29 Aug 2014

Sekeping Cinta di Trondheim





SEKEPING CINTA DI TRONDHEIM

Husni Magz

Aku menarik koporku dan menyusuri  jalananan yang lumayan ramai. Tubuhku masih terasa kaku setelah menempuh perjalanan panjang.  Sejak turun dari pesawat, aku berusaha merapatkan jaket dan berjalan dengan tergesa. Ini adalah awal musim gugur di bulan Agustus. Suhu dingin bisa mencapai 5 sampai 7 derajat celcius. Rupanya jaket tebal tidak mampu mengusir rasa dingin itu. Tapi seperti pepatah bangsa skandinavia,” there is no such thing as bed weather, only bad clothes”, aku tidak mempedulikan rasa dingin itu.

Sesuai kesepakatan dengan empunya rumah, aku akan dijemput di daerah pertokoan Trondheim Torg, dekat patung St. Olav. Kini aku sudah sampai di depan katedral Nidaros, berarti beberapa ratus meter lagi aku akan sampai kesana.

Sesuai kesepakatan, aku disuruh menunggu di toko karpet Persia persis di pojok utara pusat pertokoan. Sejenak  mataku meyapu sekitar area pertokoan dan patung St. Olav yang berdiri kokoh di atas puncak struktur pilar 18 meter itu.

Hari akan segera beranjak senja, jadi aku tidak terlalu terobsesi untuk memotret sana-sini. Lebih dari pada itu, aku yakin besok mempunyai waktu untuk memuaskan hasrat memotret. Aku semakin mempercepat langkah ketika kulihat toko karpet Persia berwarna orange  telah tanpak beberapa meter di depan mata, persis seperti yang telah dideskripsikan oleh Mrs. Stewart, si induk semang yang akan menjadi keluarga baruku.

Suasana lumayan ramai ketika aku duduk di bangku kayu panjang depan toko. Baru saja aku meraih smartphone ku ketika kudengar seseorang memanggil namaku.”Anita?”

Aku menoleh pada sumber suara. “Yes, I’m”

Seorang pemuda dengan kisaran usia dua puluh tahunan lebih telah berdiri menjulang di hadapanku. Dia tersenyum kepadaku. “Aku Evan, anak kedua Mrs. Stewart. Mom menyuruhku untuk menjemput Anda.”

“Okey.”ujarku pendek. Dari aksen bicaranya aku yakin dia seorang pemuda yang  canggung dan pemalu. Aku membalas senyumnya dan menganguk pelan. “Senang bertemu dengan Anda.”

Dia hanya tersenyum tipis kemudiam menuju  tempat dimana mobilnya diparkir. Aku mengikutinya dari belakang.

“Mari,” ujarnya pelan dan membukakan pintu mobil untukku. Aku memasukan koper terlebih dahulu, kemudian menghempaskan punggungku di jok mobil dengan perasaan lega yang tak terkira. Mobil pun melaju di jalanan yang mulai melenggang.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Mrs. Stewart kuhabiskan dengan diam. Pun begitu dengan pemuda yang menyetir dengan tenang. Sesekali aku mendapatinya melirikku dari kaca spion yang terpasang tepat di atas kepalanya. Pemuda dengan rambut cokelat dan mata biru kelam itu hanya dua kali melontarkan pertanyaannya padaku. Siapa namamu? Bagaimana negara asalmu? Dan aku kira dia kurang fasih bahasa inggris. Itu dapat aku lihat dari aksennya yang aneh. Namun beberapa saat lamanya dia juga akhirnya mengakui padaku atau lebih tepatnya meminta maaf karena tidak bisa mengajakku bicara lebih banyak.

“Aku sejak kecil tinggal di Belanda bersama  nenek dari pihak ibu. Baru dua bulan ini aku tinggal di kota kelahiran Dad,” terangnya padaku. “Jadi aku tidak terlalu fasih berbasaha inggris.”

Hanya memakan waktu 20 menit untuk bisa sampai ke perumahan Bakkandet. Rumah-rumah kayu khas Norwegia berjejer rapi di tepian sungai Nidelva yang mengalir dengan tenang. Cat-cat cerah dengan warna berfariasi mampu menambah nilai estetika dari perumahan tersebut. Mobil Evan berhenti di salah satu rumah tepian sungai itu. Rumah berwarna merah menyala dengan pintu dan kusen bercat kuning menyihir mataku. Ditambah dengan dua pohon oak dengan daun berwarna senada. Ini benar-benar warna estetis yang semarak!

Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah tersebut dan tersenyum lebar ketika aku dan Evan turun dari mobil. Aku yakin pasti dia Mrs. Stewart yang selama sebulan ini rutin berkomunikasi denganku lewat email.

Evan dengan sukarela membawakan koperku dari bagasi sebelum tanganku meraihnya dengan sempurna. Aku sangat mengharagai ketulusannya.

Kami berjalan beriringan dan sang tuan rumah menyambut kami dengan wajah ceria.

“Aku sudah menunggumu dari tadi, Anita,” ujarnya. “Kukira kau akan sampai ke kota ini lebih awal.”

“Membutuhkan waktu 20 jam untuk sampai kesini, Mrs. Stewart.”

“Selama itukah?”

“Ya, aku dua kali transit. yang pertama di Kuala Lumpur. Yang kedua, di Amsterdam.”

***

Sebelum aku ke Trondheim untuk melanjutkan jenjang S2, aku punya sahabat di Semarang yang tahu persis denagan kondisi kota ini. Namanya Ana. Kebetulan ana pernah di tinggal di kota ini selama tiga bulannya lamanya. Ia pernah mengikuti program pertukaran pelajar yang diprakarsai pemerintah yang bekerjasama dengan dinas pendidikan Norwegia. Ana pula yang mengenalkanku pada Mrs Stewart sebagai ibu angkatnya dahulu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mrs. Stewart menawarkan rumah kayunya yang kosong dengan sewa yang lumayan murah. ‘Sudah dua tahun lamanya rumahku tak ada yang mau menyewa. Aku tau kamu kesini untuk pendidikanmu. Dan aku menghargainya. Maka aku tak akan memberikan tarif standar kepadamu. Kamu boleh membayar separuhnya,’ ujarnya dua minggu yuang lalu.

Pagi itu ketika aku keluar dari kamar, Mrs Stewatrt dan Evan sudah duduk di meja makan. Mereka menungguiku rupanya. Aroma panekuk dan pizza menyerbu rongga hidungku.

“Selamat pagi bagaimana tidurmu semalam?” sapa Mrs. Stewart

“Semalam tidurku nyenyak,” jawabku dengan senyuman lebar.

Seperti hari kemarin, Evan tampak tidak terlalu banyak bicara dan selalu menjadi pendengar yang baik. Ia hanya tersenyum menatapku.

“Pagi ini biar Evan yang mengantarmu keliling kota sekalian melihat rumah barumu,” kata Mrs. Stewart diantara suapnya. Kemudian dia menatap anak lelakinya itu, ”Kamu tidak keberatan kan, Evan?”

Evan mengelap bibirnya dengan tisu. “Tentu saja tidak, Mom. Aku tidak punya kegiatan untuk hari ini.”

Dan untuk kesekian kalinya ia mengerling padaku,.

***

Aku terkagum-kagum dengan suasana pagi di Trondheim.  Layaknya kota metropolis lainnya, denyut kehidupan begitu kentara di pagi hari. Para pedestrian berlalu lalang di sekitar Trondheim Torg. Kebanyakan adalah para pelancong yang  datang dari berbagai daerah.

Evan membelokan mobil ke arah barat menuju deretan rumah kayu. Dari kejauhan aku bisa menebak bahwa rumah yang akan aku tempati ada diantara deretan rumah-rumah tersebut. Evan melambatkan mobilnya dan memarkirkannya di halaman rumah bercat hijau dengan gaya minimalis.

“Ini rumah yang akan kamu tempati,” ujar Evan. Ia mematikan mesin. Aku tersenyum dan segera membuka pintu mobil, menyeret koper yang sarat muatan.

“Biarkan saya yang membawanya ke dalam,” seru evan. Sesaat lamanya tatapan mata biru kelamnya beradu pandang dengan mataku. Refleks aku menundukan pandangan mataku. “Terimakasih banyak.”

Evan memimpinku menyusuri jalan depan yang sempit tapi tertata dengan asri. Dia merogoh kunci dari saku celana jeansnya dan memutar kenop pintu. Dari balik bahunya aku bisa mengintip suasana di dalam rumah itu. Tampak begitu bersih dan sudah barang tentu nyaman untuk ditinggali. Sebelumnya kaumengira akan mendapati ruangan yang kotor dan berdebu. Tapi rupanya dugaanku melesat. Ruangan ini jauh dari kata tidak terawat. Aku sangat menyukainya.

Sinar matahari pagi menerobos ke dalam lewat kaca jendela yang berukuran lebar. Karpet Persia terhampar di lantai dengan kursi-kursi antik lengkap dengan meja kayu. Ada lukisan-lukisan dan foto kuno yang menghiasi dinding dengan warna biru pucat.

“Apakah kau ingin jalan-jalan sekarang? Atau barangkali kamu memilih untuk bersantai di rumah?”

“Jalan-jalan,” ujarku pendek dengan senyum lebar.

***

Tujuan pertama perjalanan kami adalah melihat kota dari ketinggian. Aku dan Evan mendaki bukit Kristianten Fortress di sebelah barat pusat kota. Dari benteng putih yang dikelilingi meriam ini aku bisa melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Menyaksikan hamparan kota dari ketinggian dengan warna-warni daun yang berwarna kekuninngan hingga orange kemerah-merahan. Semarak warna itu mampu melambungkan imajinasiku. Sungai Nidelva yang membelah kota membawa kedamainan yang begitu kentara. Dua jepretan berhasil aku abadikan di memori kameraku. Kulirik Evan. Ia tersenyum melihat aku sibuk dengan kamera Canonku.

“Bukan main indahnya,” gumamku yang ditujukan pada diri sendiri. Kami berdiri bersisian di dekat dinding benteng. Bendera Norwegia berkelepak-kelepak ditiup  angin pada sisi yang lain. Mataku mengankap sebuah menara pada sudut kota yang lain.

“Menara apakah itu?” tanyaku sembari menunjuk menara tersebut.

Evan mengikuti arah telunjukku. “Itu menara Tyholt. Kita bisa mampir kesana sore nanti.”

“Benarkah?” tanyaku dengan penuh minat. “Kita naik ke sana?”

“Yeah! Kita bahkan bisa makan di restorannya. Kita bias memesan pizza sembari menikmati senja di atas kota.”

“Benarkah?”

Evan mengangguk dan mulai beranjak turun. “Ayo kita kembali. Masih ada tempat yang lain yang mesti kita kunjungi pagi ini.”

“Kemana destinasi kita selanjutnya?” tanyaku setelah kami meninggalkan area benteng yang menakjubkan.

“Bagaimana kalau  berkunjung ke kampusmu?”

“Kedengarannya itu ide yang bagus.” balasku. Aku ingin melihat secara langsung kampus yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu nanti.

Sepuluh menit kemudian kami sampai di kampus yang dimaksud. Nama kampus dengan bahasa norsk terpampang di depannya.

NORGES TEKNISK-NATUR VITENSKAPELIGEUNIVERSITET

Untuk kesekian kalinya aku dibuat kagum. Bangunan utamanya mengingatkanku pada sekolah sihir Hogwart di fim Harry Potter. Bentuknya menyerupai kastil. Bermenara dan beratap runcing serta berdinding batu keabu-abuan. Padang rumpt hijau dan peppohonan yang rindang  di depan gedung tampaknya bisa menjadi tempat yang nyaman untuk sekedar duduk di musim panas.  Hampir satu jam lamanya ak dan evan mengelilingi area kampus megah tersebut.

Separuh hari aku habiskan bersama Evan untuk menyambangi toko demi toko di Trondheim Torg. Tak kusangka Evan membelikanku dua helai syal di sebuah toko pakaian dan kain. Tentunya aku tak bisa menampik pemberiannya. Evan menatapku lekat ketika kulilitkan syal di leherku. Itu membuatku canggung tak terkira.

Tak terasa hari beranjak sore. Cakrawala senja memancarkan nuansa jingga yang begitu mempesona. Sesuai janjinya Evan mengajaku untuk naik ke menara  Tyholt. Dan disinilah kami berada. Duduk bersama di ketinggian  74 meter, di sebuah restoran yang begitu eksotik. Restoran ini mempunyai lantai yang dapat berputar perlahan-lahan sehingga kita bisa melihat semua sisi kota. Kami menikmati senja diantara potongan pizza, teh dan obrolan yang tak berujung.

Diantara semburat senja itu, aku tidak menyadari bahwa Evan selalu mencuri pandang dan tersenyum lebar. Entahlah, tanpa aku sadari, ada getar aneh yang singgah di hatiku. barangkali getar itu juga hadir di lubuk hatinya.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment