Bagi Ulil, hidup memang perjalanan panjang yang penuh dengan misteri. Misteri-misteri kehidupan itu tidak pernah bisa ia tebak, bahkan kedatangannya tak pernah terduga sebagaimana banjir bandang yang telah merenggut nyawa emaknya. Tapi, guratan takdir itu pada akhirnya akan meninggalkan jejak paling manis dalam hidupnya.
Malam itu hujan memang cukup deras mengguyur kampung mereka. Desau angin yang terus berhembus sejak senja kala membuat para penduduk desa lebih memilih tinggal di rumah mereka daripada berkeliaran di luar rumah. Begitu juga dengan Nik Sapuroh, emak Ulil. Wanita paruh baya itu juga memilih berdiam diri di rumah sembari merapal ayat-ayat al-quran dengan pelan dan terbata-bata. Telunjuk keriputnya dengan perlahan menyusuri baris demi baris kitab suci, sementara gumaman lisannya terdengar lirih diantara desau angin dan air hujan yang tumpah dari langit.
Alif Lam mim….Nik Sapuroh mengakhiri hari dengan melantunkan ayat suci setelah dzikir petang yang pernah diajarkan Ulil kepadanya. Wanita tua itu asyik mansyuk dengan ayat Ilahi. Tetes-tetes air mata perlahan mengaliri kedua pipinya yang mulai keriput. Air mata itu sebagai saksi akan penyesalannya yang maha dalam dari masa lalu yang begitu kelam. Penyesalan yang begitu menampar-nampar nuraninya. Penyesalan yang kembali menjadi mimpi paling menakutkan yang tak pernah dia lupakan. Beruntungnya, Ulil telah mengangkat dirinya dari lembah kenistaan.
**
“Si Ulil budak Ublag! Si Ulil budak ublag*”
“Si Ulil anak haram jadah!”
Itulah ejekan yang selalu diterima Ulil di sekolah. Dia selalu menjadi objek ejekan teman-temannya yang semakin girang dan bersemangat untuk melontarkan cemoohan kepada si anak bawang itu. Siapa yang tidak berani mengejeknya. Dia hanya anak pendiam yang tidak akan berani melawan siapa pun yang mengejeknya.
Ketika pulang ke rumah, Ulil hanya bisa menangis sejadi-jadinya dan menyumpahi emaknya karena dia pikir gara-gara pekerjaan sang emak yang membuatnya menjadi bulan-bulanan ejekan teman sekolah. “Kenapa emak tidak berhenti saja bekerja di sana!” seru Ulil. Yang Ulil maksud ‘kerja disana’ adalah tempat kerja emak Ulil di warung remang-remang yang terletak di pertambangan pasir dan besi di ujung desa. Warung remang-remang itu selalu ramai oleh para pekerja tambang dan para sopir truk pengangkut pasir dan bijih besi. Disanalah emak ulil akan ‘bekerja’ untuk menghibur para lelaki hidung belang yang mampir di warung-warung tambang.
Nik Sapuroh tentu saja berang demi mendapati anak semata wayangnya mengugat dirinya sedemikian rupa. “Kau pikir kamu punya hak untuk menggugat emakmu ini, ha?”
Ulil terisak.
“Jika emak tidak bekerja, kamu tidak bisa makan. Jika emak tidak bekerja, kamu tidak bisa sekolah. Paham kamu? Jaga mulutmu itu.”
Ulil masih terdiam diantara isak tangisnya.
“Harusnya kamu marah sama bapakmu yang meninggalkan kita sejak kamu enam bulan di kandungan. Seandainya bapakmu itu tidak pergi begitu saja, kita tidak akan hidup susah dan emak tidak perlu bekerja di tempat itu. Bahkan, bapakmu itu tidak meninggalkan apa pun yang kita bisa makan. Paham kau?”
Ulil terdiam. Jika menyangkut bapaknya, dia tidak akan pernah berani mengugat emaknya. Saripudin, sang bapak, telah meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Hingga sekarang, dia tidak pernah mengenal bapaknya selain lewat foto hitam putih yang ada di laci. Bahkan, Ulil tidak pernah tahu dimana bapaknya berada. Hanya saja, dia tidak pernah merasakan kerindukan yang melesak dan mendesak-desak jiwanya. Tidak ada rindu, cinta dan harap untuk sang bapak. Kebencian sudah terlanjur menjalar di hatinya.
***
Ada suara gemuruh yang menggelegar. Tapi itu tidak terdengar seperti suara gemuruh petir. Tapi Nik Sapuroh tidak mempedulikannya. Dia lebih asyik menyimak ayat terjemah alquran dalam bahasa sunda alih-alih bertanya tentang gemuruh petir yang berbeda dari biasanya.
Kecuali mereka yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan dan menjelaskannya. Mereka itulah yang Aku terima taubatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat itu begitu menyengat, meninggalkan jejak di hati Nik Sapuroh hingga dia menangis tersedu-sedu. Menangis sejadi-jadinya. “Duh, gusti…Ampuni semua dosa-dosaku di masa lalu. Astaghfirullah…”
Pada saat itulah Nik Sapuroh mendengar gemuruh itu seperti menggelinding dan semakin dekat di telinganya. Dia tercekat ketika dinding gedek bambu rumah sederhananya roboh. Sepersekian detik setelah itu dia melihat air cokelat pekat menerjang rumahnya. Nik Sapuroh serta merta mendekap mushaf pemberian Ulil itu di dadanya yang ringkih dengan air mata yang semakin merebak. Mulutnya merapal “La ilaha ilallah…”
Tubuh renta nik Sapuroh bergumul dengan air bandang yang datang tiba-tiba. Nik Amri memejamkan mata. Tapi dibalik pejaman matanya, dia melihat kepak-kepak sayap putih yang mengangkasa bersama jiwanya yang begitu ringan menembus batas cakrawala.
Kepak-kepas putih keperakan itu seperti pemandu yang membawanya mengangkasa menembus batas-batas langit yang berlapis. Membawanya menuju haribaan yang lebih suci dari alam dunia yang fana.
“Engkau telah diangkat derajat karena ayat yang terakhir yang kau baca,” ada bisik suara yang bergema di telinga nik Sapuroh.
“Engkau juga telah diangkat derajatnya dalam kemuliaan yang paling tinggi dan diberi mahkota cahaya karena hafalan alquran anakmu, Ulil,” gema suara lain menyusul di telinganya.
Cahaya cakrawala semakin putih dan jiwa nik Sapuroh semakin ringan seringan kapas. Yang nik Sapuroh ingat terakhir kalinya adalah semerbak wangi dan putih yang tiada batasnya.
***
Sayup-sayup, terdengar suara anak kecil dan para remaja yang tengah melantunkan ayat-ayat suci dan surat-surat pendek dari surau kecil yang berada di samping tegalan kebun dan sawah. Diantara puluhan anak dan remaja itu, berdiri Ulil untuk memantau anak-anak didiknya. Sudah dua tahun lamanya dia mengabdikan dirinya untuk mengajar alquran di tiga desa. Ada empat surau yang meminta dirinya untuk mengajari anak-anak. Terkadang, dia dibantu oleh murid-murid seniornya yang telah nyantri di Tasikmalaya.
Tak berapa lama seorang pemuda berjalan dengan langkah tergesa. Dia bahkan tidak berpikir untuk mencuci kakinya yang berlumur lumpur terlebih dahulu sebelum beranjak ke teras masjid, terdesaknya oleh kabar yang mengerikan yang dia terima.
“Kang Ulil! Kang Ulil!” serunya diiringi dengan engahan napas yang intens. Bagaimana pun, dia telah menempuh perjalanan dua kilometer dengan setengah berlari.
Demi melihat ada yang datang, Ulil memalingkan muka ke asal pemilik suara dan bertanya, “Ada apa?”
Pemuda itu pun menyampaikan apa yang dia tahu. Tentang kampung yang diterjang longsor dan banjir bandang semalam. Tentang rumah emaknya yang terlibas banjir bandang hingga tak lagi berbentuk.
Ulil pucat pasi. Dia tidak ingat apa pun selain tentang emaknya. “Bagaimana dengan emakku? Apakah dia selamat?”
“Kami masih berusaha mencarinya,” timpal si pembawa kabar dengan wajah penuh kesedihan. Dia pantas untuk bersedih karena anak pertamanya sendiri menjadi korban ganasnya air bandang.
Ulil segera turun dari surau setelah menyuruh santri senior melanjutkan mengaji, kemudian mengikuti langkah si pembawa kabar dengan langkah yang semakin tergesa.
***
Ulil menangis. Bukan tangisan yang mengharu biru layaknya orang yang hilang akal karena merasa kehilangan. Ulil hanya terisak perlahan diantara sungai air mata yang terbentuk di pipinya. Kini, di hadapannya sosok sang Emak tengah berbaring berbalut kain kafan.
“Yang sabar ya kang Ulil. Insha Allah emakmu husnul khatimah. Kami menemukannya beberapa meter dari rumah dalam kondisi yang baik,” ujar seorang tetangga.
“Memangnya bagaimana kondisi emak ketika kalian menemukannya?” Tanya Ulil.
“Kami menemukan beliau dalam kondisi yang baik dan menakjubkan. Beliau masih mengenakan mukena. Sementara tangannya memegang erat mushaf. Anehnya, mushaf itu tidak terkena lumpur, Lil. Hanya beberapa lembar yang basah dan sedikit ternoda. Wajah emakmu juga tidak tersentuh lumpur. Dia tampak seperti tersenyum dan damai. Percayalah, insha Allah emakmu mendapatkan akhir hidup yang baik,” hibur tetangga yang lain.
Untuk kesekian kalinya Ulil membuka penutup kain batik dari wajah emaknya. Disanalah dia menemukan kedamaian yang tergambar sempurna. Senyum sang emak semakin lebar. Wajahnya tampak putih berseri. “Selamat tinggal, Mak. Tunggu Ulil di surga…” Untuk yang kesekian kalinya Ulil terisak. Ia terisak untuk waktu-waktu yang telah dia lalui bersama sang ibu.
***
Sejak kelulusannya dari sekolah dasar, Ulil memilih melanjutkan belajar ke pesantren karena ajakan Saepullah, sang teman karib yang selalu membersamainya. Pada awalnya dia merasa gamang, apakah pilihannya itu tepat atau tidak? Apakah masuk ke pondok pesantren sebagai pilihan yang ideal untuk masa depannya? Tapi Saepullah mematahkan semua keraguannya.
“Pesantren sudah jelas bagus untuk masa depanmu, Ulil?”
“Kok kamu seyakin itu?” pancing Ulil.
“Ilmu agama itu bekal kamu untuk beramal bagi masa depan akhirat. Masa depan kita bukan hanya melulu tentang pekerjaan yang bagus, tapi juga sejauh mana nasib akhirat kita dipertaruhkan,” terang Saepullah panjang lebar. “Lagi pula, tidak menutup kemungkinan jika para lulusan pesantren itu memiliki penghidupan dunia yang bagus. Karena prinsipnya, sepanjang kita menjunjung kitab suci alquran dan tidak menelantarkan Allah, maka Allah tidak mungkin menelantarkan kita.”
Karena petuah teman karibnya, Ulil tidak lagi ragu untuk belajar di pesantren. Hanya saja, bagi Ulil, keputusan itu harus mengubah relasi antara dirinya dengan sang ibu. Bagi dia, Nik Sapuroh tetap sang ibu yang harus dia hormati, tapi dia tidak akan berdamai dengan penghasilan emaknya yang bersumber dari pekerjaan haram.
Selain menjual tubuhnya di warung remang-remang pertambangan, belakangan sang emak juga menjadi rentenir yang menerapkan bunga ringan untuk para peminjam uang kepadanya.
“Emakmu ini membantu mereka yang membutuhkan bantuan keuangan lho, Lil. Bahkan bunga yang emak kasih itu tidak terlalu tinggi. Hanya sepuluh persen. Ini menolong mereka yang kepepet. Dan bunga yang emak terapkan tidak ada kelipatannya,” terang Nik Sapuroh dengan yakin.
Tapi tetap saja Ulil tak suka. “Apa pun itu namanya, riba tetap riba mak.”
Karena alasan itulah, Ulil tidak pernah menerima bekal uang yang diberikan sang ibu. Jika ibunya memberikan uang, Ulil akan menolaknya. Jika sang ibu mengirim lewat wesel pos, Ulil akan kembali mengirimkannya ke emak disertai surat yang berisi pesan singkat. “Jangan pernah lagi mengirimi Ulil uang haram itu, mak! Lebik baik Ulil kelaparan daripada harus menumbuhkan daging dari harta yang haram. Ilmu yang ulil dapatkan tidak akan mendapatkan keberkahan jika Ulil menggunakan uang yang emak kirimkan itu.”
Nik Sapuroh tidak bisa berbuat banyak. Tapi hatinya seperti disayat sembilu. Ia merasa sakit hati bukan karena penolakan Ulil, tapi sakit karena dia merasakan betapa anaknya jauh lebih suci daripada dirinya.
Sejak itulah Nik Sapuroh meninggalkan dunia kelamnya di warung remang-remang tepian tambang dan mulai memasuki lembaran baru. Dia mulai semuanya dengan mengawali penghidupan yang lebih bersih. Kesehariannya dia habiskan dengan berkeliling kampung menjajakan kue apem, rangginang dan peuyeum. Dia tak peduli meski masih ada orang yang mengejek dan membicarakannya. Lambat tapi pasti ejekan dan suara sumbang itu menghilang berganti bisik kekaguman.
“Kau tahu Lil, emak sudah berubah,” terang Nik Sapuroh dalam penggalan kalimat di suratnya kepada sang anak yang soson-soson* belajar di pondok pesantren yang berada di kabupaten Tasikmalaya. “Sekarang emak sudah punya penghasilan halal, emak jualan kue keliling kampung. Hasilnya pun tidak terlalu mengecewakan. Cukup untuk makan emak dan bekal kamu selama di pondok.”
Ulil bahagia. Dia mengirimi sang emak mushaf terjemah bahasa sunda dan berpesan kepada emaknya untuk mempelajari alquran. Bahkan demi hal itu, Ulil pulang ke kampung untuk bersuka cita, mengajari emaknya a ba ta tsa hingga sang emak sedikit lancar membaca alquran.
“Kamu adalah anugerah emak, Lil,” lirih Nik Sapuroh. Dan lewat alquran terjemah bahasa sunda itu, Nik Sapuroh menemukan jati dirinya yang pernah hilang. Dua tahun setelah itu, Ulil pulang dengan membangun surau dan membawa cahaya perubahan dengan mengajari anak-anak kampung iqro dan Alquran. Nik Sapuroh boleh berbangga. Dia bangga anaknya menjadi duta alquran.
Karena kebahagiaannya sudah purna, dia pun telah menyiapkan dirinya menghadap ke Haribaan-Nya.
Malam itu, setelah pemakaman sang Emak, Ulil bertemu Emaknya di alam mimpi. Dia melihat ada dua sayap di bahu sang emak. Emaknya mengangkasa dengan mahkota cahaya. “Engkau anugerah emak karena hafalanmu dan pengabdianmu, Lil,” gema suara emak terdengar di telinga Ulil.
Bogor, 16-02-2021
Keterangan
Budak ublag: anak pelac*r
Soson-soson: rajin
18 Feb 2021
Kepak Sayap Malaikat
February 18, 2021
By:
Husni
Husni
Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.
you may also like
- Next KISAH TELADAN: SEMBUH DENGAN SEDEKAH
- Previous APLIKASI BAGUS YANG JARANG ORANG TAHU VERSI HUSNI-MAGZ
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
New Post
recentposts
My Tweet

Blog Archive
About this blog
HusniMagazine
Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis..
husnimubarok5593@gmail.com
No comments:
Post a Comment