Ruangan kecil itu riuh rendah oleh celotehan anak-anak.
Mereka terlihat begitu polos dan menyenangkan. Seorang perempuan muda dengan
gamis beludru hijau lumut dan memakai hijab putih berdiri di depan anak-anak
itu. Di tangan kanannya terdapat buku dan tangan kirinya sibuk memeragakan apa
yang ia baca. Rupanya ia sedang bercerita.
Di pojok belakang ruangan juga terdapat deretan rak-rak buku.
Menampung buku-buku yang sebagian sudah lusuh dan usang. Beberapa peta dan
gambar menghiasi ruangan yang juga berdinding kusam.
Perempuan muda itu masih anyik bercerita.
“Anak-anak. Sebelum Rasulullah melanjutkan mi’raj ke sidratul
muntaha beliau singgah dulu di Masjidil Aqsha. Makanya masjid kita ini sangat
istimewa bagi umat islam. Inilah simbol kemuliaan kita.”
Seseorang anak perempauna yang sedari tadi begitu asyik mendengarkan
tiba-tiba menyeletuk. ”Ummi Fatima, saya ingin tarawih di al Aqsha. Kita kesana
nanti malam ya ummi.”
“Aku juga mau, ramadhan kemarin aku tidak sempat salat
disana.” Timpal seorang anak laki-laki berambut keriting.
“Iya ummi. Kita kesana! Kita kesana!” anak-anak lain
menimpali.
Fatima tertegun. Ada kegetiran yang menyeruak di
kerongkongannya. Ada kesedihan yang meremas segenap hatinya. Ia tak dapat
berkata-kata. Betapa polosnya anak-anak ini, begitu pikirnya.
“Keadaan sedang gawat. Kita tidak mungkin berangkat kesana.
Lagi pula masjid kita dijaga ketat oleh tentara-tentara Zionis. Tidak sembarang
orang bisa masuk ke sana. Lagi pula kita berada di Gaza. Ada banyak hal yang
harus kita lakukan,”terang Fatima.
Namun sepertinya wajah-wajah innocent itu tidak peduli dengan
apa yang dikatakan guru mereka. Atau mungkin lebih tepatnya tidak mengerti apa
maksud kata-kata Fatima tadi. Mereka kembali asyik dengan buku mereka dan
Fatima kembali bercerita.
Beberapa saat kemudian Fatima terdiam. Anak-anak juga
terdiam. Mereka mendengar keramaian diluar. Mereka mendengar teriakan, suara
ledakan dan gemuruh yang memekakan. Fatima tersadar apa yang sedang terjadi di
laur sana. Menyusul teriakan-teriakan panik yang beradu dengan ledakan demi
ledakan.
“AWAS DRONE ISRAEL!”
“SEMUANYA KELUAR!”
Teriakan itu semakin sayup ketika dilihatnya anak-anak itu
semakin merapat di sekitar tubuh Fatima.
Fatima tahu apa yang harus ia lakukan.
“Ayo kita keluar!” ujarnya panik disambut dengan anggukan
anak-anak didiknya.
Beberapa langkah mereka menuju pintu ketika gemuruh besar
mengejutkan mereka. Sekilas Fatima melihat kilatan api dari kebel atap dan
suara dinding yang bergemeretak. Fatima terkesiap. Anak-anak terbelalak ketika
gemuruh besar itu ternyata berasal dari dinding
dan atap ruangan yang mereka tempati. Ambruk! Selebihnya hanya jeritan
dan lolongan. Semuanya begitu cepat secepat kelebat cahaya kilat. Seumpama fragmen
mimpi yang berseliweran di luar dugaan.
Tak ada lagi suara Fatima. Tak ada lagi celotehan dan tepukan
ramai anak-anak disana. Yang ada hanya suara rintihan diantara debu-debu dan
puing yang berserakan. Serpihan atap dan tembok masih saja berjatuhan. Di luar
sana teriakan orang-orang dan sirine yang meraung-raung seakan mengoyak langit
yang kehilangan cahaya. Asap hitam dan debu-debu membubung meyelimuti kota.
Sementara Fatima menangis sembari mendekap anak-anak yang
terluka dan berlumur darah. Mereka berkerumun dengan tangisan yang memilukan
dan suara bergetar.
“Ummi…tangan ummi…” bisik seseoaran anak lirih. Mata sayupnya
menatap tangan Fatima yang mendekap sebagian diantara mereka. Sebagian mereka
berdarah-darah dengan baju yang lusuh penuh serpih debu.
Fatima baru menyadari ada sesuatu yang ganjil dari dirinya.
Fatima menggeleng tak percaya demi melihat jemari yang sebagian remuk karena
tertimpa beton. Bahkan tinggal jari kelingking saja. Gamis beludru hijau tuanya
tanpak menghitam oleh noda darah dari tubuhnya dan anak-anak asuhnya
sendiri. Namun rasa sakit itu menguap
entah kemana. Terkalahkan oleh rasa trauma yang luar biasa.
Fatima berusaha bangkit untuk mencari jalan keluar. Dan
Fatima yakin pintu satu-satunya di ruangan itu kini telah tertutup reruntuhan
tembok loteng.
Fatima berjalan tertatih-tatih menahan perih di sekujur
tubuhnya. Rasa panas kini menjalari pergelangan tangannya. Oh, rupanya darah
tak mau berhenti mengalir dari tubuhnya.
“Allah…Allah…”lamat-lamat tersengar suara rintihan seseorang.
Fatima terkejut untuk yang kesekian kalinya. Ia melihat
seonggok tubuh terkapar tak berdaya dan tak lagi sempurna. Tubuhnya belepotan
oleh darah.
Pemilik tubuh itu adalah Leila. Adiknya sendiri sekaligus
partnernya dalam membina panti sosial anak-anak yatim di distrik .Ingin sekali
Fatima menjerit sekeras-kerasnya. Namun hanya getar bibir dan tangis pilu yang
mampu ia lakukan. Ia melihat Leila diantara desah nafasnya yang putus-putus. Ia
melihat tubuh Leila yang tak lagi utuh. Sebagian tubuhnya tertindih reruntuhan
bangunan.
Fatima tertatih dan hanya bisa mengucap asma Allah diantara
getar tangisnya. “Leila, Allah…”
Leila mengerjapkan matanya yang basah. Bibirnya mengerang tak
jelas.
“Leila. Bangunlah”
Segaris senyuman menghiasi bibir pucat Leila ketika Fatima
mendekap kepalanya yang berlumur darah. “Sudah datang saatnya,”ujarnya lirih.
“Apa maksudmu? Kau harus kuat Leila.”
“Mana anak-anak kita Leila. Aku mengkhawatirkan mereka.”
“Mereka ada disini. Aku berusaha melindungi mereka. Oh
Leila,kau harus kuat__”
“Tolong jaga mereka Fatima,” Leila berbisik lirih. “Walau
tempat kita hancur kau harus mengajar anak-anak El Maktaba. Dan_tolong jaga
buku-buku itu. Aku kira itu sangat berarti buat me_mereka.”
Pandangan Fatima tertumbuk pada buku-buku yang berserakan di
pojok ruangan.
Buku itu mereka kumpulkan dua tahun yang lalu. Tepatnya di
hari aksara internasional. Ia menggalang buku-buku itu dibantu oleh suaminya,
Ahmed. Tidak sia-sia Ahmed _yang saat itu bekerja sebagai wartawan di televise
lokal_memuat iklan penggalangan dana bantuan buku el Maktaba, sebuah yayasan
pendidikan anak-anak yatim korban perang di sudut kota Khan Younist.
Sayangnya Ahmed telah tiada. Ia menghadap Rabbnya dengan
tenang ketika ia bertugas meliput bentrokan antara Hamas dan Israel di
sepanjang perbatasan. Tiga buah peluru menembus dadanya saat ia mengarahkan
kameranya diantara massa.
Namun ruangan-ruangan kelas sederhana yayasan tersebut kini
hanya puing dan reruntuhan saja. Diantara Fatima, laila, anak-anak dan
buku-buku yang membisu.
Leila masih tersenyum
ketika ia berusaha untuk bangkit. Namun darah segar terus mengalir dari hidung
dan mulutnya. Bibirnya bergetar melafalkan kalimah tayyibah.
Fatima berurai air mata ketika dilihatnya Leila semakin tak
berdaya. “La..ilaha…illallah__”
“Tolong aku! Tolong aku! Fatima berusaha berteriak dengan
kekuatan yang masih tersisa.
Tak ada reaksi apa pun. Keadaan terlalu bising sehingga
teriakannya begitu sayup.
Fatima berlari ke arah depan ruangan dan ia tersadar bahwa
pintu satu-satunya di ruangan itu tertutup reruntuhan. Dan Fatima mengedarkan
pandangannya ke semua penjuru ruangan ketika ia berpikir untuk keluar dari
lubang jendela kawat yang terkoyak. Tapi Fatima tak bisa menembus kawat-kawat
berkarat itu. Ia hanya bisa menjulurkan tangannya yang berlumur darah. Berharap
ada orang yang melihat lambaian lemahnya. Pertanda isyarat bahwa ada orang yang
butuh pertolongan di sana.
“Tolong Aku!"
Sementara anak-anak asuhnya mulai memanggil-manggil namanya.
Fatima bergegas menghampiri mereka. Dilihatnya mereka dengan ekspresi yang tak
pernah terbayangkan. Tiga anak asuhnya sudah tergeletak tak berdaya diantara
tangis teman-temannya. Fatima tak mampu menahan ledak tangisnya. Ia merangkul
mereka dengan kesedihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Fatima tergugu dalam pilu. Dadanya bergemuruh dan sesak. Ia
ingin berteriak. Ia ingin menangis. Tapi, demi melihat anak-anak tanpa dosa itu
terisak-isak setidaknya ia harus berusaha kuat. Fatima tak ingin terlihat lemah
di hadapan mereka. Ia harus menjadi ibu bagi mereka yang telah kehilangan
keluarganya sejak lama. Setelah ia kehilangan suaminya dan adik perempuannya,
ia tak ingin kehilangan asa dalam kehidupannya bersama anak-anak malang itu.
Di dadanya ada api. Api pengorbanan dan perjuangan yang tak
pernah padam. Dadanya selalu bergolak menginginkan kemerdekaan. Sekalipun dunia
tak mau peduli, tapi di dadanya Fatima menyimpan api. Dan api itu semakin
berkobar di Ramadan tahun ini.
No comments:
Post a Comment