23 Sept 2019

Kaki Sohaib


Sohaib hanya punya satu kaki. Sekarang dan untuk selamanya dia harus merelakan hidup dengan bertopang tongkat kruk yang menyangga di kedua sisi tubuhnya. Sungguh, sepasang kaki yang lengkap adalah kenangan terindah bagi Sohaib. Tapi kakinya telah pergi di ruang operasi amputasi rumah sakit Ashifa Gaza.

Semua berawal dari pagar berpatasan tiga bulan yang lalu. Ketika itu Sohaib dan teman sepermainannya, Khalid ikut berkumpul bersama orang-orang Gaza di pagar perbatasan dengan tanah terjajah. Mereka berdua berkerumun diantara ban-ban yang terbakar dan teriakan-teriakan menuntut berakhirnya blockade selama satu decade.

“Suhaib, aku akan membawa bendera Palestina ke pagar kawat itu. aku ingin mengibarkannya disana!” seru Khalid di tengah keriuhan dan terik matahari yang menyengat bercambur bau ban terbakar.

“Jangan, itu terlalu berbahaya, Khalid. Tentara zionis bisa menembakmu.” Cegah Suhaib.

“Aku tidak peduli.” Balas Khalid. Dia serta merta meraih bendera yang tergeletak di tanah dan berlari ke pagar kawat berduri yang berjarak 80 puluh meter. Suhaib berteriak dan meminta teman dekatnya itu untuk kembali. Tapi rupaya Khalid sudah tidak peduli. Mau tak mau dia mengikuti sahabatnya itu, terlalu khawatir untuk membiarkannya sendiri.

Teriakan orang-orang semakin membahana. Bendera empat warna; merah, hitam, putih dan hijau semakin berkelepak dipermainkan angin perbatasan. Seakan ikut menyoraki dan menyemangati orang-orang Gaza yang termutilasi hak-hak dasar hidupnya selama satu decade. Sohaib berlari membuntuti Khalid. Orang-orang meneriaki mereka berdua untuk tidak terlalu dekat ke perbatasan. Tapi kami tidak lagi peduli.

Dari jauh Sohaib tidak bisa melihat barisan tentara berseragam hijau lengkap dengan kendaraannya di balik pagar atau tumpukan tanah galian. Tapi semakin jarak mereka berdua mendekat, Sohaib bisa melihat mereka. Mereka menatap sohaib dan Khalid dengan tatapan nanar. Tidak, yang sebenarnya Sohaib tidak melihat mata mereka. Karena mereka memakai helmnya. Tapi Sohaib yakin mata mereka tengah mengintai dirinya dan Khalid dengan senjata yang siap memuntahkan pelurunya.
Tubuh Sohaib seakan membeku dan suhu tubuhnya mendingin. Diantara tentara-tentara Zionis itu ada yang mengacungkan senjatanya.

“Khalid, ayo kita berlari ke balik gundukan tanah itu.”

“Aku akan mencapai pagar!”

“Tidak!”

“Biarkan aku pergi. Kau tunggu disini.” Khalid tidak bisa dibantah. Dia memang keras kepala.  Setahu Suhaib, selama berteman dengannya, Khalid memang selalu keras kepala. Terkadang dia selalu sesumbar untuk menjadi panglima perang dan mengusir orang-orang Israel dari tanah-tanah yang dirampas.

“Guru pernah bercerita tentang Panglima muslim bernama Khalid, kan?” tanya Khalid suatu hari, tepat sepekan sebelum mereka mengikuti aksi ‘kembali.

“Ya.” jawab Sohaib singkat.

“Dan aku ingin seperti dia. Nama yang diberikan baba kepadaku adalah doa. Kelak aku akan mengalahkan orang-orang yahudi itu.”

Sohaib hanya tersenyum dikulum mendengar cetolehnya. Khalid menepuk dada dan mereka berdua tertawa.

