Suara pesawat tempur meraung-raung di atas rumah kami. Begitu
pula suara deru mobil yang suaranya semakin memekakan telinga. Tangan kananku
yang sedari tadi menulis tak ayal berhenti menggerakan pena. Aku ternganga
sebelum tersadar dengan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Aku berpikir
bagaimana bisa di bulan puasa, bedebah-bedebah itu masih saja punya cara untuk
menciptakan kekacauan?
“Asep! Ayo kita segera ke ruang bawah!” seru Kang Jani
menyadarkan keterpanaanku. Kami sekeluarga -aku, Emak, Kang Jani, Teh Euis
kakak iparku dan Teh Nining- dengan tergesa berlari menuju ruang dapur.
Sebenarnya anggota keluarga kami berlima. Cuma kang Bani, kakakku yang pertama
yang menjadi suami Teh Euis sedang tidak ada di rumah. Ia sedang berkunjung ke rumah
teman-temannya. Kang Bani dan teman-temannya adalah para pejuang desa yang
selalu bergerilya saat para kompeni berusaha menguasai desa kami. Pun ketika
para Londo hengkang dari tanah air Indonesia, kang Bani dan pemuda-pemuda desa
lainnya tak berhenti berjuang untuk menghalau para nipon yang pertama datang
dengan memasang topeng simpati mereka. Apa yang mereka bilang? Cahaya Asia?
Bah, penduduk desaku telah tertipu dan menjadi sapi perah mereka.
Di bulan puasa kali ini, Nipon kembali menyerang desa kami.
Mau tak mau para gerilyawan harus bergerak lebih cepat. Mereka terkadang
berbuka atau bersahur di hutan-hutan, jauh dari anggota keluarga yang mereka
tinggalkan di perkampungan.
Tanpa membuang waktu, Emak membuka tiga papan jati yang
menutupi lubang menuju ruang bawah tanah. Letaknya tepat di samping dapur.
Ruang bawah tanah adalah ruang tempat persembunyian kami dan para penduduk
kampung pada umumnya. Ketika para nipon menyisir kampung, kami sekeluarga akan
bersembunyi di dalamnya hingga para tentara biadab itu hengkang. Kadang kami
dapati beberapa barang berharga dan hasil panen sudah raib dari kamar dan goah. Maka sudah pada mafhum, penduduk
kampung akan menyimpan padi atau barang berharga lainnya di ruang bawah
tanahnya.
Dalih dari penyisiran itu adalah untuk mencari para pejuang
yang bersembunyi di desa-desa. Yang selalu membuat onar dan ulah terhadap
pos-pos tentara nipon di setiap penjuru desa. Itulah yang dikatakan para
tentara pendek bermata sipit itu. Tapi nyatanya tetap saja kami takut menjadi
korban atau teraniaya. Atau para kaum hawa takut mereka akan menjadi jugun ianfu. Konon, kata emak, mereka
dibawa untuk memuaskan hasrat-hasrat para tentara biadab itu. Mereka dijadikan
budak di tangsi-tangsi tentara yang mereka rebut dari Belanda.
Kami cepat-cepat menuruni anak tangga sebelum para nipon itu
masuk mengeledah rumah kami.
“Aduh! Petromaksnya lupa. Cepat naik dan ambil di dalam
goah!” perintah emak kepada kang Jani. Kang Jani kembali naik ke atas setelah
menginjak dua anak tangga. Ia hendak mengambil petromaks sebagai penerang.
Karena ruang bawah tanah sangat gelap dan lembab.
Beberapa saat lamanya kami hanya terdiam dalam kegelapan
hingga terdengar suara benda di gedor dengan keras.
BRAK!! Terdengar suara pintu yang dibuka secara paksa. Kang
Jani tercekat dan serta merata menutupkan papan jati satu persatu di atas
lubang tempat kami masuk tadi. Tak lupa menutupinya dengan karung goni dan
tumpukan jerami. Seandainya hal itu tak dilakukan, tentunya para nipon itu akan
mengenali papan penutup lubang persembunyian itu.
Kang Jani perlahan-lahan menuruni tangga, sementara tangan
kanannya memengang petromaks yang berdesis dan menyala putih. Petromak itu
adalah peninggalan almarhum bapak. Barang berharga yang selalu membuat kenangan
terhadap bapak membuncah di dada.
Bapak ditembak oleh tentara nipon enam bulan yang lalu saat
ia mencoba melawan dan berontak. Tentara-tentara biadab itu dengan paksa
menyeret teh Ninih. Kakakku yang kedua setalah Kang Bani.Teh Ninih adalah teteh
pertamaku selain dari teh Nining. Bapak tidak terima dan mencoba melawan ketika
tentara-tentara biadab itu mencoba membawa anak perempuannya. Bapak mengambil
palang pintu dan memukul tentara terakhir yang kan keluar dari rumah.
Teman-temannya merasa geram melihat rekan mereka terkulai karena digebuk palang
pintu dengan keras. Mereka balik menghajar bapak dan mereka menembakan peluru
panas di dada bapak yang gagah perkasa.
Aku masih ingat bagaimana suara tembakan dari selongsong
senjata itu. aku masih ingat bagaimana pelipis bapak berdarah karena sabetan
bayonet para tentara jepun itu. aku masih menyimpan memori pahit itu di
benakku.
Teh Nining mereka bawa pergi dengan uraian air mata. Air mata
kehilangan yang pada saat itu kami telah kehilangan dua anggota keluarga
sekaligus. Emak histeris di samping jasad bapak. Bergantian mulutnya meneriakan
nama bapak dan anak keduanya yang dibawa pergi entah kemana.
Hingga sekarang pun teh Ninih tak pernah kembali. Aku benar-benar takut hanya dengan
membayangkan hal-hal buruk yang besar kemungkinan dihadapi teh Ninih. Aku
khawatir tentara biadab itu menjadikan teh Ninih sebagai jugun ianfu. Terjebak diantara kumpulan gadis-gadis desa yang lugu.
Menjadi pemuas nafsu durjana para tentara matahari terbit di perang pasifik.
Kami berlima terduduk di lantai tanah yang pengap, lembab dan
gelap. Kami berada dalam kondisi khawatir luar biasa; khawatir jika seandainya
tentara nipon itu mengetahui persembunyian kami. Dalam hati aku hanya berdoa
kepada Gusti Allah agar semuanya baik-baik saja.
La haula wala quwwata illa billah….
“Teteh mah takut terjadi apa-apa sama kang Bani, Sep.” keluh
teh Euis lirih. Mencemaskan anak sulung emak yang baru dua minggu menjadi
suaminya. Mereka memang menikah dua hari sebelum bulan Ramadan tiba atas
perjodohan orangtua masing-masing.
“Sudahlah, jangan terlalu dicemaskan. Insya Allah semuanya
akan baik-baik saja,” hibur emak kepada menantunya itu.
Di ruang bawah tanah yang berukuran dua tiga meter itu kami
berlima terdiam dalam hening. Hanya desah nafas saja yang terdengar berirama
ditingkahi degup jantung yang tiada jeda.
Tiba-tiba saja aku teringat kejadian empat tahun yang lalu.
Ketika itu aku masih di kelas dua SR. sementara Teh Nining di kelas akhir HIS.
Aku dan teh Nining asyik menangkapi ikan betok dan mujair di
kolam milik bapak yang mulai mengering karena kemarau panjang. Kami berencana
akan membakar ikan hasil tangkapan kami di dijadikan sebagai menu makan malam
kami sekeluarga. Ada beberapa genangan yang kira-kira sedalam lima belas meter
di atas lumpur yang mulai agak mengering. Genangan-genangan kecil di atas
lumpur itu berkumpul ikan-ikan mujair. Kala itu aku berpikir, jika seandainya
ada penelitian tentang kecerdasan ikan, aku yakin ikan mujair menduduki
peringkat teratas. Bagaimana tidak, ikan itu akan mencoba bertahan hidup di
kala air sudah semakin sedikit dan menyempit. Mereka akan membuat kolam-kolam
kecil di atas lumpur. Semacam kubangan untuk tmpat hidup mereka di kala kemarau
panjang.
Di genanan-genangan lumpur itu kami menangkapi betok dan
mujair dengan tangan kami. Kalau tidak
segera diambil,siap-siaplah kecewa karena musang akan menangkapi ikan-ikan itu
malam harinya. Sudah dua hari ini kami mendapati jejak mereka. Hewan serupa
kucing itu meninggalkan kotoran dan sisa-sisa ikan di pematang kolam kami. Memang
serakah laku hewan ini. Maka pantas dia menyandang predikat hewan paling diburu
oleh para lelaki kampung sebagai hama. Dari mulai kopi, bahkan ayam di kandang
dijarahnya.
BUMM!! Tiba-tiba kami mendengar suara dentuman dari arah
selatan kampung Cipandan. Tak jauh dari tempat kami berada terdengar deru
mobil-mobil tentara yang semakin mendekat.
“Sigana mah jiga bakal aya
tentara kompeni liwat kadieu jang.” Kata teh Nining dengan nada khawatir. Wajahnya
celingukan menengok ujung jalan desa yang persis di pingir kebun kami.
Aku mengangguk cemas. Begitu juga dengan teh Nining. Kami tak
tahu apa yang harus kami lakukan. Dan sepersekian detik kami menyadari bahwa
kami harus sembunyi sebelum tentara-tentara itu lewat tepat di jalan dekat
kebun. Dalam benakku, aku membayangkan mereka membawa bayonet dan kapan saja
mereka bisa menusuk kami dengan ujungnya yang runcing.
“Hayu tuturkeun teteh,” bisik teh Nining kepadaku. Tangannya
yang masih berlumpur menyeret tanganku. Ia tak peduli ketika ember yang kubawa
terlepas dari genggaman. Ikan-ikan itu tumpah ruah dan mengelepar dan mencoba
kembali ke dalam genagan. Kini ikan-ikan malang itu merdeka berkat rasa takut yang melanda kami berdua. Kami sudah tidak
lagi peduli tentang urusan ikan untuk makan malam nanti. Kami lebih peduli
tentang nyawa yang dikandung badan. Dengan badan telanjang dan berlumpur aku
mengikuti Teh Nining menuruni pematang. Menuju selokan kecil yang menjorok
karena tanahnya selalu terkikis saat banjir tiba. Kami bersembunyi di dalam
cekungan diantara himpitan batu selokan. Teh Nining memeluk tubuhku dan
menutupi tubuh kami dengan jerami.
Tentara Belanda itu lewat tanpa mengetahui keberadaan kami
yang ngajejempe di selokan pinggiran jalan. Setelah
konvoi mobil tentara pergi, kami keluar dari persembunyian dengan tubuh yang
dihajar gatal.
***
Sore itu, kami berbuka puasa tanpa kehadiran kang Bani. Untuk
kesekian kalinya. Kami hanya berbuka dengan nasi oyek. Itu hanyalah
satu-satunya menu mewah yang kami punya. Jika beruntung, kami terkadang bisa
memakan nasi. Tapi itu sangat jarang. Bisa dihitung dengan jari dalam waktu
sebulan.
Selepas membatalkan puasa, kami mendirikan shalat bersama.
Emak melanjutkannya dengan membaca alquran. Begitu juga dengan Teh Euis.
Sementara aku dan Kang Jani hanya berdiam diri di babancik sembari menatap cahaya bulan. Karena
bosan, Kang Jani melinting tembakau dan menyulutnya dalam diam.
Malam ini surau kami tidak melaksanakan shalat tarawih. Warga
lebih memilih berdiam di rumah karena nipon masih berkeliaran. Lebih dari pada itu,
hampir semua lelaki berada di gunung dan hutan batas desa dalam rangka
bergerilya. Sehingga secara otomatis desa kami senyap dari kaum lelaki. Pun
dengan surau yang biasanya ramai oleh jamaah tarawih yang dipimpin oleh Mama Ajengan Sadeli.
Malam sudah begitu larut, tetapi kang Bani belum juga belum
juga pulang. Mataku sulit terpejam. Entahlah, aku terlalu mengkhawatirkan kang
Bani yang pergi sejak kemarin pagi dan hingga sekarang belum kembali ke rumah.
Dan aku yakin, Teh Euis sama khawatirnya seperti diriku. Bahkan mungkin lebih
khawatir dibanding diriku sendiri. Entah sudah berapa kali dia mengeluh di
hadapanku dan di hadapan emak sendiri sejak kemarin sore. Entah sudah berapa
kali dia bolak balik dapur-ruang tamu-halaman hanya untuk memastikan bahwa kang
Bani akan terlihat di ujung jalan.
Emak hanya diam dari kemarin sore. Tapi dari sorot matanya
yang sayu aku bisa menangkap kekhawatiran yang sama seperti yang dirasakan aku
dan Teh Euis. Tapi jika aku mengutarakan apa yang aku khawatirkan, ibu selalui
tersenyum dan pura-pura tenang. “Percayalah sama Gusti Allah yang selalu
menjaga kang Bani.”
Kata-kata itu sama persis seperti apa yang diucapkan emak
ketika teh Euis mengeluh padanya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari arah depan. Aku
serta merta terbangun dan beranjak menghampiri pintu. Sekilas aku melihat jam
dinding tua di ruang depan menunjukan pukul dua belas kurang lima menit.
“Assalamualaikum…”seseorang mengucapkan salam dari luar. Tak
lain, pemilik suara baritone itu adalah milik kang Bani yang sejak kemarin
membuat kami sekeluarga cemas bukan alang kepalang. Bagaimana pun juga kami
telah merasakan pahitnya arti kehilangan semenjak kepergian bapak dan Teh Ninih.
“Waalaikum salam.”jawabku setengah berteriak kemudian membuka
palang pintu. Disana kutemukan kang Bani yang tersenyum padaku.
“Belum tidur, sep?” tanyanya padaku.
“Emak! Teteh! Kang Bani tos mulang!!” teriakku memanggil Emak
dan Teh Euis yang sejak jam sepuluh tadi sudah tidur pulas di kamar tengah.
Tak berapa lama kemudian keduanya sudah muncul di ruang
tengah dengan wajah yang terkantuk-kantuk tapi sekaligus menjadi cerah dan
sumringah demi melihat kang Bani berdiri di ambang pintu.
Emak menghambur dan memeluk anak sulungnya. “Alhamdulillah! Emak
sangat mengkhawatirkanmu, Bani. Kenapa baru pulang? Emak kira kamu dibawa sama
tentara nipon.”
Kang Bani tersenyum dan mengelus punggung emak. “Maafkan Bani,
mak,” jawabnya sembari melepaskan pelukan emak. Kemudian terduduk di kursi
rotan. Wajahnya yang tirus menunjukan gurat keletihan.
“Kemarin Nipon menyisir kampung kagi, kang,” ujar Teh Euis sembari
meraih tangan suaminya dan menciumnya dengan takzim. Kemudian dia duduk di
samping kang Bani dan menyandarkan kepalanya di bahu kang Bani yang kukuh dan
lebar.
“Iya, Akang tahu. Makanya Akang baru pulang malam ini,”
timpal kang Bani. Tangan kekarnya mengelus rambut istrinya dengan sayang.
Di luar sana suara angin mendesau-desau. Menampar reranting
dan dedaunan hingga menimbulkan gemerisik seumpama simfoni alam. Suara kodok
mengorek dan bersahutan mencipta perkusi yang tak berkesudahan. Hawa dingin
yang dibawa angin menembus gedek bambu dinding rumah kami. Desau angin itu
seakan membawa kabar bahwa sebentar lagi akan turun hujan.
“Kamu sudah buka puasa?” tanya Emak. “Jika belum masih ada
oyek di atas tetenong.”
“Sudah tadi. Biarlah oyeknya buat sahur emak sama anak-anak,”
jelas Kang Bani. “Aku masih kenyang, Mak.”
“Akang mau Kopi?” tanya Teh Euis sembari mengangkat kepalanya
dari bahu sang suami. Seperti biasa, sepulang suaminya, dia setia menawarkan
kopi.
“Teh Manis saja, Nyi.”
“Gula pasirnya habis. Begitu juga dengan gula merah,” kali
ini Emak yang bicara. Memang, sejak kedatangan Nipon, ada kelangkaan dalam
semua kebutuhan. Apalagi semenjak Belanda hengkang, pabrik gula di ujung
karasidenan tidak lagi beroperasi.
“Kalau begitu, teh tawar saja.”
Teh Euis bangkit dari kursi dan beranjak ke dapur. Beberapa
menit kemudian ia kembali membawa secangkir teh tawar untuk kang bani.
Kang Bani tersenyum dan menatap Euis dengan penuh cinta. Ia
meraih cangkir dan menyeruputnya perlahan.
“Akang tak akan lama-lama. Teman-teman sudah pada menunggu di
rumah kang Jajang,” ujar kang bani setelah menyeruput tehnya.
“Memangnya ada apa?” timpal emak.
“Kami akan bergerilnya melawan nipon malam ini. Tadi sore
letnan Amir sudah memberi intruksi dan mengatur strategi. Base camp kami di
hutan gadog dan akan menyerang pos-pos nipon menjelang fajar,”terang kang bani.
Ia bangkit dari kursi rotan dan meraih bedil berlaras panjang di atas lemari
jati. Menyorennya di bahu sebelah kiri. Kemudian ia beralih ke laci dan
mengambil revolver rampasan dari kompeni lima tahun yang lalu. Istimewanya,
senjata mewah itu adalah hasil rampasan bapak ketika menyerang tentara londo di
ujung masa kepongahan meraka. Hingga kekalahan di perang pasifik memaksa meraka
untuk kembali ke negerinya.
Emak hanya menatap kang Bani pasrah. “Berangkatlah, kami hanya
bisa mendoakan. Semoga Gusti Allah selalu memberimu petunjuk.”
Teh Euis mendesah pelan. Aku paham, ia ingin kang Bani
menemaninya malam ini. Tapi aku juga paham, kang Bani bukan lelaki munafik yang
meninggalkan kewajibannya sebagai pejuang demi istrinya yang cantik jelita. Dia
adalah lelaki yang punya idealisme dan kehormatan. Kehormatan itu dia letakan
di atas tanggungjawab dan perjuangan. Dia seorang lelaki ksatria. Sama seperti
bapak yang rela berkalang tanah di atas darah perjuangan.
“Jani mana mak?” Tanya kang bani menanyakan adik keduanya.
Sementara tangannya mengotak-atik revolver yang sudah lama tidak dipakai.
“Masih tidur,” jawab emak dan melirik aku yang mematung
memperhatikan kang bani. “Panggilkan akangmu, Sep.”
Aku beranjak menuju kamar
kang Jani. Berusaha membangunkannya. Dia tidak mudah bangun. Jadi aku
harus membangunkannya dengan perasaan dongkol. Tak heran jika emak menyebutnya
sebagai ‘si kebluk.’ Aku berhasil membangunkannya dengan menggelitik kedua
telapak kakinya yang penuh dengan gurat-gurat rorombeheun akibat kebiasannya
berjalan tanpa alas kaki di pematang dan ladang. Dia menekukan kedua kakinya
dan bangkit dengan malas. “Ada apa sih, menganggu orang tidur saja!”
“Kang bani sudah pulang. Tapi dia mau berangkat bergerilya
malam ini,” ujarku, berusaha membuatnya tersadar dari rasa kantuknya.
Demi mendengar kang Bani sudah pulang, Jani melupakan rasa
kantuknya. Matanya yang sayu mendadak berbinar cerah. “Akang sudah pulang?”
Aku mengangguk gemas.
Kang Jani kemudian mengambil sarungnya, melilitkannya di
pinggang dan berjalan dengan sempoyongan diikuti aku dari belakang.
Sampai di ruang tengah kulihat Kang Bani memasukan satu setel
baju dan sehelai sarung ke dalam ranselnya. Kemudian beberapa butir peluru dan
revolver ia lesakan juga ke dalam ransel yang sama.
“Kang Bani!” seru Jani sembari menghampur ke arah kakaknya. “Akang
mau berangkat lagi?”
Kang Bani mengangguk. “Iya. Akang harus bergerilya.”
“Aku mau ikut, kang!” seru Jani antusias.
“Jangan. Ingat kata bapak, tugasmu menjaga emak dan Teteh di
rumah. Juga menemani adikmu belajar.” Kang Bani melirikku, mengacak-acak
rambutku sembari tersenyum lebar. “Bani
pamit dulu mak,” ujarnya dan meraih tangan keriput emak. Kemudian menciumnya
dengan rasa takzim. Kemudian menghampiri Teh Euis dan mencium keningnya. “Doakan
akang ya Nyi.”
Kang Bani beralih menatap kami bertiga yang berjajar layaknya
regu dalam grup para pemegang naskah saat upacara bendera. Aku, kang Jani dan The
Nining yang dari tadi hanya terdiam saja.
“Asep! Jani! Jaga emak dan kedua tetehmu ya. Aku titipkan
mereka pada kalian berdua.” Kang Bani tersenyum simpul. Untuk yang kesekian
kalinya mengacak-acak rambut kami berdua.
Kang bani berbalik ke arah pintu dan melangkah meninggalkan
kami yang masih berdiri. Menembus pekat malam di bawah guyuran hujan.
***
Aku duduk termangu ditemani secangkir kopi dan ssepiring singkong rebus yang dimasak emak. Sementara
emak dan Teh Euis sibuk memasak di dapur. Mereka memasak gaplek untuk menyambut
kang Bani yang bakal pulang malam ini. Sesuai janjinya kemarin.
Sudah tiga hari kang Bani pergi. Aku selalu berharap dia
datang dengan membawa cerita-cerita heroik yang membuat aku dan kang Jani
ternganga mendengar ceritanya saat bergerilya. Bagaimana dia pernah bercerita
bahwa dia hampir tertembak di batok kepalanya jika seandainya dia tidak cepat
menembakan bedil ke tempurung kepala lawannya. Bagaimana ia terjungkal ke
kedalaman jurang dan selamat dengan bergelantungan dari akar-akar yang mencuat.
Kang bani juga pernah bercerita hal-hal mistis yang tak masuk akal yang ia
alami bersama teman-temannya dan membuat kami semakin terbawa oleh ceritanya
yang hidup.
Aku tahu, sebuah pertempuran dan gerilya akan selalu menyimpan
misteri takdir yang tak bisa diprediksi. Ada yang pulang dengan terluka atau
bahkan tak bernyawa. Kedua hal itu tetap aku khawatirkan. Ya, khawatir yang
begitu berlebihan terhadap kang Bani. Tapi Emak dan teh Euis yakin bahwa kang
bani akan pulang malam ini.
“Belum tidur, Sep?”
Aku tak segera menjawab karena sayup-sayup aku mendengar
suara orang yang berbicara di luar, ditingkahi desau angin dibawah guyuran
hujan. Aku yakin kang Bani sudah di halaman rumah. Mungkin ia datang bersama
teman-temannya karena akumendengar dengungan percakapan mereka. Emak tampak
tersenyum senang dan beranjak ke depan. “Akangmu pulang, Sep.”
“Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam,” jawab kami serempak . Aku yang membuka
pintu bambu dan aku melihat tiga orang laki-laki di ambang pintu. Aku mengenali
mereka karena seringnya mereka bersama kang Bani. Kang Itam, kang Yona dan
Yono. Tapi aku tak melihat kang Bani diantara mereka. Tak berapa lama muncul
seorang lelaki dengan jenggot dan jambangnya yang lebat dan hitam. Pak Amir.
Emak membuka pintu bambu semakin lebar hingga menimbulkan
bunyi decitan.”Oh pak amir ya. Bani mana pak?”
Pak amir menghela nafas. Kemudian ia menoleh ke samping rumah
dan mengangguk lemah. Sejurus kemudian dua pemuda yang sedari tadi tak kami
lihat kini menghampiri ambang pintu. Mereka membawa sesosok jasad di dalam
tandu yang ditutup kain sarung.
Darahku berdesir.
Emak tak bergeming dan mata
simeuteun.
Pak amir berdehem dan berkata pelan. “Saya harap emak bisa
menerima takdir yang sudah digariskan gusti Allah kepada hambanya. Bani…bani
gugur di medan tempur semalam.”
Kami berlima tercekat kaget.
“KANG BANI!!” teriakku tak tertahankan. Kata-kata yang keluar
dari mulut Pak Amir bagai petir di siang bolong. Walau aku yakin, Pak Amir
mengucapkannya dengan suara pelan dan perlahan. Emak hanya terus beristighfar
dengan bulir air mata yang terus mengalir di kedua pelupuk matanya. Teh Euis
terisak perlahan. Begitu juga The Nining dan kang Jani. Mereka bertiga terjatuh
dipangkuan Emak.
“Insya allah, anak emak syahid,” lirih suara emak sembari
tersenyum dalam tangisnya
Bunga kamboja berguguran satu-satu. Sementara cakrawala
merona dengan semburat jingga. Aku dan Teh Euis berjongkok di gundukan tanah
merah yang basah. Sebagaimana basahnya kedua pipi teh Euis oleh bulir-bulir air
mata. Aku membelai batu nisan yang
menancap kokoh di pusara. Batu nisan kang Bani. Seakan aku melihat senyumnya di
batu nisan itu. kini pahlawan kami terbaring dengan damai di bawah batu nisan
tersebut. Dan aku akan selalu menyebut kang Bani sebagai pahlawan. Kami selalu
mengenang namanya dengan penuh ketakziman.
Bani Abdillah bin Markum
Lahir: 7 Januari 1930
Wafat: 5 September
1947
Aku genggam tangan Teh Euis dengan erat. Berusaha
menguatkannya.
“Aku bangga punya akang yang gugur di medan juang demi
bangsanya. Insya Allah aku akan menjadi pejuang sejati seperti dirinya,” ujarku
lirih.
Teh Euis berusaha tersenyum. Wajahnya merona terpapar cahaya
jingga senja. Kami beranjak melangkah untuk pulang. Malam akan menjelang
seiring cahaya senja yang hilang dan kian memudar.
Untuk bapakku yang ceritanya menginspirasiku.
KETERANGAN:
Londo : bule
Nipon : sebutan untuk tentara jepang
Goah : lumbung padi yang biasaya menyatu dengan ruangan dapur
Jugun ianfu : wanita-wanita asia,khususnya indonesia yang
sengaja direkrut oleh jepang untuk menjadi wanita penghibur para tentara jepang
ketika terjadi perang Pasifik
Teteh : panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda
SR : Sekolah Rakyat (Sekolah zaman colonial setara kelas 1-3
SD)
HIS : Hollandsch-Inlandsche School (HIS) ("sekolah
Belanda untuk bumiputera")
*Sepertinya tentara nipon akan melewati tempat ini dik
**Ayo ikuti kakak
No comments:
Post a Comment