Andrew Nathan berjalan dengan tertatih-tatih.
Kaki kanannya yang buntung berdenyut-denyut dan sakit luar biasa. Rahangnya
mengeras setiap kali dia mengambil langkah dengan satu kruk yang menyangga
tubuhnya. Ia berjalan dengan tanpa harapan. Apa lagi yang dia harapkan ketika
satu kakinya hilang, sementara dia seorang tentara yang tidak seharusnya cacat.
Mr. Sean Manion menawarinya untuk menempati posisi sebagai seorang instruktur
yang duduk di belakang meja. Bah, dia tak akan membayangkan hal itu terjadi.
Dia terlalu gengsi untuk hanya sekedar duduk di belakang meja dan menatap layar
komputer atau berbicara seharian. Itu seperti menenggelamkan reputasinya selama
ini sebagai tentara lapangan yang berprestasi. Jadi, Andrew lebih memilih
keluar dari militer yang telah membesarkannya dan memulai hidup baru seorang
diri. Ya, seorang diri. Atau mungkin dia akan mengambil Samantha dari rumah
orang tuanya. Samantha adalah putri tunggalnya. Dia harus menjadi orang tua
tunggal setelah istrinya meninggal dua tahun lalu karena kanker rahim.
Tentunya pekerjaanya sebagai seorang militer
aktif memaksanya untuk menitipkan Samantha di rumah kedua orang tuanya di
Portland. Jadi sekarang saatnya menghabiskan sisa hidup bersama gadis kecilnya
dan hidup dari tunjangan pensiun. Tak lebih.
Jadi, hari itu juga Andrew menjemput putri
kecilnya dan tentu saja Samantha tak ingin meninggalkan kakek dan neneknya.
Tapi dia juga cukup senang ayahnya kembali. Ya, setidaknya senang bercampur
sedih, karena ayahnya kehilangan satu kaki.
Andrew kembali ke kondominium miliknya di Monterey.
Dengan rasa putus asa dan kesunyian yang kini menghinggapinya. Andrew selalu
berharap bahwa rasa frustasi itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Tapi
dia kurang yakin. Dia akan selalu menyesali satu kakinya yang telah teramputasi
dan menyesali takdir hidupnya. Oleh karena itulah, Andrew selalu menyimpan
dendam terhadap ‘teroris’.
Masih ingat dalam benaknya, bagaimana ranjau
itu telah mengoyak separuh kakinya. Ranjau yang dipasang oleh orang-orang
Taliban di padang rumput kering yang dia lalui bersama satu peleton pasukannya.
Bodoh! Sungguh bodoh ketika tentara Amerika yang dikenal super canggih tidak
bisa mendeteksi renjau di sekitar mereka. Ya, dia merasa bodoh, dan kebodohan
itulah yang membuatnya harus kehilangan anggota tubuhnya. Selain menyumpah
dirinya, dia juga menyumpah taliban, orang-orang islam, dan siapa pun itu yang
seperti Taliban. Baginya, Talibanlah biang kerok dari segala ketidak beresan
hidupnya.
***
Andrew terkejut ketika untuk pertama kalinya
dia menyadari bahwa tetangganya yang baik, Nyonya Kelly Young telah pindah dari
Kondominiumnya. Kondominium Nyonya Kelly berhadap-hadapan dengan
Kondominiumnya. Wanita paruh baya itu sangat baik, bahkan wanita itulah yang
setia menunggui istrinya ketika harus dirawat di rumah sakit. Sementara dia sebagai
suaminya, harus pergi ke seberang pulau dengan jarak ratusan mil.
Dan yang paling mengejutkan bagi Andrew adalah,
ketika untuk pertama kalinya ia melihat keluarga arab menghuni kondominium
bekas Nyonya Kelly tinggal. Keluarga itu mungkin dari Timur tengah jika dilihat
dari wajah mereka. Ada seorang lelaki paruh baya berjenggot lebat -persis
seperti para anggota Taliban yang sering Andrew lihat di Pakistan- di rumah
tersebut. Kemudian ada seorang wanita –istri dari lelaki berjenggot lebat- yang
memakai burqa hitam. Selain mereka, ada dua anak perempuan, hanya saja mereka
tidak memakai burqa. Yang satu sudah dewasa dan mungkin berusia 25 tahun, dan
yang satu masih berusia belasan tahun. Mereka berdua pasti anak dari kedua
orang tua paruh baya tersebut.
Andrew pikir, dia tak mungkin bertetangga
dengan keluarga teroris. Kedua kakinya buntung karena orang-orang muslim, dan
sekarang dia kembali pulang harus berhadapan dengan keluarga ‘teroris.’ Oh tuhan,
bagaimana ini bisa terjadi.
***
***
Siang itu Andrew terkejut ketika mendapati anaknya
Samantha berbincang-bincang dengan salah satu dari mereka. Ia melihat gadis
berkerudung biru itu tengah bercanda dengan gadis kecilnya. Bagaimana mungkin
gadis kecilnya akrab dengan anggota keluarga teroris itu?
Tanpa menunggu lama lagi, Andrew melongokan kepalanya
dari jendela dan memanggil Samantha
dengan teriakan yang cukup keras, “Samantha! Kemari!”
Samantha tanpak menoleh dan berbicara kembali dengan
gadis itu. Tapi gadis itu menyuruhnya untuk menemuinya. Samar-samar dia
mendengar gadis itu berkata, “Samantha, dad memanggilmu. Nanti kita bisa
bercerita lagi ya.”
Dan Samantha pun berlari menemuinya dengan senyum yang
lebar.
Andrew tidak suka anaknya akrab dengan sembarang
orang. Lagipula mereka bukan tetangga biasa dan mendapatkan pengecualian dari
keramah tamahan sebagaimana tetangga biasa, setidaknya itu yang sekarang Andrew
asumsikan. Tapi dia yakin dengan asumsinya.
“Jadi, kau tidak boleh terlalu dekat dengan mereka,
oke?”
“Kenapa?” tanya Samantha dengan mimik yang penuh
tanya.
“Pokoknya tidak boleh. Mereka itu orang-orang jahat. Kau
lihat lututku? Orang-orang sepeti merekalah yang membuat Dad cacat seumur
hidup, oke.”
Samantha terdiam.
“Kau paham?”
Samantha mengangguk. Tapi anggukannya lemah, yang
berarti itu menandakan dia kurang setuju. Tapi Samantha pada akhirnya berkata
kepada Andrew, “Tapi Aber sangat baik. Dia suka mendongeng. Kemarin dia
mendongengkan kisah seribu satu malam kepadaku, Dad.”
Oh, jadi namanya Aber, salah satu anak dari keluarga
teroris itu, pikir Andrew. Dia tak akan membiarkan anaknya akrab dengan mereka
sebelum hal buruk terjadi.
“Aber juga suka memberiku cokelat. dia bilang, setiap
melihatku, dia ingat keponakannya di Irak.”
Andrew tak bisa bicara apa-apa. Tapi pada akhirnya dia
masih menginginkan anaknya menjauh dari mereka. “Mereka bersikap manis sebagai
topeng Samantha. Tapi mereka sebenarnya membenci kita.”
“Topeng?”
“Ya, mereka berpura-pura.” Jelas Andrew. Dia sadar
anaknya tak paham dengan kiasan. Dia tersenyum sinis, bagaimana mungkin dia
berbicara dengan anak kecil layaknya berbicara dengan orang dewasa. “Jadi, kau
tidak perlu berkunjung ke rumahnya.”
***
Andrew bangun dari tempat tidur ketika selarik cahaya
matahari menimpa kelopak matanya. Dia memicingkan matanya dan rasa pening
membuatnya ingin terus menempel di bantal. Semalam dia telah menghabiskan tiga
botol vodka. Dan itu cukup membuatnya teler dan tertidur hingga sesiang ini.
Tapi mau tak mau Andrew harus bangun dari tempat tidur
karena dia harus menyiapkan sarapan untuk Samantha. Sarapan? Lebih tepatnya
makan siang. Karena Samantha sudah seharusnya sarapan pada pukul delapan pagi.
Andrew merasa dia menjadi ayah terburuk yang ada di dunia.
Andrew bangkit seperti zombie yang bangun dari
kuburnya. Ia sempoyongan menyusuri ruang tengah dan memanggil Samantha. Namun tak
ada jawaban. Rasa khawatir mulai meremas hatinya. Dia beranjak ke luar dan
mencoba memanggil Samantha. Dia kini yakin samantha tidak ada di sekitar rumah.
Atau mungkin anak itu kembali ke rumah tetangga? Bukankah
dia sudah bilang bahwa tak ada lagi acara bermain ke rumah tetangga. Tapi karena
dicekam rasa khawatir, Andrew memutuskan untuk memastikan bahwa anak itu ada di
rumah tetangganya itu. Jika tidak ada di sana, maka dia harus mencarinya.
Dengan berjalan tertatih-tatih, Andrew menghampiri
kondominium milik keluarga ‘teroris’ itu dan mengetuk pintu.
Tak berapa lama, pintu terbuka dan seorang gadis yang
biasa mengajak Samantha bermain ngobrol berdiri di sana. “Hai, ada yang bisa
aku bantu?”
“Kau melihat Samantha?” tanya Andrew dengan nada
malas. Dia sebenarnya terpaksa bertaya kepada mereka hanya untuk memastikan
dimana anaknya berada.
“Tadi pagi dia ikut sarapan di sini. Dan setelah itu
kupikir dia kembali ke rumahmu.” Jawab gadis itu dengan nada ramah.
Oh tuhan, jadi Samantha sarapan di rumah ini. Andrew
jadi malu dan merutuk dirinya sendiri. Seharusnya dia menyiapkan sarapan untuk
anaknya. Dia tak berhak menyalahkan anaknya jika memang anak itu selalu betah
berinteraksi dengan tetangga barunya.
“Apakah dia tidak ada di rumah?” tanya gadis itu.
Andrew mengangguk dengan perasaan yang tak menentu. Oh
tuhan, dia baru ingat sesuatu sekarang. Dia berpikir bahwa bisa jadi Samantha
pergi ke garis pantai. Dia ingat bahwa kemarin dia mengajak gadis kecilnya itu
jalan-jalan dan Samantha mengatakan bahwa besok dia ingin berenang.
Andrew menjadi frustasi dan dia tak tahu apa yang akan
dia lakukan. Apakah dia akan berlari menuju pantai dengan satu kaki? Apakah dia
akan menyusuri semua garis pantai itu?
“Kira-kira kemana dia pergi?” lagi-lagi gadis itu
bertanya.
“Mungkin ke arah pantai.” Jawab Andrew dengan mimik
khawatir.
“Kalau begitu kau harus mencarinya. Terlalu bahaya
jika dia bermain di sana seorang diri.” Seru gadis itu. Dia kembali ke dalam
dan beberapa detik kemudian muncul dengan sebuah kunci mobil di tangan. “Kita
harus mencarinya.” Pungkasnya. Tanpa menunggu waktu lagi dia beranjak menuju
halaman dan menghidupkan mobilnya. Sementara Andrew terlongo dan mau tak mau
mengikuti gadis itu.
***
(Bersambung...)
Ayo bergabung sekarang juga bersama kami di Fans^^betting ^_^
ReplyDelete