Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik atau diam (HR. Bukhari)
Kata-kata yang keluar dari kedua
bibir kita tidaklah sama dengan celoteh burung beo yang meniru setiap suara
yang dia dengar. Omongan kita juga tidaklah sama dengan embikan kambing yang
tiada makna, alih-alih hanya membuat berisik dan sekedar pembawa pesan kepada
gembala bahwa kambingnya tengah lapar.
Kata-kata yang keuar dari mulut
kita sebagai muslim, adalah kata-kata yang thayib dan jauh dari kesia-siaan.
Kata-kata yang mengalir darinya rasa harap dan asa. Kata yang jauh dari putus
asa, apa lagi keluh kesah yang tak berkesudahan.
Kata-kata atau omongan kadang
menjadi biang timbulnya masalah dan petaka. Karena petaka datang karena
‘undangan’ dari energi negative yang kita keluarkan. Seperti inilah kesimpulan
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud.
Beliau mencontohkan sebuah kisah. Rasulullah saw pernah menjenguk seorang kakek
tua renta yang sedang sakit. Nabi saw mendoakannya supaya diberi kesembuhan,”La
ba’sa thahurun, In syaa Allah. Sakit anda tidak apa-apa. In syaa Allah sebagai
pembersih dosa”
Tapi kakek tersebut malah
menimpali,”Bukan, tapi demam yang datang ini akan mengantarkan kakek yang tua
renta ini menuju liang kubur.”
Nabi saw membalas
omongannya,”Kalau seperti itu (kata-katamu) akan terjadi.”
Beberapa waktu kemudian, tersiar
kabar bahwa ajal menjemput kakek tua tersebut.
Lisan selalu membahasakan apa
yang dirasakan anggota tubuh. Ia juga menggambarkan bagaimana kondisi
seseorang. Sangatlah tidak elok seorang muslim mengumbar kata-kata sesuai
dengan apa yang ia inginkan tampa memikirkan baik buruknya. Tampa menimbang
maslahat mafsadatnya.
Lisan seorang muslim selalu
membahasakan nilai-nilai positif yang bermuatan kebaikan. Ia tidak akanberseru,
aduh, sial, anjrit dan dasar!, ketika tertimpa kesedihan, petaka musibah.
Tetapi mengalirkan kalimat indah, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un...
Jika mencemaskan sesuatu atau
meneriba kabar yang mengkhawatirkan, maka ia ucapkan, hasbunallah wa ni’mal
wakil.
Jika ianya merasa lemah dan tidak
kuat memikul beban, maka senarai indah keluar dari mulutnya, la haula wala
quwwata illa billah.
Abu darda mengatakan,”musibah
datang karena omongan. Ketika sesorang manusia mengatakan,’sungguh, aku tidak
akan mungkin melakukannya,’setan akan meninggalkan semua hal dan terobsesi
untuk menjatuhkan orang tersebut ke dosa itu.”
Benarlah apa yang dikatakan abu
darda. Banyak orang yang pesimis dari rahmat Allah, maka ia benar-benar jauh
dari rahmat Allah. Ada orang yang merasa sudah terlanjur kotor bergelimang
dosa, ia merasa tidak pantas untuk bertobat. Sudah terlanjur berkubang lumpur.
Ia pikir dosanya sudah kelewat banyak dan Allah tidak mungkin mencurahkan
ampunan-Nya. Akhirnya hidayah benar-benar tidak menyambanginya.
Ada juga orang yang merasa tidak
sanggup untuk beramal dan tidak terobsesi untuk beramal. Ia merasa mustahil
beramal layaknya generasi tabi’in. Ia tak merasa percaya diri untuk menghafal
Kitabullah layaknya ulama-ulama terdahulu. Setan pun menggembosinya dan menguatkan
pikiran negativenya. Ternyata benar adanya, ia malas beramal dan ia malas
menghafal al-Quran. Mencukupkan diri dengan amal-amalan yang biasa ia kerjakan
sebatas amal fardhu. Stagnan. Bahkan lebih parah lagi, ia bergantung pada
amalannya yang tiada seberapa. Ia merasa alaman fardhu itu mencukupinya untuk
mengantongi tiket surga, walau bukan surga yang tertinggi yang ia dapat, begitu
pikirnya. Tapi siapa yang menjamin amalan kita tercatat di sisi-Nya. Siapa yang
menjamin Allah ridho dengan alaman kita? Tertipu dengan amalannya. Bisa jadi
lambat laun setan menggembosinya dengan rasa futur.
Al-Qadhi Ibnu Bahlul
berkata,”jangan mengucapkan sesuatu yang kamu sendiri tidak suka. Bisa jadi
lisan mengucapkan sesuatu, kemudian hal itu terjadi.”
****
Kadang lisan ini begitu gatal
untuk memberikan komentar terhadap sesuatu hal. Dan hal yang disesalkan kadang
komentar yang terlontar tidak mengindahkan kepatutan, sopan santun, perasaan
dan nilai-nilai agama. Kadang komentar yang terucap layaknya sampah yang membuat
jijik orang mendengarkannya. Ada juga komentar yang ianya membawa petaka untuk
orang lain. Benarlah pepatah lama, mulutmu harimaumu.
Lisan juga susah dikendalikan
ketika harus membalas serangan orang lain. Api dilawan api. Kata-kata pedas
yang terlontar kepada kita, kita balas dengan lontaran yang tak kalah pedasnya.
Lebih parah lagi jika terjadi kesalah pahaman. Maksud kata seseorang mengatakan
hal yang baik, kita anggap kata itu sebagai penghinaan. Kita lontarkan
kata-kata yang tajam menusuk. Sekali lagi benar pepatah lama. Lidah daging tak
bertulang. Tapi lebih tajam dari pada pedang.
Antara lidah dan Hati
Buruknya hati seseorang bisa
dilihat dari ucapan yang biasa keluar dari mulutnya. Jika kata-kata yang keluar
dominan jelek, maka itu bisa cukup menjadi bukti bahwa pribadinya memang jelek
Sungguh indah senarai yang
dikatakan oleh Aa Gym dalam sebuah kajiannya. Ia mengatakan. Hati itu ibarat
teko. Jika teko itu kita isi dengan kopi, maka yang keluar dari mulut teko itu
kopi. Jika yang diisi ke dalam teko susu, maka yang tertuang ke dalam gelas
adalah susu. Jika teko itu kita isi air comberan, maka mulut teko itu pun akan
mengeluarkan air comberan.
*****
Hati seseorang kadang dihinggapi
rasa dendam. Atau paling tidak sakit hati karena telah diperlakukan tidak baik
oleh orang lain. Nah, dalam kondisi inilah akan terlahir sifat asy-syamatah.
Yakni rasa senang akibat melihat orang yang tidak kita sukai atau orang yang
pernah menyakiti kita kena musibah. Secara spontan mulut kita melontarkan rasa
puas yang tak terperi,
”sukurin! Emang enak!,
makanya jadi orang jangan belagu
lu,
‘puas, hukum karma itu.’
Jika hal itu terjadi,
cepat-cepatlah mengingat Allah. Jadikan hal itu sebagai alasan untuk bersyukur
karena musibah itu tidak turun kepada kita. Lalu melantunkan doa yang diajarkan
oleh Rasulullah saw kepada kita,
Diriwayatkan dari abu hurairah
dari nabi saw, beliau bersabda,” barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa
musibah, kemudian mengucapkan, alhamdulillahi ladzii ‘aafaanii mimmabtalaka
bihi wa fadhalani ‘ala katsirin mimman khalakqa tafdhian lam yusibuhu dzalikal
bala’. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari segala musibah
yang Ia ujikan kepadamu dan mengutamakanku di atas sebagian besar makhluk yang
Dia ciptakan dengan keutamaan,’ niscaya musibah tersebut tidak akan menimpanya
(HR. Tirmidzi)
No comments:
Post a Comment