10 Apr 2017

The Wild Man [5]

Sepanjang perjalanan tersebut, Emily tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Alih-alih dia hanya menatap keluar dengant atapan kosong. Sersan Liam tidak ingin mengusik Emily dan membiarkannya asyik dalam lamunannya. Ia sadar, Emily masih merasa terguncang dan belum siap untuk menerima semua itu.

Tapi pada akhirnya Liam tidak tahan untuk diam dalam waktu yang lama.
“Dahulu aku juga sempat merasa kehilangan, sama seperti yang kau rasakan. Mom dan dad meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Dan aku tidak bisa bangkit dan tersenyum selama sebulan lamanya. Hingga teman-temanku datang dan menghiburku.”

Emily tak merespon dan tetap diam.

Mereka sampai di rumah Emily. Tapi Emily melihat ada mobil mustang yang terparkir di depan rumahnya. Dan tiga orang perempuan tampak keluar dari mustang tersebut, bertepatan dengan keluarnya Emily dari mobil sersan Liam. Emily melihat Amina, Sara dan Charlotte.

Emily menghambur kea rah mereka dan disambut pelukan dari Amina.”Aku turut berduka atas kematian April.”

Emily terisak di pelukan Amina. Sementara Sara dan Charlotte hanya mengusap punggungnya.

Emily mengangkat kepalanya dari bahu Amina,”Oke, ayo kita masuk.” Ujarnya sembari melangkah menuju anak tangga. Tiga sahabatnya mengikutinya kecuali Liam.

Liam berdehem dan mereka menatapnya.

“Maaf aku harus kembali. Ada tugas yang belum aku selesaikan.”ujar Sersan Liam dengan senyum yang khas.

Emily menatap Liam dengan tatapan yang penuh arti,”Aku harap kau bisa minum kopi bersama kami. Tapi tentunya tugasmu lebih penting. Jadi, terimakasih sudah mengantarku pulang.”

Sersan Liam tersenyum semakin lebar,”Sudah kewajibanku nona.” Dan dia segera masuk ke dalam mobilnya dan meluncur dengan pelan. Tak lupa meninggalkan lambaian tangan untuk Emily dan teman-temannya.

***

Amina, Sara dan Charlotte sudah pergi sejak dua jam yang lalu. Kini Emily kembali disergap kesunyian dan kesendirian yang begitu kentara.

Jam dinding menunjukan pukul tiga sore. Biasanya pada waktu seperti ini April akan mengajaknya makan di restaurant atau mengajaknya berbelanja di supermarket untuk kebutuhan dapur. Tapi tampaknya Emily harus bisa bertahan untuk melupakan April. Dia harus terbiasa untuk makan sendiri, belanja sendiri, dan melakukan semua aktifitas yang biasanya ia kerjakan dengan April sendirian. Menyakitkan memang, tapi ini kenyataan yang sekarang harus ia jalani dengan ikhlas.

Sebelum pergi, Amina mengajaknya untuk bertandang ke rumahnya, tapi Emily menolak. Mereka teman-temannya juga menawarkan Emily untuk menemaninya tidur untuk beberapa malam mendatang. Tapi Emily menolak. Ia tak ingin merepotkan teman-temannya dengan kesedihan yang ada pada dirinya. Ia mencoba menyembunyikan semua perih yang dia rasakan dan meyakinkan teman-temannya bahwa ia akan baik-baik saja.

“Aku berjanji akan sering mengunjungimu dan tentunya mengajakmu liburan. Seperti yang April lakukan.” Ujar Sara dengan mata yang berkaca-kaca.
Emily tak kalah terharunya. Ia beberapa kali menyeka air matanya,” Kalian tidak perlu khawatir terhadap diriku. Aku baik-baik saja. aku yakin aku bisa melewati semua ini. Aku hargai kebaikan kalian. Dan…tentu saja aku sangat senang dengan tawaran kalian.”

Emily menatap matahari senja dengan hati yang masih gerimis dan dikoyak kesedihan yang tak padam. Ia mencoba menikmati kesendiriannya dengan secangkir kopi. Alih-alih bisa menikmatinya, ia malah membiarkan kopi menjadi dingin. Tak disentuhnya sama sekali.

Emily yakin Liam akan mengantarkan lotusnya sore ini, jadi tak ada salahnya dia duduk di depan sembari menunggu kedatangan Sersan Liam, maksudnya kedantangan lotusnya.

Memang, tak berapa lama, ia melihat lotusnya dari kejauhan. Sersan Liam kembali melambai dan memelankan lajunya, dan berhenti tepat di bawah pohon oak di halaman depan.

“Aku tidak terlambat mengantar kan?” ia masih tersenyum. Emily jadi ragu Sersan Liam bisa marah atau menampakan wajah cemberut.

“Tidak. Aku tidak bergairah untuk pergi kemana-mana. Bahkan jika mobil itu tidak kau antar ke sini dalam beberapa hari ke depan aku tidak peduli.”

“Ayolah, kau bisa melakukan apa saja yang kau suka dengan mobil kerenmu ini.”timpalnya.”Oh ya, karena tadi siang aku menolak tawaran minum kopimu, jadi, kali ini aku tidak menolak jika kau menawariku lagi.”

Emily tersenyum,”Tentu. Silakan masuk.” Dia berdiri dari tempat duduknya dan membuka pintu lebar-lebar.

“Aku lebih suka di luar.”jawabnya dan duduk di kursi sebelah yang tadi di duduki Emily.

Emily masuk ke dalam dan mengangguk pelan. Bersiap membuat kopi untuk tamunya sore ini.

***

Malam ini Emily merasakan keterasingan dan kesendirian yang begitu mencekam. Tak ada lagi obrolan hangat dengan April dan gurauan di tengah makan malam. Dia jadi tidak berselera menyantap makan malamnya. Alih-alih Emily menghabiskan waktu malamnya dengan menonton televise dan membaca majalah yang empat hari yang lalu dibeli April. Lagi-lagi April. Seakan-akan semua sisi dari rumah itu mengingatkannya pada April. Semua benda memberi bayangan sosok April.

Saat itu Emily menonton Reality show pencarian bakat. Biasanya April tak pernah absen menontonya. Itu acara favoritnya. Melihat tayangan itu membuat Emily semakin tersiksa oleh rasa sedih. Ia berniat memindahkan saluran ketika suara berderak menggema di seluruh ruangan.

Dan Emily terkesiap melihat ada sosok yang berdiri di belakang sofa yang dia duduk di atasnya. Sosok April!

“Kau tak perlu memindahkan saluran siarannya Emily. Aku suka acara ini.” Serunya dengan nada khasnya.

Emily shock. Ia mengucek-ngucek matanya dan berharap itu hanya ilusi atau mimpi. Dia tahu dia terlalu lelah dan sangat kehilangan. Tapi sosok di hadapannya itu begitu nyata, senyata apa yang dia rasakan ketika melihat jasad April di taman malam kemarin.

“Kau memang selalu begitu.” Seru April lagi, dia meraih remote televisi dan menjauhkannya dari meja, tentunya supaya Emily tidak memindahkan siaran favoritenya. Seperti biasa, ia selalu begitu.

Kali ini Emily melihat dengan nyata bekas gorokan yang melingkar horizontal di leher jenjangnya. Darah mulai tampak mongering di sekeliling kerah baju blus biru yang terakhir dipakainya malam kemarin. Bibirnya yang robek dan bengkak tampak lebih pucat, dan tentu saja dengan satu rongga mata yang kosong melompong.

Emily mual dan tiba-tiba merakan pening luar biasa. Rasa takut, heran penasaran bercampur aduk di benaknya.

Aku mungkin sudah gila karena kehilangan April. Tidak! Aku bukan gila. Ini hanya halusinasiku saja.

“Dari kemarin aku belum minum. Kau sudah membeli jus dan susu segar kan?” Tanya April sembari beranjak kea rah kulkas di pojok ruangan.

Emily masih belum bisa bicara. Kerongkongannya seakan tercekat.
April membuka pintu kulkas dan ia menggerutu tak jelas ketika hanya menemukan air putih di dalamnya. Tidak menemukan minuman favoritenya.”Kau memang pemalas Emily. Sudah kubilang jika aku tidak ada kau bisa menggantikanku untuk belanja.”

“Kau seharusnya tidak di sini. Kau sudah berbeda.” Emily mencoba bicara.
April balik menatap Emily. Emily tidak tahan melihat matanya yang melompong kosong. Dengan darah yang mongering di sebagian sisi wajahnya ” Kau selalu menyebalkan.”

Tiba-tiba April berteriak sekeras-kerasnya sembari memegangi kepalanya. Emily tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Toh ini hanya halusinasi sialan yang membuatnya setengah gila.

“Ambilkan aku pil dan air putih. Cepat!”

Ah! Mungkin penyakit fertigonya kambuh. Emily hendak mengambil pil tersebut dilaci. Tapi dia harus meyakinkan dirinya bahwa ini benar-benar lelucon yang tidak nyata. Ini halusinasi. Semakin dia berpikir, semakin dia tersiksa dengan teriakan April.

Emily menjerit ketika dilihatnya April ambruk di karpet. Dan jeritan terakhir dia merasakan tubuhnya banjir keringat. Dia membuka matanya dan menemukan remang-remang cahaya lampu dari meja. Sementara televisi masih menyala. Menayangkan siaran reality show pencarian bakat. Emily bermimpi. Ia menghela nafas lega.

Aku terlalu lelah untuk tidur setenang mungkin

BRAK!!!


Tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh dari arah depan. Mungkin dari ruangan garasi. Bulu kuduk Emily meremang. Ini bukan lagi lelucon. Ada orang lain di rumahnya.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment