Sepanjang
perjalanan tersebut, Emily tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari
mulutnya. Alih-alih dia hanya menatap keluar dengant atapan kosong. Sersan Liam
tidak ingin mengusik Emily dan membiarkannya asyik dalam lamunannya. Ia sadar,
Emily masih merasa terguncang dan belum siap untuk menerima semua itu.
Tapi pada
akhirnya Liam tidak tahan untuk diam dalam waktu yang lama.
“Dahulu aku
juga sempat merasa kehilangan, sama seperti yang kau rasakan. Mom dan dad
meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Dan aku tidak bisa bangkit dan
tersenyum selama sebulan lamanya. Hingga teman-temanku datang dan menghiburku.”
Emily tak
merespon dan tetap diam.
Mereka sampai
di rumah Emily. Tapi Emily melihat ada mobil mustang yang terparkir di depan
rumahnya. Dan tiga orang perempuan tampak keluar dari mustang tersebut,
bertepatan dengan keluarnya Emily dari mobil sersan Liam. Emily melihat Amina,
Sara dan Charlotte.
Emily
menghambur kea rah mereka dan disambut pelukan dari Amina.”Aku turut berduka
atas kematian April.”
Emily
terisak di pelukan Amina. Sementara Sara dan Charlotte hanya mengusap
punggungnya.
Emily
mengangkat kepalanya dari bahu Amina,”Oke, ayo kita masuk.” Ujarnya sembari
melangkah menuju anak tangga. Tiga sahabatnya mengikutinya kecuali Liam.
Liam
berdehem dan mereka menatapnya.
“Maaf aku
harus kembali. Ada tugas yang belum aku selesaikan.”ujar Sersan Liam dengan
senyum yang khas.
Emily menatap
Liam dengan tatapan yang penuh arti,”Aku harap kau bisa minum kopi bersama
kami. Tapi tentunya tugasmu lebih penting. Jadi, terimakasih sudah mengantarku
pulang.”
Sersan Liam
tersenyum semakin lebar,”Sudah kewajibanku nona.” Dan dia segera masuk ke dalam
mobilnya dan meluncur dengan pelan. Tak lupa meninggalkan lambaian tangan untuk
Emily dan teman-temannya.
***
Amina, Sara
dan Charlotte sudah pergi sejak dua jam yang lalu. Kini Emily kembali disergap
kesunyian dan kesendirian yang begitu kentara.
Jam dinding
menunjukan pukul tiga sore. Biasanya pada waktu seperti ini April akan
mengajaknya makan di restaurant atau mengajaknya berbelanja di supermarket
untuk kebutuhan dapur. Tapi tampaknya Emily harus bisa bertahan untuk melupakan
April. Dia harus terbiasa untuk makan sendiri, belanja sendiri, dan melakukan
semua aktifitas yang biasanya ia kerjakan dengan April sendirian. Menyakitkan memang,
tapi ini kenyataan yang sekarang harus ia jalani dengan ikhlas.
Sebelum pergi,
Amina mengajaknya untuk bertandang ke rumahnya, tapi Emily menolak. Mereka teman-temannya
juga menawarkan Emily untuk menemaninya tidur untuk beberapa malam mendatang. Tapi
Emily menolak. Ia tak ingin merepotkan teman-temannya dengan kesedihan yang ada
pada dirinya. Ia mencoba menyembunyikan semua perih yang dia rasakan dan
meyakinkan teman-temannya bahwa ia akan baik-baik saja.
“Aku
berjanji akan sering mengunjungimu dan tentunya mengajakmu liburan. Seperti yang
April lakukan.” Ujar Sara dengan mata yang berkaca-kaca.
Emily tak
kalah terharunya. Ia beberapa kali menyeka air matanya,” Kalian tidak perlu
khawatir terhadap diriku. Aku baik-baik saja. aku yakin aku bisa melewati semua
ini. Aku hargai kebaikan kalian. Dan…tentu saja aku sangat senang dengan
tawaran kalian.”
Emily
menatap matahari senja dengan hati yang masih gerimis dan dikoyak kesedihan
yang tak padam. Ia mencoba menikmati kesendiriannya dengan secangkir kopi. Alih-alih
bisa menikmatinya, ia malah membiarkan kopi menjadi dingin. Tak disentuhnya
sama sekali.
Emily yakin
Liam akan mengantarkan lotusnya sore ini, jadi tak ada salahnya dia duduk di
depan sembari menunggu kedatangan Sersan Liam, maksudnya kedantangan lotusnya.
Memang, tak
berapa lama, ia melihat lotusnya dari kejauhan. Sersan Liam kembali melambai
dan memelankan lajunya, dan berhenti tepat di bawah pohon oak di halaman depan.
“Aku tidak
terlambat mengantar kan?” ia masih tersenyum. Emily jadi ragu Sersan Liam bisa marah
atau menampakan wajah cemberut.
“Tidak. Aku tidak
bergairah untuk pergi kemana-mana. Bahkan jika mobil itu tidak kau antar ke
sini dalam beberapa hari ke depan aku tidak peduli.”
“Ayolah, kau
bisa melakukan apa saja yang kau suka dengan mobil kerenmu ini.”timpalnya.”Oh
ya, karena tadi siang aku menolak tawaran minum kopimu, jadi, kali ini aku
tidak menolak jika kau menawariku lagi.”
Emily
tersenyum,”Tentu. Silakan masuk.” Dia berdiri dari tempat duduknya dan membuka
pintu lebar-lebar.
“Aku lebih
suka di luar.”jawabnya dan duduk di kursi sebelah yang tadi di duduki Emily.
Emily masuk
ke dalam dan mengangguk pelan. Bersiap membuat kopi untuk tamunya sore ini.
***
Malam ini
Emily merasakan keterasingan dan kesendirian yang begitu mencekam. Tak ada lagi
obrolan hangat dengan April dan gurauan di tengah makan malam. Dia jadi tidak
berselera menyantap makan malamnya. Alih-alih Emily menghabiskan waktu malamnya
dengan menonton televise dan membaca majalah yang empat hari yang lalu dibeli
April. Lagi-lagi April. Seakan-akan semua sisi dari rumah itu mengingatkannya
pada April. Semua benda memberi bayangan sosok April.
Saat itu Emily
menonton Reality show pencarian bakat. Biasanya April tak pernah absen
menontonya. Itu acara favoritnya. Melihat tayangan itu membuat Emily semakin
tersiksa oleh rasa sedih. Ia berniat memindahkan saluran ketika suara berderak
menggema di seluruh ruangan.
Dan Emily
terkesiap melihat ada sosok yang berdiri di belakang sofa yang dia duduk di
atasnya. Sosok April!
“Kau tak
perlu memindahkan saluran siarannya Emily. Aku suka acara ini.” Serunya dengan
nada khasnya.
Emily shock.
Ia mengucek-ngucek matanya dan berharap itu hanya ilusi atau mimpi. Dia tahu
dia terlalu lelah dan sangat kehilangan. Tapi sosok di hadapannya itu begitu
nyata, senyata apa yang dia rasakan ketika melihat jasad April di taman malam
kemarin.
“Kau memang
selalu begitu.” Seru April lagi, dia meraih remote televisi dan menjauhkannya
dari meja, tentunya supaya Emily tidak memindahkan siaran favoritenya. Seperti
biasa, ia selalu begitu.
Kali ini
Emily melihat dengan nyata bekas gorokan yang melingkar horizontal di leher
jenjangnya. Darah mulai tampak mongering di sekeliling kerah baju blus biru
yang terakhir dipakainya malam kemarin. Bibirnya yang robek dan bengkak tampak
lebih pucat, dan tentu saja dengan satu rongga mata yang kosong melompong.
Emily mual
dan tiba-tiba merakan pening luar biasa. Rasa takut, heran penasaran bercampur
aduk di benaknya.
Aku
mungkin sudah gila karena kehilangan April. Tidak! Aku bukan gila. Ini hanya
halusinasiku saja.
“Dari
kemarin aku belum minum. Kau sudah membeli jus dan susu segar kan?” Tanya April
sembari beranjak kea rah kulkas di pojok ruangan.
Emily masih
belum bisa bicara. Kerongkongannya seakan tercekat.
April
membuka pintu kulkas dan ia menggerutu tak jelas ketika hanya menemukan air
putih di dalamnya. Tidak menemukan minuman favoritenya.”Kau memang pemalas
Emily. Sudah kubilang jika aku tidak ada kau bisa menggantikanku untuk
belanja.”
“Kau
seharusnya tidak di sini. Kau sudah berbeda.” Emily mencoba bicara.
April balik
menatap Emily. Emily tidak tahan melihat matanya yang melompong kosong. Dengan
darah yang mongering di sebagian sisi wajahnya ” Kau selalu menyebalkan.”
Tiba-tiba
April berteriak sekeras-kerasnya sembari memegangi kepalanya. Emily tidak tahu
apa yang harus dia lakukan. Toh ini hanya halusinasi sialan yang membuatnya
setengah gila.
“Ambilkan
aku pil dan air putih. Cepat!”
Ah! Mungkin penyakit
fertigonya kambuh. Emily hendak mengambil pil tersebut dilaci. Tapi dia harus
meyakinkan dirinya bahwa ini benar-benar lelucon yang tidak nyata. Ini
halusinasi. Semakin dia berpikir, semakin dia tersiksa dengan teriakan April.
Emily
menjerit ketika dilihatnya April ambruk di karpet. Dan jeritan terakhir dia
merasakan tubuhnya banjir keringat. Dia membuka matanya dan menemukan
remang-remang cahaya lampu dari meja. Sementara televisi masih menyala.
Menayangkan siaran reality show pencarian bakat. Emily bermimpi. Ia menghela
nafas lega.
Aku
terlalu lelah untuk tidur setenang mungkin
BRAK!!!
Tiba-tiba
terdengar seperti benda jatuh dari arah depan. Mungkin dari ruangan garasi.
Bulu kuduk Emily meremang. Ini bukan lagi lelucon. Ada orang lain di rumahnya.
No comments:
Post a Comment