Sohaib hanya punya satu kaki. Sekarang dan untuk selamanya
dia harus merelakan hidup dengan bertopang tongkat kruk yang menyangga di kedua
sisi tubuhnya. Sungguh, sepasang kaki yang lengkap adalah kenangan terindah
bagi Sohaib. Tapi kakinya telah pergi di ruang operasi amputasi rumah sakit
Ashifa Gaza.
Semua berawal dari pagar berpatasan tiga bulan yang lalu. Ketika
itu Sohaib dan teman sepermainannya, Khalid ikut berkumpul bersama orang-orang
Gaza di pagar perbatasan dengan tanah terjajah. Mereka berdua berkerumun
diantara ban-ban yang terbakar dan teriakan-teriakan menuntut berakhirnya blockade
selama satu decade.
“Suhaib, aku akan membawa bendera Palestina ke pagar kawat
itu. aku ingin mengibarkannya disana!” seru Khalid di tengah keriuhan dan terik
matahari yang menyengat bercambur bau ban terbakar.
“Jangan, itu terlalu berbahaya, Khalid. Tentara zionis bisa
menembakmu.” Cegah Suhaib.
“Aku tidak peduli.” Balas Khalid. Dia serta merta meraih
bendera yang tergeletak di tanah dan berlari ke pagar kawat berduri yang
berjarak 80 puluh meter. Suhaib berteriak dan meminta teman dekatnya itu untuk
kembali. Tapi rupaya Khalid sudah tidak peduli. Mau tak mau dia mengikuti
sahabatnya itu, terlalu khawatir untuk membiarkannya sendiri.
Teriakan orang-orang semakin membahana. Bendera empat warna;
merah, hitam, putih dan hijau semakin berkelepak dipermainkan angin perbatasan.
Seakan ikut menyoraki dan menyemangati orang-orang Gaza yang termutilasi
hak-hak dasar hidupnya selama satu decade. Sohaib berlari membuntuti Khalid. Orang-orang
meneriaki mereka berdua untuk tidak terlalu dekat ke perbatasan. Tapi kami
tidak lagi peduli.
Dari jauh Sohaib tidak bisa melihat barisan tentara
berseragam hijau lengkap dengan kendaraannya di balik pagar atau tumpukan tanah
galian. Tapi semakin jarak mereka berdua mendekat, Sohaib bisa melihat mereka.
Mereka menatap sohaib dan Khalid dengan tatapan nanar. Tidak, yang sebenarnya
Sohaib tidak melihat mata mereka. Karena mereka memakai helmnya. Tapi Sohaib
yakin mata mereka tengah mengintai dirinya dan Khalid dengan senjata yang siap
memuntahkan pelurunya.
Tubuh Sohaib seakan membeku dan suhu tubuhnya mendingin. Diantara
tentara-tentara Zionis itu ada yang mengacungkan senjatanya.
“Khalid, ayo kita berlari ke balik gundukan tanah itu.”
“Aku akan mencapai pagar!”
“Tidak!”
“Biarkan aku pergi. Kau tunggu disini.” Khalid tidak bisa
dibantah. Dia memang keras kepala. Setahu
Suhaib, selama berteman dengannya, Khalid memang selalu keras kepala. Terkadang
dia selalu sesumbar untuk menjadi panglima perang dan mengusir orang-orang
Israel dari tanah-tanah yang dirampas.
“Guru pernah bercerita tentang Panglima muslim bernama
Khalid, kan?” tanya Khalid suatu hari, tepat sepekan sebelum mereka mengikuti
aksi ‘kembali.
“Ya.” jawab Sohaib singkat.
“Dan aku ingin seperti dia. Nama yang diberikan baba
kepadaku adalah doa. Kelak aku akan mengalahkan orang-orang yahudi itu.”
Sohaib hanya tersenyum dikulum mendengar cetolehnya. Khalid menepuk
dada dan mereka berdua tertawa.
Sepertinya itu adalah tawa terakhir Khalid yang selalu lekat
di benak Sohaib. Karena tepat di detik ketika Sohaib mengangkat bendera empat
warna, satu peluru dimuntahkan dari moncongnya dengan satu tarikan jemari
tentara Zionis. Peluru itu mendesing, menggesek udara, dan sepersekian detik
mendarat tepat di sasaran. Dada Khalid terkoyak dan darah memuncrat.
“KHALID!” Sohaib berteriak kencang. Tapi teriakan itu
disusul oleh suara tembakan kedua dan Sohaib merasakan tubuhnya membeku untuk
yang kedua kalinya. Dia merasakan kaki kanannya menghangat. Setelah itu mati
rasa. Awalnya hanya seperti gigitan semut, tapi beberapa detik kemudian dia
menyadari bahwa kaki kanannya berdarah. Celana jeans berwarna biru pudar itu
kini terkoyak. Darah membentuk warna cokelat. Menuruni kaki hingga sendalnya
lengket dengan genangan darah.
“KHALID!” sekali lagi Sohaib berteriak menyebut nama
sahabatnya. Rasa sakit di kaki kanan sudah tidak dirasakan lagi demi melihat
tubuh Khalid yang mengejang dan mengelepar di sampingnya. Sementara darah telah
membasahi kausnya.
Orang-orang berdatangan sembari mengangkat kedua tangan
mereka sebagai isyarat kepada tentara yang masih mengokang senjata di
perbatasan. Jelas sekali wajah mereka ketakutan. Takut jika tentara biadab itu
kembali memuntahkan peluru dan mereka menjadi korban selanjutnya sebagaimana
dua bocah di depan mereka telah menerima jatah peluru.
Khalid semakin mengejang. Gerakan tubuhnya semakin melemah
seiring dengan isak tangis Sohaib di sampingnya. Sohaib terisak dan memeluk
kepala sahabatnya yang semakin pias karena kehabisan darah.
Orang-orang itu membawa tandu untuk mengangkat tubuh Khalid
dan Sohaib. Teriakan semakin kentara, bendera masih berkelepak, dan bau ban
yang dibakar semakin menyengat ditengah terik matahari. Orang-orang
berdatangan, diantaranya ada yang membawa kamera. Sementara pandangan Sohaib
semakin gelap.
Ketika bangun, Sohaib menemukan bahwa kaki kanannya hanya
sebatas dengkul. Mereka telah memotong kakinya. Sementara ada buntalan kapas
dan perban di dengkulnya. Sohaib berusaha menggerakan kakinya, ketika satu
tangan menahannya dari arah kiri ranjang. Itu tangan kakak perempuannya,
Sumayya.
“Sudah kubilang, jangan terlalu dekat dengan pagar!” itu
kalimat pertama yang terlontar dari mulut kakak perempuannya.
“Sudahlah Sumayya, jangan membuat adikmu semakin menderita. Biarkan
dia istirahat. Dia baru saja bangun.” Ujar ibunya dengan suara lembut. Tangannya
membelai kepala Suhaib dengan lembut. Suhaib tersadar bahwa ada ibunya di
samping kanan ranjang.
“Bagaimana dengan Khalid?” tanya Suhaib.
Ibunya menghela napas panjang. Sementara Sumaya terisak-isak
sembari memeluk kepala adiknya. “Sudah untung Yahudi laknat itu menembakmu
dikaki. Bagaimana jika mereka menembak dadamu seperti yang mereka lakukan
terhadap Khalid.”
“Bagaimana Khalid?” ini tanya kedua yang terlontar dari
mulut Suhaib.
“Dia pergi.” Jawab ibunya lirih. Hampir tidak terdengar. Bahkan
ibunya sendiri enggan untuk mengungkap kabar demi kondisi hati anak keduanya
itu.
Suhaib terisak. Kenangan bersama Khalid berkelebat di
benaknya. Sementara Sumaya masih memeluk kepalanya dan ibunya menciumi tangannya
dengan penuh kasih.
Bersambung
No comments:
Post a Comment