Sepertinya itu adalah tawa terakhir Khalid yang selalu lekat di benak Sohaib. Karena tepat di detik ketika Sohaib mengangkat bendera empat warna, satu peluru dimuntahkan dari moncongnya dengan satu tarikan jemari tentara Zionis. Peluru itu mendesing, menggesek udara, dan sepersekian detik mendarat tepat di sasaran. Dada Khalid terkoyak dan darah memuncrat.

“KHALID!” Sohaib berteriak kencang. Tapi teriakan itu disusul oleh suara tembakan kedua dan Sohaib merasakan tubuhnya membeku untuk yang kedua kalinya. Dia merasakan kaki kanannya menghangat. Setelah itu mati rasa. Awalnya hanya seperti gigitan semut, tapi beberapa detik kemudian dia menyadari bahwa kaki kanannya berdarah. Celana jeans berwarna biru pudar itu kini terkoyak. Darah membentuk warna cokelat. Menuruni kaki hingga sendalnya lengket dengan genangan darah.

“KHALID!” sekali lagi Sohaib berteriak menyebut nama sahabatnya. Rasa sakit di kaki kanan sudah tidak dirasakan lagi demi melihat tubuh Khalid yang mengejang dan mengelepar di sampingnya. Sementara darah telah membasahi kausnya.

Orang-orang berdatangan sembari mengangkat kedua tangan mereka sebagai isyarat kepada tentara yang masih mengokang senjata di perbatasan. Jelas sekali wajah mereka ketakutan. Takut jika tentara biadab itu kembali memuntahkan peluru dan mereka menjadi korban selanjutnya sebagaimana dua bocah di depan mereka telah menerima jatah peluru.

Khalid semakin mengejang. Gerakan tubuhnya semakin melemah seiring dengan isak tangis Sohaib di sampingnya. Sohaib terisak dan memeluk kepala sahabatnya yang semakin pias karena kehabisan darah.

Orang-orang itu membawa tandu untuk mengangkat tubuh Khalid dan Sohaib. Teriakan semakin kentara, bendera masih berkelepak, dan bau ban yang dibakar semakin menyengat ditengah terik matahari. Orang-orang berdatangan, diantaranya ada yang membawa kamera. Sementara pandangan Sohaib semakin gelap.

Ketika bangun, Sohaib menemukan bahwa kaki kanannya hanya sebatas dengkul. Mereka telah memotong kakinya. Sementara ada buntalan kapas dan perban di dengkulnya. Sohaib berusaha menggerakan kakinya, ketika satu tangan menahannya dari arah kiri ranjang. Itu tangan kakak perempuannya, Sumayya.

“Sudah kubilang, jangan terlalu dekat dengan pagar!” itu kalimat pertama yang terlontar dari mulut kakak perempuannya.

“Sudahlah Sumayya, jangan membuat adikmu semakin menderita. Biarkan dia istirahat. Dia baru saja bangun.” Ujar ibunya dengan suara lembut. Tangannya membelai kepala Suhaib dengan lembut. Suhaib tersadar bahwa ada ibunya di samping kanan ranjang.

“Bagaimana dengan Khalid?” tanya Suhaib.

Ibunya menghela napas panjang. Sementara Sumaya terisak-isak sembari memeluk kepala adiknya. “Sudah untung Yahudi laknat itu menembakmu dikaki. Bagaimana jika mereka menembak dadamu seperti yang mereka lakukan terhadap Khalid.”

“Bagaimana Khalid?” ini tanya kedua yang terlontar dari mulut Suhaib.

“Dia pergi.” Jawab ibunya lirih. Hampir tidak terdengar. Bahkan ibunya sendiri enggan untuk mengungkap kabar demi kondisi hati anak keduanya itu.

Suhaib terisak. Kenangan bersama Khalid berkelebat di benaknya. Sementara Sumaya masih memeluk kepalanya dan ibunya menciumi tangannya dengan penuh kasih.

Bersambung
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment