21 Feb 2015

Elegi Kenangan

Fatimah gamang. Dengan hati yang diliputi keraguan ia menatap sangsi sel nomor 84 itu. Seseorang tanpak menunduk di dalamnya, tak menyadari kehadirannya. Dilangkahkan kakinya denga hati yang berdebar. Laki-laki yang sedari tadi menunduk perlahan mendongak demi mendengar langkah kaki di dekatnya. Matanya yang merah dan sayu menatap Fatimah. Nyata benar ia mengantuk. Tapi demi melihat Fatimah, tatapannya berubah menjadi tatapan tajam penuh kebencian. Mata tajamnya menyimpan dendam yang mengiris hati Fatimah. Ya, rupanya dendam itu masih tersimpan di dada lelaki bermata sayu itu.
Fatimah menunduk dan mendekati terali besi dengan hati gamang.
Lelaki itu masih menatapnya tajam.”Untuk apa kau datang kesini?”ujarnya dengan suara sumbang.
“Aku ingin menjengukmu.”jawab Fatimah lirih. Jari-jari tanganya yang lentik menggenggam terali besi berkarat yang terasa dingin di telapak tangannya. Ia berharap Arman mau menerimanya layaknya seorang tahanan lapas menyambut kunjungan anggota keluarganya. Walau pun Fatimah sadar, bahwa dia bukan siapa-siapanya Arman. Walau pun Fatimah sadar sepenuh sadar, ia telah khilaf dengan menghianati cinta tulus Arman kepadanya. Dulu.
Arman tersenyum mengejek”Mimpi apa aku semalam? Aku tak pernah mau kau mengunjungiku, wanita jalang.”
Fatimah terdiam dan semakin mengeratkan genggaman tangannya. Bagaimana pun juga, kata-kata Arman barusan menorehkan sakit di hatinya. Rasanya ingin ia menangis saat itu juga. Tapi ia tak ingin laki-laki dihadapannya melihatnya menderita. Itu akan membuat lelaki itu merasa senang dan menang.
Arman bangkit dari tikar kumal yang sedari tadi ia duduki. Mendengus. Dengan kesal ia menghampiri jeruji besi tepat di hadapan Fatimah yang mematung terdiam. Emosinya memuncak demi melihat mantan istrinya itu.
“Mana suamimu yang turunan menak yang menjadi bupati itu Fatimah? Biar sekalian kau menambah derita untukku!”
Fatimah tetap bergeming. Ia berusaha menyabarkan hatinya.
Arman masih tersenyum sarkastis.”Katanya suamimu tersangkut kasus korupsi dan skandal dengan seorang mahasiswi ya.”
“Dan kau datang kesini hanya untuk mengobati luka hatimu karena dikhianati suamimu yang bupati itu.”
“Dan kau tak tahan menanggung malu karena suamimu.”
“Kau hanya wanita murahan yang bisa dengan mudah tercekoki dengan harta emas dan permata.”
Fatimah merasakan panas di kedua bola matanya. Kepalanya seakan-akan mau meledak dihajar oleh kata-kata yang keluar dari mulut Arman. Kata-kata pedas itu seakan menjelma menjadi palu godam dan menghajar batok kepalanya tanpa ampun.
Kemudian datang seorang staff polisi menghampiri Fatimah dengan senyum ramah.
“Teteh ingin bertemu Arman?”tanyanya sembari melempar pandang ke penghuni jeruji yang dibakar emosi. Fatimah mengangguk lemah.
Polisi itu menghampiri sel dan membuka gemboknya. Perlahan sel nomor 84 itu terbuka lebar. Staff polisi itu berlalu.
Fatimah masuk ke dalam ruangan sempit itu dan meletakan bungkusan makanan yang dibawanya di sudut ruangan tak jauh dari sosok Arman. Sengaja ia bawa untuk mantan suaminya.
Fatimah hanya terdiam. Ia bahkan memikirkan kata apa yang pantas ia lontarkan untuk sebuah obrolan ringan. Arman telah menggulirkan bola panas dendam dan sebisa mungkin ia tak terpengaruhi oleh luapan amarah Arman.
“Aku harap kamu sabar menjalani kehidupanmu disini.”lirihnya dengan hati-hati.
“Ini semua gara-gara kamu, wanita jalang!” balas Arman dengan tatapan elangnya.”Bukankah kamu yang mengkhianataiku? Tapi kau dengan wajah tanpa dosamu melenggang di hadapanku?mengejekkah?”
Fatimah menunduk terdiam.”Maafkan aku Man,….aku me-memang salah. Aku wanita yang tak tahu diri.” Ujar Fatimah lirih dengan suara terbata-bata. Airmatanya mengalir di kedua pelupuk matanya.”dan sekarang fat-…”
“Dan sekarang kau menyesal, begitu? Aku sudah tak mau percaya lagi dengan semua sandiwaramu. Percuma kau menangis di hadapanku. Walau sampai nangis darah pun aku tak akan pernah peduli. Air mata buaya tak perlu untuk disesali.”seru Arman dengan nada meninggi.
Fatimah menatap Arman dengan mata basah,” Kau masih dendam dan sakit hati?”
“Seharusnya kau tak melontarkan pertanyaan bodoh seperti itu.”ejek Arman dengan nada yang sama.
Fatimah membisu dalam isak tangisnya. Ia mengusap air mata itu dengan kerudung selendangnya.”Aku tahu semua kesalahanku sanganlah besar. Aku tak peduli kau akan memaafkanku ataupun tidak, yang terpenting bagiku aku sudah meminta maaf kepadamu, aku sungguh menyesal kang Arman. Ini tak lain kulakukan supaya aku terbebas dari beban dosa-dosaku kepadamu di hadapan Gusti Allah kelak. Tapi harapku kau bisa memaafkanku supaya purna kelegaan hatiku.”
Arman terdiam.
‘Gusti Allah juga Maha Pengampun kang Arman. Maaf-Nya meluas memenuhi jagat. Pintu tobat selalu terbuka sepanjang masa. Lalu bagaimana mungkin kau tak bisa memaafkan…”
“Sudah!! Aku tak butuh ceramahmu!”
Fatimah menatap Arman sayu. Kemudian ia menghela nafas dalam-dalam dan berbalik pergi. Meninggalkan arman sendiri.
Arman menatap kepergian wanita yang pernah menjadi bagian dalam kehidupannya itu. Ia mendesah dengan nafas berat. Perlahan ia mengangkat mukanya yang tertunduk. Tanpa disadari, kedua bola matanya memanas dan mulai basah oleh airmata. Pikirannya semakin kalut dengan kenangan-kenangan masa lalu. Potongan-potongan kisah kehidupannya bersama Fatimah mulai berseliweran di kepalanya. Arman mengakui bahwa ia msih dihantui kenangan itu. Ia masih merindukan kebersamaannya bersama Fatimah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia masih menyimpan serpihan rindu. Tapi itu tak sebanding dengan luka menganga yang bersemayam di hati yang sama.
****
Berawal ketika dirinya berkenalan dengan gadis cantik anak pengusaha kaya dari kota. Perkenalan itu berujung pada cinta yang bermekaran di dadamereka. Hingga tak lama setelah itu Arman berhasil mempersunting gadis cantik itu dan menikah dengan diliputi bahagia. Dialah Fatimah, gadis cantik itu. Dimana, rasa cintanya semakin bersemi seiring berjalannya waktu. Dimana kehidupan rumah tangga itu menghidupkan tunas-tunas harapan dan bunga-bunga asa bersemayam dalam dadanya.

Hingga tanpa disadarinya ada kumbang pengganggu yang mengusik bunga hatinya. Kumbang itulah yang belakangan ia ketahui seorang pria muda yang terpilih menjadi bupati dalam pencalonan pilkada Sumedang. Kumbang pengganggu itu bernama Aom Usman.
Arman merasa jengah dengan kehadiran kumbang pengganggu itu. Pilihan terakhirnya, ia mengajak Fatimah untuk pindah ke desa asalnya di Garut. Meskipun ia harus melepaskan pekerjaannya sebagai buruh pabrik di kota, pun dengan istrinya sebagai anak tunggal dari kedua orang tuanya. Mereka meninggalkan kehidupan kota dengan harapan yang masih menggebu. Tak lain supaya bunga hatinya terbebas dari gangguan kumbang pengusik bernama Usman itu.
“Saya tak mau pisah dari ambu dan abah kang.”protes Fatimah ketika keinginannya untuk pindah diutarakan kepada Fatimah.
‘Fatimah, Akang mengerti bagaimana perasaanmu ketika harus pisah sama abah dan ambu. Apalagi kamu anak tunggal satu-satunya. Tapi akang ingin sekali mengurus kebun kopi peninggalan kakek yang terbengkelai di kampung.”Arman mencoba mengutarakan alasan.
Fatimah mengangguk. Padahal hati kecilnya merasa berat ketika harus meninggalkan kota dan jauh dari orang tua yang selalu memanjakannya.
****
“Ah!!saya sudah tidak tahan tinggal di sini. Saya ingin kembali balik ke Cimahi!” seru Fatimah dengan muka keruh.
Arman menatap istrinya tajam, tapi ia juga berusaha menyabar-nyabar dirinya.
“Kamu tak bisa merasakan penderitaan hati istri!”
“Memangnya kenapa hidup disini? Hanya jauh dari orang tua saja cengengnya minta ampun.”seru Arman dengan sedikit bentakan.”barang setahun dua kali kita juga berkunjung ke kota. Nengok ambu dan abah.”
“Ah! Ini bukan urusan nengok orang tua. Ini urusan hidup, akang. Hidup di kampung serba susah!”
“Tak kusangka Fatimah, kau seperti itu.”
“Ah!! Banyak omong kau Arman!” seru Fatimah sembari berlalu.
****
“Fat, menurut saya mah mendingan kamu balik ke orang tua. Daripada kamu hidup menderita.” Kata Asti mencoba memanas-manasi Fatimah. Saat itu mereka berdua pulang dari pasar rebo. Asti adalah sahabat Fatimah yang juga berasal dari cimahi. Asti tengah berkunjung menengok bibinya yang sakit di kampung.
“Iya as, salaki saya mah memang adatnya seperti itu. Kalau sudah begini harus begini. Keukeuh As.” Terang Fatimah sembari membenahi belanjaan di akeupan.
“Ya makanya fat, kamu kok mau saja nurut sama lelaki macam begitu. Lebih enak hidup di kota. Ujar Asti terus mengompori Fatimah. Fatimah hanya diam.
“Lebih baik kamu pergi ke kota. Apalagi disana ada pemuda kasep yang nungguin kamu fat. Ngapain ngurusin rumah tangga sama lelaki macam Arman.”
Sebenarnya Fatimah merasa tersinggung dengan perkataan Asti yang terkesan meremehkan Arman barusan. Tapi tak ayal dia merasa penasaran, siapa pemuda kasep yang dimaksud asti barusan.
“Kamu tahu Usman kan, calon Bupati Sumedang itu.” Terang Asti seakan tahu jalan pikiran Fatimah.
Fatimah menatap Asti dengan tatapan penuh minat.
“Pssst,…ngomong-ngomong_”Asti membetulkan akeupan yang hampir lepas dari bahunya.”Kalau kamu mau, kita bareng-bareng besok ke Cimahi. Aku mau pulang besok.”
Fatimah termenung. Dia masih gamang dengan tawaran Asti.
“Kumaha, tiasa henteu?”
Fatimah akhirnya mengangguk setuju.”Ya, saya ikut bareng kamu lah. Apalagi saya punya keinginan cari kerja yang mapan. Percuma aku punya segulung ijazah kalau nggak digunakan.”ujar Fatimah yakin. Ia sudah terpengaruh oleh bujukan Asti. Ia tak menyadari bahwa Asti sebenarnya adalah usung-esang Usman yang diharapkan mampu mempengaruhi Fatimah. Dan Asti tersenyum menang membayangkan segepok uang yang dijanjikan Tuan Usman. Tidak sia-sia perjalanannya menuju Garut hanya untuk mempengaruhi gadis bernama Fatimah. Dan waktunya begitu tepat pula, dimana Fatimah tengah dirundung duka karna keinginannya untuk kembali  ke kota tak diluluskan suaminya.
****
Arman benar-benar meradang. Ia merasa dihinakan oleh istrinya. Di pagi buta saat ia bangun dari tidurnya ia menemukan secarik kertas di atas meja. Kertas itu adalah surat yang ditujukan untuk dirinya. Surat itu ditulis dengan tulisan yang singkat dan huruf besar.

SAYA PERGI KE KOTA. SAYA SUDAH TIDAK KUAT HIDUP DI KAMPUNG SAMA KAMU.
TIDAK USAH KAMU MENYUSUL KARENA SAYA BOSAN DENGAN SEMUA KEHENDAKMU
                                                                                                                                             FATIMAH
Diremasnya kertas itu dan dilemparkannya dengan penuh amarah. Dia benar-benar pusing dan kalut. Entah kenapa, tiba-tiba hanya ada satu kata yang memenuhi benaknya. Cerai,cerai.
Aku talak istriku saat ini juga.
Dengan langkah tergesa ia meninggalkan rumah menuju rumah orangtuanya.
“Sudah, mulai sekarang juga kamu harus cerai sama si Fatimah.”ujar Nik Armi berang setelah mendengar semua penuturan Arman perihal kepergian Fatimah dari rumahnya.
“Sekarang kamu tahu akibatnya. Dulu kamu keukeuh ingin kawin sama si Fatimah itu.” Timpal abahnya  pula.
“Si Fatimah kan orang kota. Pasti akhlaqnya juga akhlak orang kota. Ngelawan suami buktinya ia bisa.”
“Minggu depan kita nyusul ke kota. Abah mau urus semuanya kita perlu bicara dengan kedua orang tuanya.” Pungkas abahnya dan berlalu pergi.
*****
Arman benar-benar berada dalam jurang yang dalam. Menggapai-gapai dalam keputus asaan yang semakin memuncak. Menghancurkan seluruh harapan dan asa yang sempat ia semai dalam kehidupan rumah tangganya. Hingga tiada tersisa. Apalagi setelah mendengar kabar dari adiknya yang kebetulan bekerja di pabrik tekstil di Cimahi. Adiknya, Saman mengabarkan bahwa Bupati Sumedang bernama Usman telah berhasil mempersunting mantan istriya. Fatimah.
Meski telah terpisah, tapi Arman masih mengharapkan wanita dengan wajah rembulan itu. Dan seiring kabar pernikahan Fatimah dengan Bupati Sumedang, harapannya berubah menjadi rasa frustasi dan dendam yang merencah hatinya. Rasa dendam itu menjelma menjadi rasa sakit hati yang menuntut pelampiasan akan segala hal yang selama ini tak pernah ia rambah. Ia menjadi seorang lelaki yang hilang pijakan dan seperti berjalan dalam kegelapan. Kelam. Arman telah melarikan keputusasaannya pada dunia lain. Dunia yang belum pernbah ia jamah sebelumnya.
“Arman! Maneh geus gelo!”bentak Nik Armi sembari membetulkan kainnya.
“Ada apa dih mak?”
“Kau kemanakan emas 30 gram yang didalam laci tuh?”
“Mana saya tahu.”
“Si Fadhil memergoki kamu ngambil kalung emak saat malam kemarin. Kamu ini kenapa ha?” seru Nik Armi berang.
Satu minggu kemudian lain lagi ceritanya. Nik Armi merasa malu dengan selentingan ibu-ibu pengajian mengenai hobi baru anak sulungnya, Arman. Di pengajian sore, Nik Armi hanya menahan malu demi mendengar anaknya dipergunjingkan. Di hadapan dirinya sendiri.
“Banyak orang yang menggunjingkan dirimu Man. Sering mereka lihat, kamu berduaan dengan ublag di simpang lima.”
Arman terdiam dan tetap bergeming di tempat duduknya.
“Setan apa yang merasuki tubuhmu itu Man?”
“Ah!sudahlah mak. Itu urusan saya sendiri. Mak gak usah ikut capur urusan saya lagi!!”seru Arman tak kalah berang. Ia pergi dari hadapan emaknya dengan muka merah padam menahan amarah dan malu yang menguasai hatinya.
“Emak malu sama tetangga Man!!”teriak Nik Armi diantara isak tangisnya.
“Aku tak peduli!” sahut Arman dari dalam kamarnya. Arman berharap emaknya tak akan pernah mempersoalkan semua tingkah lakunya lagi. 
Nik Armi bukannya benci dengan semua perubahan Arman. Tapi yang muncul adalah rasa prihatin dan iba kepada anak sulungnya itu. Ia tahu, Arman hanya merasa frustasi dengan kegagalan rumah tangganya bersama Fatimah.
Arman yang pemabuk, suka ulin awewe, dan mencuri dan semua tingkahnya yang berubah drastis. Arman yang dulu bukanlah Arman yang sekaran ini. Tiba-tiba saja ada yang menusuk-nusuk hatinya. Nik Armi merasa sedih dengan semua itu. Ia tak pernah menyangka Arman akan berubah dalam waktu yang begitu cepat. Ada rasa sakit yang mendera hatinya. Rasa iba seorang ibu terhadap anaknya. Dan timbul pula dendam, kebencian dan frustasi kepada Fatimah. Dendam itu tak ubahnya seperti sebuah biji yang  Nik Armi semai di kedalaman hatinya. Menurutnya, Fatimahlah yang menjadi dalang segala kebobrokan akhlak anak sulungnya. Fatimahlah yang membuat anaknya frustasi dan bikin malu setengah mati. Fatimah adalah biang kerok dari semua ketidak beresan ini.
Tapi lain dengan Bah Waryo. Bapak Arman.
“Si Arman terpaksa harus abah laporkan ke pihak kepolisian.”
“Abah ngomong apa sih. Teu kira-kira nyilakakeun anak  sorangan!” sergah Nik Armi.
“Daripada dia bikin kita susah, masyarakat susah, bikin malu keluarga pula. Kamu malu tidak?! Bentak Abah Waryo.
“Tapi kan__”
“Ini demi kebaikan dia mak. Abah ngerti!”
Sebuah ketukan di pintu menghentikan perdebatan Nik Armi dan Bah Waryo. Abah waryo beranjak ke depan hendak membuka pintu.
“Eh si mamang, ada apa mang?”seru Abah Waryo demi melihat siapa yang datang bertamu. Ternyata dia Mang Adnan, salah seorang kerabat jauhnya.
“Ada apa mang, tumben datang kemari.”timpal Nik Armi menyusul ke depan.
Mang Adnan terdiam, kemudian menatap Abah Waryo penuh arti.
“Kenapa? Ada sesuatau hal yang penting? Katakana saja.”
Mang Adnan menghela nafas berat.”Begini bah, saya hanya member informasi bahwa__”Mang Adnan kembali terdiam. Ia seakan sungkan untuk melanjutkan kata-katanya.
Abah waryo mengerutkan keningnya.”Kenapa?”
“Si_Si Arman ditangkap polisi tadi malam.”
“Tadi malam dia kedapatan lagi main sama ublag di warung pinggir jalan. Parahnya, dia bawa ganja tujuh gram.”terang Adnan dengan pelan.
Nik Armi histeris. Ia sesenggukan dan memanggil-manggil Jenengan Gusti Allah.
Abah Waryo hanya terdiam.
****
Arman hanya menunduk dalam. Kenangan-kenangan itu selalu berseliweran di kepalanya. Diam-diam timbul penyesalan di hatinya. Sesal yang kini secara perlahan melumat semua dendam yang coba ia pupuk. Tapi tetap saja gersang. Dirinya hampa dengan semua dendam palsu itu.
Tanpa Arman sadari, Emak dan Abahnya telah berdiri di depan bilik jeruji besi.
“Arman….”sapa emaknya.
Arman mendongakan kepalanya. Ia menemukan senyum emaknya dan sorot mata abahnya yang penuh wibawa. Ini kunjungan yang entah keberapa. Kunjungan setelah kunjungan Fatimah seminggu yang lalu.
“Bagaimana kabarmu Man?”Tanya Nik Armi dengan senyum di bibirnya. Arman hanya tersenyum hambar ketika menatap emaknya. Tapi senyum itu tiba-tiba sirna ketika dilihatnya muncul senyum lain yang sedari tadi memperhatikannya. Bukan senyum emaknya, tapi senyum seseorang wanita di belakang emaknya. Senyum Fatimah. Fatimah berdiri lima meter dari biliknya.
“Fatimah….”ujar Arman lirih.
Nik Armi mengikuti tatapan anaknya. Sekonyong-konyong didapatinya perempuan yang selama ini dia dendaminya.
Nik armi mendengus kesal. Tatapannya memerah nyalang.”Mau apa kau kesini ha?!” jerkah Nik Armi.”PERGI!!”
Fatimah masih merasa gamang diantara airmata yang berhamburan. Tangannya gemetaran.
“Saya ingin ngalongok kang Arman.”ujarnya pelan.
Arman tersenyum dengan airmata tak tertahankan.
Sabtu, 21 januari 2012
Revisi 2o februari 2015

KETERANGAN 
Teteh : panggilan kakak untuk perempuan. Sapaan sopan dari orang yang usianya muda kepada yang lebih tua (untuk perempuan).
Ambu : ibu
Abah : ayah
Akang : panggilan untuk kakak laki-laki. Panggilan sopan untuk yang lebih tua. Biasa juga digunakan   sebagai panggilan istri kepada suami.
Salaki : suami
Keukeuh : keras kepala, tak mau kalah
Akeupan : gendongan. Gendongan kain yang disampirkan di bahu
Kasep : tampan, ganteng
Kumaha, tiasa henteu : bagaimana, bisa tidak?
Usung-esang : kaki tangan, orang kepercayaan, anak buah
Maneh geus gelo : kamu sudah gila
Ublag : pelacur
Ulin awewe : main perempuan
Teu kira-kira nyilakakeun anak sorangan : tidak menyangka mencelakakan anak sendiri
Jenengan: nama, asma
Ngalongok : menengok, menjenguk

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment