Perbedaan di dalam islam itu dipandang dalam dua kategori.
Ada perbedaan yang dibolehkan dan perbedaan yang tidak diperbolehkan menurut
syariat.
Adapun perbedaan yang diperbolehkan adalah perbedaan yang
bersifat furu atau cabang. Biasanya perbedaan dalam masalah fiqih. Contohnya
perbedaan seputar jumlah rakaat di dalam shalat tarawih, dan masih banyak lagi
yang lainnya. Tentunya hal ini perbedaan yang wajar dan diperbolehkan, selama
dari perbedaan pendapat tersebut memiliki dalil
masing-masing yang bisa dipertanggung jawabkan.
Adapun perbedaan yang tidak bisa ditolerir adalah perbedaan
dalam masalah aqidah atau ushul. Hal ini jelas-jelas berbahaya jika tidak
disikapi dengan serius. Contohnya rukun iman dan rukun islam, maka yang mengaku
muslim dari sejak zaman Rasulullah
hingga hari kiamat akan mengakui rukun islam
ada lima dan rukun iman ada 6. Tidak ada perbedaan diantara para ulama. Kecuali
para pengikut hawa nafsu dan jalan setan yang telah keluar dari islam. Contohnya
kaum syiah yang berbeda secara prinsip dan kaum liberal yang menafsirkan
al-quran sesuai dengan hawa nafsu.

Oleh karena itu, jika kita melihat adanya perbedaan, maka
kita harus melihat, apakah perbedaan yang ditolerir oleh syariat atau tidak?
Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan saling membenci hanya karena perbedaan
masalah fiqih dan mazhab. Seperti yang baru-baru ini telah terjadi, seorang
mubaligh diusir dari satu daerah hanya karena perbadaan pandangan. Sangat
memalukan!
Tentunya yang harus dikedepankan adalah sikap toleransi dan
komunikasi yang baik. Sehingga ditemui titik temu dan dialog ilmiah yang sehat.
Bila kita meyakini kita yang paling benar, ya silakan saja.
tapi jangan sampai menyalahkan yang lain., yang bisa saja juga mempunyai dasar
dalil syar’I yang tidak kita ketahui.
Saya jadi teringat apa yang diungkapkan oleh ustadz Felix
Siauw di dalam chanel telegramnya,” Bukan berarti bila kita yang lebih banyak
lantas memastikan kita jadi yang paling benar, bukan berarti yang paling lama lantas
jadi yang paling baik, kita tetap harus rendah hati.”
No comments:
Post a Comment