Tidak sedikit orang tua atau guru sebagai pendidk atau
bahkan atasan dalam sebuah perusahaan yang bersikap tidak adil terhadap anak
atau anak dididk mereka. Maksud tidak adil di sini adalah membeda-bedakan anak
mereka sesuai dengan kemampuan atau skill yang mereka punyai. Atau membedakan mereka berdasar karakter yang
cederung mereka miliki. Sikap seperi ini pada akhirnya akan merugikan kedua
belah pihak, merugikan orang tua, guru atau atasan itu sendiri dan merugikan
anak/anak didik/bawahan mereka.
Hal ini bisa meruikan
sang orang tua atau guru atau atasan karena mereka bisa kehilangan kepercayaan
dari segelintir anak atau bawahan yang mereka sisihkan. Mungkin bukan maksud
mereka untuk menyisihkan, tapi di mata anak didik/bawahan, tak guru mereka/atasan
tak ubahnya menyisihkan eksistensi mereka disbanding rekan-rekannya. Selain itu
bisa mencederai integritas orang tua/guru/atasan yang sudah menjadi kewajiban
mereka mensuport anak/bawahannya.
Merugikan anak didik/bawahan apabila mereka tidak menerima
sikap guru/atasan mereka. Dikhawatirkan dalam hati mereka mengkristal kebencian
dan tidak senang. Rasa hormat akan menguap dari hati mereka. Mereka akan
menganggap guru/atasan sebagai oran yan tak layak mereka hormati. Bisa saja di
hadapan mereka bersikap hormat –baca;pura-pura hormat- tapi secara jujur
hatinya mencela dan ngedumel terhadap guru/atasannya. Di belakang mereka
membicarakan kejelekan-kejelekan guru dan atasannya.
Oke, saya akan urai satu-satu apa yang menyebabkan seorang
pendidik atau atasan dalam sebuah perusahaan membeda-bedakan dalam
memperlakukan anak didik/bawahan mereka.
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur sikap
tidak adil di atas. Semoga kita (jika kita sebagai pendidik atau atasan)
berhati-hati terjatuh ke dalam sikap yan salah tersebut.
1.
Karena paras dan fisik
Ini sebenarnya masalah klise yang sangat
memalukan. ada saja guru atau atasan yan
begitu perhatian atau terkesan mengabaikan terhadap anak didik/bawahan karena factor
penampilan fisik atau paras. Biasanya hal ini dipicu karena rasa suka atau
ketertarikan secara emosional dari guru/atasan terhadap anak didik/bawahannya.
Tentunya hal ini akan menimbulkan
kecemburuan social dan kita harus benar-benar menghindari hal ini terjadi.
2.
Karena kemampuan,skill dan pengetahuan
Factor ini yang biasanya banyak menimpa
guru/atasan. Guru/atasan mengutamakan anak didik/bawahan yang mempunyai
kemampuan di atas rata-rata atau punya nilai lebih disbanding teman-temannya. Sebenarnya
hal ini wajar dan tidak ada salahnya selama guru/ atasan tersebut punya
intensitas komunikasi dan perhatian dengan porsi yang sama antara anak
didik/bawahan yang punya skill mumpuni dengan skill biasa-biasa saja. Sudah pasti
dalam masalah reward, baik itu nilai/gaji berbeda. Tapi dalam hal sikap dan
komunikasi kita diharuskan untuk samarata dan memandang mereka sama. Hal semacam
ini bisa berefek buruk bagi anak didik/bawahan. Rasa percaya diri mereka akan
berkurang dan akan mengalami krisis secara perlahan.
Sebenarnya perbedaan skill atau kemampuan
adalah keniscayaan yang sudah seharusnya kita hargai dan toleransi. Ini tidak
terlepas dari beberapa factor yang melatari perbedaan. Boleh jadi umur mereka
sama, sekelas atau satu divisi. Tapi kenapa skill mereka berbeda.
Sebenarnya banyak yang menganggap itu
tergantung dari kerja keras anak didik/bawahan. Bisa jadi benar bisa jadi
salah. Memang banyak anak/bawahan yang malas sehingga tertinggal disbanding teman-temannya.
Tapi saya tidak akan membahas yang satu ini, karena hal ini diluar konteks
pembicaraan saya. Dalam kondisi tertentu bisa saja anak didik/bawahan melakukan
usaha yang sama, melakukan tugas mereka secara optimal. Tak jauh berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh anak didikbawahan yan punya skill istimewa. Lalu apa factor
yang mempengaruhi perbedaan itu?
Factor-faktor yang melatari perbedaan itu
diantaranya;
a.
Setiap mereka mempunyai intelegensia dan IQ yang
berbeda satu sama lain.
Jangan kita menambah
beban batin mereka dengan sikap menganak tirikan dan mengesampingkan hak-hak mereka untuk
dihargai sebagai anak didik/bawahan anda
b.
Setiap mereka punya background yang berbeda
Bisa saja si A adalah anak orang berada. Dia mengikuti berbagai macam kursus
dan bimbel dengan biaya yang tidak sedikit. Beda dengan si B. Dia hanya anak
didik dari kalangan menengah ke bawah, yang tentu saja orang tuanya tidak
sempat memikirkan istilah kursus atau bimbel. Lha wong, buat makan sehari-hari
saja mereka sudah syukur Alhamdulillah. Hasilnya? Bisa anda tebak sendiri. Tentunya
di kelas mereka mempunyai kemampuan bagai langit dan bumi. Contoh lainnya, bisa
saja si A punya pengalaman kerja yang lumayan. Jam terbangnya dalam bidang
kerja dan organisasi atau dalam pengalaman divisi yang ia pegang sudah begitu
matang sebelum ia masuk ke dalam divisi yang ia pegang sekaran ini. Beda dengan
si B, --yang dengan anugerah Tuhan tentunya—baru pertama kali masuk ke dalam
divisi perusahaan tersebut. Sebelumnya, si B Tak penah punya pengalaman kerja
atau berorganisasi. Ia masuk ke dalam perusahaan tersebut karena satu factor diantara
banyak factor-faktor pendukung lainnya. Walau pun si A dan si B satu divisi
tentunya mereka punya skill yang sangat berbeda.
3.
Karena karakter yang berbeda
Sudah menjadi sunatullah, setiap oran itu
punya karakter dan sifat yang berbeda. Dan ini bukan sebuah kecacatan.
Tapi pada kenyataannya, banyak anak didik/bawahan
yang merasa dirugikan hanya gara-gara karakter mereka yang tidak sesui dengan
guru/atasan mereka.
Sebutlah, seorang pendidik lebih cenderung
komunikatif dan akrab dengan si A karena sifat si A yang periang, murah senyum,
banyak bertanya dan apa adanya. Beda dengan si B yan cenderung pendiam dan
tertutup. Jangankan menyapa, tersenyum pun jarang. Jangan sampai karena
perbedaan karakter ini memerangkap kita pada sikap yang berbeda. Walau pun
terkesan kaku dan kikuk, usahakan anda bersikap sama dengan si B.
Yang harus dicamkan, para pendidik/atasan jangan sampai menyinggung-nyinggung
atau mengejek karakter seseorang yang menjadi anak didik/bawahannya. Apalagi jika
hal tersebut dilakukan di hadapan teman-temannya/atau rekannya satu divisi. Lebih
parah lagi membanding-bandingkannya secara blak-blakan. Jangan sampai sikap
kurang ajar itu anda lakukan. Jika sudah terlanjur, segeralah meminta maaf
kepada anak didik/bawahan anda.
Saya menulis hal ini karena saya pernah
menerima curhatan seorang teman sebagai korban bullying atasannya.
Teman tersebut bercerita bahwa atasannya
sering meniru-niru gayanya dalam
bersikap dan berbiara–yang [maaf] agak kemayu—di hadapan teman-teman satu
divisinya. Otomatis hal ini menjadi bahan tertawaan rekan-rekannya. Di lain
kesempatan atasannya tersebut sering membanding-bandinkan
dia dengan rekannya yang lan yang menurut atasannya macho disbanding dia yang
kemayu. Walaah….sampai keder teman saya. Dia hanya ngedumel dalam hati dan
menyimpan kedongkolan di dalam hatinya. Endingnya, dia keluar dari divisi
dimana dia bekerja.
The last I say, mari kita perbaiki diri
kita sebagai pendidik/atasan. Kita harus menjadi teladan dan bukan menjadi
musuh yang menjengkelkan bagi mereka [anak didik/bawahan kita]. Kita bukan
menjadi sosok yang ditakuti tapi disegani dan dihormati
merugika
No comments:
Post a Comment