5 Jul 2014

API DI DADA FATIMA

 

Ruangan kecil itu riuh rendah oleh celotehan anak-anak. Mereka terlihat begitu polos dan menyenangkan. Seorang perempuan muda dengan gamis beludru hijau lumut dan memakai hijab putih berdiri di depan anak-anak itu. Di tangan kanannya terdapat buku dan tangan kirinya sibuk memeragakan apa yang ia baca. Rupanya ia sedang bercerita.

Di pojok belakang ruangan juga terdapat deretan rak-rak buku. Menampung buku-buku yang sebagian sudah lusuh dan usang. Beberapa peta dan gambar menghiasi ruangan yang juga berdinding kusam.

Perempuan muda itu masih anyik bercerita.

“Anak-anak. Sebelum Rasulullah melanjutkan mi’raj ke sidratul muntaha beliau singgah dulu di Masjidil Aqsha. Makanya masjid kita ini sangat istimewa bagi umat islam. Inilah simbol kemuliaan kita.”

Seseorang anak perempauna yang sedari tadi begitu asyik mendengarkan tiba-tiba menyeletuk. ”Ummi Fatima, saya ingin tarawih di al Aqsha. Kita kesana nanti malam ya ummi.”

“Aku juga mau, ramadhan kemarin aku tidak sempat salat disana.” Timpal seorang anak laki-laki berambut keriting.

“Iya ummi. Kita kesana! Kita kesana!” anak-anak lain menimpali.

Fatima tertegun. Ada kegetiran yang menyeruak di kerongkongannya. Ada kesedihan yang meremas segenap hatinya. Ia tak dapat berkata-kata. Betapa polosnya anak-anak ini, begitu pikirnya.

“Keadaan sedang gawat. Kita tidak mungkin berangkat kesana. Lagi pula masjid kita dijaga ketat oleh tentara-tentara Zionis. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Lagi pula kita berada di Gaza. Ada banyak hal yang harus kita lakukan,”terang Fatima.

Namun sepertinya wajah-wajah innocent itu tidak peduli dengan apa yang dikatakan guru mereka. Atau mungkin lebih tepatnya tidak mengerti apa maksud kata-kata Fatima tadi. Mereka kembali asyik dengan buku mereka dan Fatima kembali bercerita.

Beberapa saat kemudian Fatima terdiam. Anak-anak juga terdiam. Mereka mendengar keramaian diluar. Mereka mendengar teriakan, suara ledakan dan gemuruh yang memekakan. Fatima tersadar apa yang sedang terjadi di laur sana. Menyusul teriakan-teriakan panik yang beradu dengan ledakan demi ledakan.

 

“AWAS DRONE ISRAEL!”

“SEMUANYA KELUAR!”

Teriakan itu semakin sayup ketika dilihatnya anak-anak itu semakin merapat  di sekitar tubuh Fatima. Fatima tahu apa yang harus ia lakukan.

“Ayo kita keluar!” ujarnya panik disambut dengan anggukan anak-anak didiknya.

Beberapa langkah mereka menuju pintu ketika gemuruh besar mengejutkan mereka. Sekilas Fatima melihat kilatan api dari kebel atap dan suara dinding yang bergemeretak. Fatima terkesiap. Anak-anak terbelalak ketika gemuruh besar itu ternyata berasal dari dinding  dan atap ruangan yang mereka tempati. Ambruk! Selebihnya hanya jeritan dan lolongan. Semuanya begitu cepat secepat kelebat cahaya kilat. Seumpama fragmen mimpi yang berseliweran di luar dugaan.

Tak ada lagi suara Fatima. Tak ada lagi celotehan dan tepukan ramai anak-anak disana. Yang ada hanya suara rintihan diantara debu-debu dan puing yang berserakan. Serpihan atap dan tembok masih saja berjatuhan. Di luar sana teriakan orang-orang dan sirine yang meraung-raung seakan mengoyak langit yang kehilangan cahaya. Asap hitam dan debu-debu membubung meyelimuti kota.

Sementara Fatima menangis sembari mendekap anak-anak yang terluka dan berlumur darah. Mereka berkerumun dengan tangisan yang memilukan dan suara bergetar.

“Ummi…tangan ummi…” bisik seseoaran anak lirih. Mata sayupnya menatap tangan Fatima yang mendekap sebagian diantara mereka. Sebagian mereka berdarah-darah dengan baju yang lusuh penuh serpih debu.

Fatima baru menyadari ada sesuatu yang ganjil dari dirinya. Fatima menggeleng tak percaya demi melihat jemari yang sebagian remuk karena tertimpa beton. Bahkan tinggal jari kelingking saja. Gamis beludru hijau tuanya tanpak menghitam oleh noda darah dari tubuhnya dan anak-anak asuhnya sendiri.  Namun rasa sakit itu menguap entah kemana. Terkalahkan oleh rasa trauma yang luar biasa.

Fatima berusaha bangkit untuk mencari jalan keluar. Dan Fatima yakin pintu satu-satunya di ruangan itu kini telah tertutup reruntuhan tembok loteng.

Fatima berjalan tertatih-tatih menahan perih di sekujur tubuhnya. Rasa panas kini menjalari pergelangan tangannya. Oh, rupanya darah tak mau berhenti mengalir dari tubuhnya.

“Allah…Allah…”lamat-lamat tersengar suara rintihan seseorang.

Fatima terkejut untuk yang kesekian kalinya. Ia melihat seonggok tubuh terkapar tak berdaya dan tak lagi sempurna. Tubuhnya belepotan oleh darah.

Pemilik tubuh itu adalah Leila. Adiknya sendiri sekaligus partnernya dalam membina panti sosial anak-anak yatim di distrik .Ingin sekali Fatima menjerit sekeras-kerasnya. Namun hanya getar bibir dan tangis pilu yang mampu ia lakukan. Ia melihat Leila diantara desah nafasnya yang putus-putus. Ia melihat tubuh Leila yang tak lagi utuh. Sebagian tubuhnya tertindih reruntuhan bangunan.

Fatima tertatih dan hanya bisa mengucap asma Allah diantara getar tangisnya. “Leila, Allah…”

Leila mengerjapkan matanya yang basah. Bibirnya mengerang tak jelas.

“Leila. Bangunlah”

Segaris senyuman menghiasi bibir pucat Leila ketika Fatima mendekap kepalanya yang berlumur darah. “Sudah datang saatnya,”ujarnya lirih.

“Apa maksudmu? Kau harus kuat Leila.”

“Mana anak-anak kita Leila. Aku mengkhawatirkan mereka.”

“Mereka ada disini. Aku berusaha melindungi mereka. Oh Leila,kau harus kuat__”

“Tolong jaga mereka Fatima,” Leila berbisik lirih. “Walau tempat kita hancur kau harus mengajar anak-anak El Maktaba. Dan_tolong jaga buku-buku itu. Aku kira itu sangat berarti buat me_mereka.”

Pandangan Fatima tertumbuk pada buku-buku yang berserakan di pojok ruangan.

Buku itu mereka kumpulkan dua tahun yang lalu. Tepatnya di hari aksara internasional. Ia menggalang buku-buku itu dibantu oleh suaminya, Ahmed. Tidak sia-sia Ahmed _yang saat itu bekerja sebagai wartawan di televise lokal_memuat iklan penggalangan dana bantuan buku el Maktaba, sebuah yayasan pendidikan anak-anak yatim korban perang di sudut kota Khan Younist.

Sayangnya Ahmed telah tiada. Ia menghadap Rabbnya dengan tenang ketika ia bertugas meliput bentrokan antara Hamas dan Israel di sepanjang perbatasan. Tiga buah peluru menembus dadanya saat ia mengarahkan kameranya diantara massa.

Namun ruangan-ruangan kelas sederhana yayasan tersebut kini hanya puing dan reruntuhan saja. Diantara Fatima, laila, anak-anak dan buku-buku yang membisu.

 Leila masih tersenyum ketika ia berusaha untuk bangkit. Namun darah segar terus mengalir dari hidung dan mulutnya. Bibirnya bergetar melafalkan kalimah tayyibah.

Fatima berurai air mata ketika dilihatnya Leila semakin tak berdaya. “La..ilaha…illallah__”

“Tolong aku! Tolong aku! Fatima berusaha berteriak dengan kekuatan yang masih tersisa.

Tak ada reaksi apa pun. Keadaan terlalu bising sehingga teriakannya begitu sayup.

Fatima berlari ke arah depan ruangan dan ia tersadar bahwa pintu satu-satunya di ruangan itu tertutup reruntuhan. Dan Fatima mengedarkan pandangannya ke semua penjuru ruangan ketika ia berpikir untuk keluar dari lubang jendela kawat yang terkoyak. Tapi Fatima tak bisa menembus kawat-kawat berkarat itu. Ia hanya bisa menjulurkan tangannya yang berlumur darah. Berharap ada orang yang melihat lambaian lemahnya. Pertanda isyarat bahwa ada orang yang butuh pertolongan di sana.

“Tolong Aku!"

Sementara anak-anak asuhnya mulai memanggil-manggil namanya. Fatima bergegas menghampiri mereka. Dilihatnya mereka dengan ekspresi yang tak pernah terbayangkan. Tiga anak asuhnya sudah tergeletak tak berdaya diantara tangis teman-temannya. Fatima tak mampu menahan ledak tangisnya. Ia merangkul mereka dengan kesedihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Fatima tergugu dalam pilu. Dadanya bergemuruh dan sesak. Ia ingin berteriak. Ia ingin menangis. Tapi, demi melihat anak-anak tanpa dosa itu terisak-isak setidaknya ia harus berusaha kuat. Fatima tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Ia harus menjadi ibu bagi mereka yang telah kehilangan keluarganya sejak lama. Setelah ia kehilangan suaminya dan adik perempuannya, ia tak ingin kehilangan asa dalam kehidupannya bersama anak-anak malang itu.

Di dadanya ada api. Api pengorbanan dan perjuangan yang tak pernah padam. Dadanya selalu bergolak menginginkan kemerdekaan. Sekalipun dunia tak mau peduli, tapi di dadanya Fatima menyimpan api. Dan api itu semakin berkobar di Ramadan tahun ini.

 


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment