu membuat onar dan ulah terhadap pos-pos tentara nipon di setiap penjuru desa. Itulah yang dikatakan para tentara pendek bermata sipit itu. Tapi nyatanya tetap saja kami takut menjadi korban atau teraniaya. Atau para kaum hawa takut mereka akan menjadi jugun ianfu. Konon, kata emak, mereka dibawa untuk memuaskan hasrat-hasrat para tentara biadab itu. Mereka dijadikan budak di tangsi-tangsi tentara yang mereka rebut dari Belanda.

Kami cepat-cepat menuruni anak tangga sebelum para nipon itu masuk mengeledah rumah kami.

“Aduh! Petromaksnya lupa. Cepat naik dan ambil di dalam goah!” perintah emak kepada kang Jani. Kang Jani kembali naik ke atas setelah menginjak dua anak tangga. Ia hendak mengambil petromaks sebagai penerang. Karena ruang bawah tanah sangat gelap dan lembab.

Beberapa saat lamanya kami hanya terdiam dalam kegelapan hingga terdengar suara benda di gedor dengan keras.

BRAK!! Terdengar suara pintu yang dibuka secara paksa. Kang Jani tercekat dan serta merata menutupkan papan jati satu persatu di atas lubang tempat kami masuk tadi. Tak lupa menutupinya dengan karung goni dan tumpukan jerami. Seandainya hal itu tak dilakukan, tentunya para nipon itu akan mengenali papan penutup lubang persembunyian itu.

Kang Jani perlahan-lahan menuruni tangga, sementara tangan kanannya memengang petromaks yang berdesis dan menyala putih. Petromak itu adalah peninggalan almarhum bapak. Barang berharga yang selalu membuat kenangan terhadap bapak membuncah di dada.

Bapak ditembak oleh tentara nipon enam bulan yang lalu saat ia mencoba melawan dan berontak. Tentara-tentara biadab itu dengan paksa menyeret teh Ninih. Kakakku yang kedua setalah Kang Bani.Teh Ninih adalah teteh pertamaku selain dari teh Nining. Bapak tidak terima dan mencoba melawan ketika tentara-tentara biadab itu mencoba membawa anak perempuannya. Bapak mengambil palang pintu dan memukul tentara terakhir yang kan keluar dari rumah. Teman-temannya merasa geram melihat rekan mereka terkulai karena digebuk palang pintu dengan keras. Mereka balik menghajar bapak dan mereka menembakan peluru panas di dada bapak yang gagah perkasa.

Aku masih ingat bagaimana suara tembakan dari selongsong senjata itu. aku masih ingat bagaimana pelipis bapak berdarah karena sabetan bayonet para tentara jepun itu. aku masih menyimpan memori pahit itu di benakku.

Teh Nining mereka bawa pergi dengan uraian air mata. Air mata kehilangan yang pada saat itu kami telah kehilangan dua anggota keluarga sekaligus. Emak histeris di samping jasad bapak. Bergantian mulutnya meneriakan nama bapak dan anak keduanya yang dibawa pergi entah kemana.

Hingga sekarang pun teh Ninih tak pernah kembali.  Aku benar-benar takut hanya dengan membayangkan hal-hal buruk yang besar kemungkinan dihadapi teh Ninih. Aku khawatir tentara biadab itu menjadikan teh Ninih sebagai jugun ianfu. Terjebak diantara kumpulan gadis-gadis desa yang lugu. Menjadi pemuas nafsu durjana para tentara matahari terbit di perang pasifik.

Kami berlima terduduk di lantai tanah yang pengap, lembab dan gelap. Kami berada dalam kondisi khawatir luar biasa; khawatir jika seandainya tentara nipon itu mengetahui persembunyian kami. Dalam hati aku hanya berdoa kepada Gusti Allah agar semuanya baik-baik saja.

La haula wala quwwata illa billah….

“Teteh mah takut terjadi apa-apa sama kang Bani, Sep.” keluh teh Euis lirih. Mencemaskan anak sulung emak yang baru dua minggu menjadi suaminya. Mereka memang menikah dua hari sebelum bulan Ramadan tiba atas perjodohan orangtua masing-masing.

“Sudahlah, jangan terlalu dicemaskan. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja,” hibur emak kepada menantunya itu.

Di ruang bawah tanah yang berukuran dua tiga meter itu kami berlima terdiam dalam hening. Hanya desah nafas saja yang terdengar berirama ditingkahi degup jantung yang tiada jeda.

Tiba-tiba saja aku teringat kejadian empat tahun yang lalu. Ketika itu aku masih di kelas dua SR. sementara Teh Nining di kelas akhir HIS.

Aku dan teh Nining asyik menangkapi ikan betok dan mujair di kolam milik bapak yang mulai mengering karena kemarau panjang. Kami berencana akan membakar ikan hasil tangkapan kami di dijadikan sebagai menu makan malam kami sekeluarga. Ada beberapa genangan yang kira-kira sedalam lima belas meter di atas lumpur yang mulai agak mengering. Genangan-genangan kecil di atas lumpur itu berkumpul ikan-ikan mujair. Kala itu aku berpikir, jika seandainya ada penelitian tentang kecerdasan ikan, aku yakin ikan mujair menduduki peringkat teratas. Bagaimana tidak, ikan itu akan mencoba bertahan hidup di kala air sudah semakin sedikit dan menyempit. Mereka akan membuat kolam-kolam kecil di atas lumpur. Semacam kubangan untuk tmpat hidup mereka di kala kemarau panjang.

Di genanan-genangan lumpur itu kami menangkapi betok dan mujair dengan  tangan kami. Kalau tidak segera diambil,siap-siaplah kecewa karena musang akan menangkapi ikan-ikan itu malam harinya. Sudah dua hari ini kami mendapati jejak mereka. Hewan serupa kucing itu meninggalkan kotoran dan sisa-sisa ikan di pematang kolam kami. Memang serakah laku hewan ini. Maka pantas dia menyandang predikat hewan paling diburu oleh para lelaki kampung sebagai hama. Dari mulai kopi, bahkan ayam di kandang dijarahnya.

BUMM!! Tiba-tiba kami mendengar suara dentuman dari arah selatan kampung Cipandan. Tak jauh dari tempat kami berada terdengar deru mobil-mobil tentara yang semakin mendekat.

Sigana mah jiga bakal aya tentara kompeni liwat kadieu jang.” Kata teh Nining dengan nada khawatir. Wajahnya celingukan menengok ujung jalan desa yang persis di pingir kebun kami.

Aku mengangguk cemas. Begitu juga dengan teh Nining. Kami tak tahu apa yang harus kami lakukan. Dan sepersekian detik kami menyadari bahwa kami harus sembunyi sebelum tentara-tentara itu lewat tepat di jalan dekat kebun. Dalam benakku, aku membayangkan mereka membawa bayonet dan kapan saja mereka bisa menusuk kami dengan ujungnya yang runcing.

“Hayu tuturkeun teteh,” bisik teh Nining kepadaku. Tangannya yang masih berlumpur menyeret tanganku. Ia tak peduli ketika ember yang kubawa terlepas dari genggaman. Ikan-ikan itu tumpah ruah dan mengelepar dan mencoba kembali ke dalam genagan. Kini ikan-ikan malang itu merdeka berkat rasa takut  yang melanda kami berdua. Kami sudah tidak lagi peduli tentang urusan ikan untuk makan malam nanti. Kami lebih peduli tentang nyawa yang dikandung badan. Dengan badan telanjang dan berlumpur aku mengikuti Teh Nining menuruni pematang. Menuju selokan kecil yang menjorok karena tanahnya selalu terkikis saat banjir tiba. Kami bersembunyi di dalam cekungan diantara himpitan batu selokan. Teh Nining memeluk tubuhku dan menutupi tubuh kami dengan jerami.

Tentara Belanda itu lewat tanpa mengetahui keberadaan kami yang ngajejempe di selokan pinggiran jalan. Setelah konvoi mobil tentara pergi, kami keluar dari persembunyian dengan tubuh yang dihajar gatal.

***

Sore itu, kami berbuka puasa tanpa kehadiran kang Bani. Untuk kesekian kalinya. Kami hanya berbuka dengan nasi oyek. Itu hanyalah satu-satunya menu mewah yang kami punya. Jika beruntung, kami terkadang bisa memakan nasi. Tapi itu sangat jarang. Bisa dihitung dengan jari dalam waktu sebulan.

Selepas membatalkan puasa, kami mendirikan shalat bersama. Emak melanjutkannya dengan membaca alquran. Begitu juga dengan Teh Euis. Sementara aku dan Kang Jani hanya berdiam diri di babancik sembari menatap cahaya bulan. Karena bosan, Kang Jani melinting tembakau dan menyulutnya dalam diam.

Malam ini surau kami tidak melaksanakan shalat tarawih. Warga lebih memilih berdiam di rumah karena nipon masih berkeliaran. Lebih dari pada itu, hampir semua lelaki berada di gunung dan hutan batas desa dalam rangka bergerilya. Sehingga secara otomatis desa kami senyap dari kaum lelaki. Pun dengan surau yang biasanya ramai oleh jamaah tarawih yang dipimpin oleh Mama Ajengan Sadeli.

Malam sudah begitu larut, tetapi kang Bani belum juga belum juga pulang. Mataku sulit terpejam. Entahlah, aku terlalu mengkhawatirkan kang Bani yang pergi sejak kemarin pagi dan hingga sekarang belum kembali ke rumah. Dan aku yakin, Teh Euis sama khawatirnya seperti diriku. Bahkan mungkin lebih khawatir dibanding diriku sendiri. Entah sudah berapa kali dia mengeluh di hadapanku dan di hadapan emak sendiri sejak kemarin sore. Entah sudah berapa kali dia bolak balik dapur-ruang tamu-halaman hanya untuk memastikan bahwa kang Bani akan terlihat di ujung jalan.

Emak hanya diam dari kemarin sore. Tapi dari sorot matanya yang sayu aku bisa menangkap kekhawatiran yang sama seperti yang dirasakan aku dan Teh Euis. Tapi jika aku mengutarakan apa yang aku khawatirkan, ibu selalui tersenyum dan pura-pura tenang. “Percayalah sama Gusti Allah yang selalu menjaga kang Bani.”

Kata-kata itu sama persis seperti apa yang diucapkan emak ketika teh Euis mengeluh padanya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari arah depan. Aku serta merta terbangun dan beranjak menghampiri pintu. Sekilas aku melihat jam dinding tua di ruang depan menunjukan pukul dua belas kurang lima menit.

“Assalamualaikum…”seseorang mengucapkan salam dari luar. Tak lain, pemilik suara baritone itu adalah milik kang Bani yang sejak kemarin membuat kami sekeluarga cemas bukan alang kepalang. Bagaimana pun juga kami telah merasakan pahitnya arti kehilangan semenjak kepergian bapak dan Teh Ninih.

“Waalaikum salam.”jawabku setengah berteriak kemudian membuka palang pintu. Disana kutemukan kang Bani yang tersenyum padaku.

“Belum tidur, sep?” tanyanya padaku.

“Emak! Teteh! Kang Bani tos mulang!!” teriakku memanggil Emak dan Teh Euis yang sejak jam sepuluh tadi sudah tidur pulas di kamar tengah.

Tak berapa lama kemudian keduanya sudah muncul di ruang tengah dengan wajah yang terkantuk-kantuk tapi sekaligus menjadi cerah dan sumringah demi melihat kang Bani berdiri di ambang pintu.

Emak menghambur dan memeluk anak sulungnya. “Alhamdulillah! Emak sangat mengkhawatirkanmu, Bani. Kenapa baru pulang? Emak kira kamu dibawa sama tentara nipon.”

Kang Bani tersenyum dan mengelus punggung emak. “Maafkan Bani, mak,” jawabnya sembari melepaskan pelukan emak. Kemudian terduduk di kursi rotan. Wajahnya yang tirus menunjukan gurat keletihan.

“Kemarin Nipon menyisir kampung kagi, kang,” ujar Teh Euis sembari meraih tangan suaminya dan menciumnya dengan takzim. Kemudian dia duduk di samping kang Bani dan menyandarkan kepalanya di bahu kang Bani yang kukuh dan lebar.

“Iya, Akang tahu. Makanya Akang baru pulang malam ini,” timpal kang Bani. Tangan kekarnya mengelus rambut istrinya dengan sayang.

Di luar sana suara angin mendesau-desau. Menampar reranting dan dedaunan hingga menimbulkan gemerisik seumpama simfoni alam. Suara kodok mengorek dan bersahutan mencipta perkusi yang tak berkesudahan. Hawa dingin yang dibawa angin menembus gedek bambu dinding rumah kami. Desau angin itu seakan membawa kabar bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

“Kamu sudah buka puasa?” tanya Emak. “Jika belum masih ada oyek di atas tetenong.”

“Sudah tadi. Biarlah oyeknya buat sahur emak sama anak-anak,” jelas Kang Bani. “Aku masih kenyang, Mak.”

“Akang mau Kopi?” tanya Teh Euis sembari mengangkat kepalanya dari bahu sang suami. Seperti biasa, sepulang suaminya, dia setia menawarkan kopi.

“Teh Manis saja, Nyi.”

“Gula pasirnya habis. Begitu juga dengan gula merah,” kali ini Emak yang bicara. Memang, sejak kedatangan Nipon, ada kelangkaan dalam semua kebutuhan. Apalagi semenjak Belanda hengkang, pabrik gula di ujung karasidenan tidak lagi beroperasi.

“Kalau begitu, teh tawar saja.”

Teh Euis bangkit dari kursi dan beranjak ke dapur. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa secangkir teh tawar untuk kang bani.

Kang Bani tersenyum dan menatap Euis dengan penuh cinta. Ia meraih cangkir dan menyeruputnya perlahan.

“Akang tak akan lama-lama. Teman-teman sudah pada menunggu di rumah kang Jajang,” ujar kang bani setelah menyeruput tehnya.

“Memangnya ada apa?” timpal emak.

“Kami akan bergerilnya melawan nipon malam ini. Tadi sore letnan Amir sudah memberi intruksi dan mengatur strategi. Base camp kami di hutan gadog dan akan menyerang pos-pos nipon menjelang fajar,”terang kang bani. Ia bangkit dari kursi rotan dan meraih bedil berlaras panjang di atas lemari jati. Menyorennya di bahu sebelah kiri. Kemudian ia beralih ke laci dan mengambil revolver rampasan dari kompeni lima tahun yang lalu. Istimewanya, senjata mewah itu adalah hasil rampasan bapak ketika menyerang tentara londo di ujung masa kepongahan meraka. Hingga kekalahan di perang pasifik memaksa meraka untuk kembali ke negerinya.

 

Emak hanya menatap kang Bani pasrah. “Berangkatlah, kami hanya bisa mendoakan. Semoga Gusti Allah selalu memberimu petunjuk.”

Teh Euis mendesah pelan. Aku paham, ia ingin kang Bani menemaninya malam ini. Tapi aku juga paham, kang Bani bukan lelaki munafik yang meninggalkan kewajibannya sebagai pejuang demi istrinya yang cantik jelita. Dia adalah lelaki yang punya idealisme dan kehormatan. Kehormatan itu dia letakan di atas tanggungjawab dan perjuangan. Dia seorang lelaki ksatria. Sama seperti bapak yang rela berkalang tanah di atas darah perjuangan.

“Jani mana mak?” Tanya kang bani menanyakan adik keduanya. Sementara tangannya mengotak-atik revolver yang sudah lama tidak dipakai.

“Masih tidur,” jawab emak dan melirik aku yang mematung memperhatikan kang bani. “Panggilkan akangmu, Sep.”

Aku beranjak menuju kamar  kang Jani. Berusaha membangunkannya. Dia tidak mudah bangun. Jadi aku harus membangunkannya dengan perasaan dongkol. Tak heran jika emak menyebutnya sebagai ‘si kebluk.’ Aku berhasil membangunkannya dengan menggelitik kedua telapak kakinya yang penuh dengan gurat-gurat rorombeheun akibat kebiasannya berjalan tanpa alas kaki di pematang dan ladang. Dia menekukan kedua kakinya dan bangkit dengan malas. “Ada apa sih, menganggu orang tidur saja!”

“Kang bani sudah pulang. Tapi dia mau berangkat bergerilya malam ini,” ujarku, berusaha membuatnya tersadar dari rasa kantuknya.

Demi mendengar kang Bani sudah pulang, Jani melupakan rasa kantuknya. Matanya yang sayu mendadak berbinar cerah. “Akang sudah pulang?”

Aku mengangguk gemas.

Kang Jani kemudian mengambil sarungnya, melilitkannya di pinggang dan berjalan dengan sempoyongan diikuti aku dari belakang.

Sampai di ruang tengah kulihat Kang Bani memasukan satu setel baju dan sehelai sarung ke dalam ranselnya. Kemudian beberapa butir peluru dan revolver ia lesakan juga ke dalam ransel yang sama.

“Kang Bani!” seru Jani sembari menghampur ke arah kakaknya. “Akang mau berangkat lagi?”

Kang Bani mengangguk. “Iya. Akang harus bergerilya.”

“Aku mau ikut, kang!” seru Jani antusias.

“Jangan. Ingat kata bapak, tugasmu menjaga emak dan Teteh di rumah. Juga menemani adikmu belajar.” Kang Bani melirikku, mengacak-acak rambutku sembari tersenyum lebar.  “Bani pamit dulu mak,” ujarnya dan meraih tangan keriput emak. Kemudian menciumnya dengan rasa takzim. Kemudian menghampiri Teh Euis dan mencium keningnya. “Doakan akang ya Nyi.”

Kang Bani beralih menatap kami bertiga yang berjajar layaknya regu dalam grup para pemegang naskah saat upacara bendera. Aku, kang Jani dan The Nining yang dari tadi hanya terdiam saja.

“Asep! Jani! Jaga emak dan kedua tetehmu ya. Aku titipkan mereka pada kalian berdua.” Kang Bani tersenyum simpul. Untuk yang kesekian kalinya mengacak-acak rambut kami berdua.

Kang bani berbalik ke arah pintu dan melangkah meninggalkan kami yang masih berdiri. Menembus pekat malam di bawah guyuran hujan.

***

Aku duduk termangu ditemani secangkir kopi dan ssepiring  singkong rebus yang dimasak emak. Sementara emak dan Teh Euis sibuk memasak di dapur. Mereka memasak gaplek untuk menyambut kang Bani yang bakal pulang malam ini. Sesuai janjinya kemarin.

Sudah tiga hari kang Bani pergi. Aku selalu berharap dia datang dengan membawa cerita-cerita heroik yang membuat aku dan kang Jani ternganga mendengar ceritanya saat bergerilya. Bagaimana dia pernah bercerita bahwa dia hampir tertembak di batok kepalanya jika seandainya dia tidak cepat menembakan bedil ke tempurung kepala lawannya. Bagaimana ia terjungkal ke kedalaman jurang dan selamat dengan bergelantungan dari akar-akar yang mencuat. Kang bani juga pernah bercerita hal-hal mistis yang tak masuk akal yang ia alami bersama teman-temannya dan membuat kami semakin terbawa oleh ceritanya yang hidup.

Aku tahu, sebuah pertempuran dan gerilya akan selalu menyimpan misteri takdir yang tak bisa diprediksi. Ada yang pulang dengan terluka atau bahkan tak bernyawa. Kedua hal itu tetap aku khawatirkan. Ya, khawatir yang begitu berlebihan terhadap kang Bani. Tapi Emak dan teh Euis yakin bahwa kang bani akan pulang malam ini.

“Belum tidur, Sep?”

Aku tak segera menjawab karena sayup-sayup aku mendengar suara orang yang berbicara di luar, ditingkahi desau angin dibawah guyuran hujan. Aku yakin kang Bani sudah di halaman rumah. Mungkin ia datang bersama teman-temannya karena akumendengar dengungan percakapan mereka. Emak tampak tersenyum senang dan beranjak ke depan. “Akangmu pulang, Sep.”

“Assalamualaikum…”

“Waalaikum salam,” jawab kami serempak . Aku yang membuka pintu bambu dan aku melihat tiga orang laki-laki di ambang pintu. Aku mengenali mereka karena seringnya mereka bersama kang Bani. Kang Itam, kang Yona dan Yono. Tapi aku tak melihat kang Bani diantara mereka. Tak berapa lama muncul seorang lelaki dengan jenggot dan jambangnya yang lebat dan hitam. Pak Amir.

Emak membuka pintu bambu semakin lebar hingga menimbulkan bunyi decitan.”Oh pak amir ya. Bani mana pak?”

Pak amir menghela nafas. Kemudian ia menoleh ke samping rumah dan mengangguk lemah. Sejurus kemudian dua pemuda yang sedari tadi tak kami lihat kini menghampiri ambang pintu. Mereka membawa sesosok jasad di dalam tandu yang ditutup kain sarung.

Darahku berdesir.

Emak tak bergeming dan mata simeuteun.

Pak amir berdehem dan berkata pelan. “Saya harap emak bisa menerima takdir yang sudah digariskan gusti Allah kepada hambanya. Bani…bani gugur di medan tempur semalam.”

Kami berlima tercekat kaget.

“KANG BANI!!” teriakku tak tertahankan. Kata-kata yang keluar dari mulut Pak Amir bagai petir di siang bolong. Walau aku yakin, Pak Amir mengucapkannya dengan suara pelan dan perlahan. Emak hanya terus beristighfar dengan bulir air mata yang terus mengalir di kedua pelupuk matanya. Teh Euis terisak perlahan. Begitu juga The Nining dan kang Jani. Mereka bertiga terjatuh dipangkuan Emak.

“Insya allah, anak emak syahid,” lirih suara emak sembari tersenyum dalam tangisnya

 

Bunga kamboja berguguran satu-satu. Sementara cakrawala merona dengan semburat jingga. Aku dan Teh Euis berjongkok di gundukan tanah merah yang basah. Sebagaimana basahnya kedua pipi teh Euis oleh bulir-bulir air mata.  Aku membelai batu nisan yang menancap kokoh di pusara. Batu nisan kang Bani. Seakan aku melihat senyumnya di batu nisan itu. kini pahlawan kami terbaring dengan damai di bawah batu nisan tersebut. Dan aku akan selalu menyebut kang Bani sebagai pahlawan. Kami selalu mengenang namanya dengan penuh ketakziman.

Bani Abdillah bin Markum

Lahir: 7 Januari 1930

Wafat: 5 September  1947

 

Aku genggam tangan Teh Euis dengan erat. Berusaha menguatkannya.

“Aku bangga punya akang yang gugur di medan juang demi bangsanya. Insya Allah aku akan menjadi pejuang sejati seperti dirinya,” ujarku lirih.

Teh Euis berusaha tersenyum. Wajahnya merona terpapar cahaya jingga senja. Kami beranjak melangkah untuk pulang. Malam akan menjelang seiring cahaya senja yang hilang dan kian memudar.

Untuk bapakku yang ceritanya menginspirasiku.

 

KETERANGAN:

Londo : bule

Nipon : sebutan untuk tentara jepang

Goah : lumbung padi yang biasaya menyatu dengan ruangan dapur

Jugun ianfu : wanita-wanita asia,khususnya indonesia yang sengaja direkrut oleh jepang untuk menjadi wanita penghibur para tentara jepang ketika terjadi perang Pasifik

Teteh : panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda

SR : Sekolah Rakyat (Sekolah zaman colonial setara kelas 1-3 SD)

HIS : Hollandsch-Inlandsche School (HIS) ("sekolah Belanda untuk bumiputera")

*Sepertinya tentara nipon akan melewati tempat ini dik

**Ayo ikuti kakak

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment