15 Dec 2016

Mulutmu Harimaumu

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu “(TQS Al-Ahzab: 70-71)
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik atau diam (HR. Bukhari)
Kata-kata yang keluar dari kedua bibir kita tidaklah sama dengan celoteh burung beo yang meniru setiap suara yang dia dengar. Omongan kita juga tidaklah sama dengan embikan kambing yang tiada makna, alih-alih hanya membuat berisik dan sekedar pembawa pesan kepada gembala bahwa kambingnya tengah lapar.
Kata-kata yang keuar dari mulut kita sebagai muslim, adalah kata-kata yang thayib dan jauh dari kesia-siaan. Kata-kata yang mengalir darinya rasa harap dan asa. Kata yang jauh dari putus asa, apa lagi keluh kesah yang tak berkesudahan.
Kata-kata atau omongan kadang menjadi biang timbulnya masalah dan petaka. Karena petaka datang karena ‘undangan’ dari energi negative yang kita keluarkan. Seperti inilah kesimpulan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud. Beliau mencontohkan sebuah kisah. Rasulullah saw pernah menjenguk seorang kakek tua renta yang sedang sakit. Nabi saw mendoakannya supaya diberi kesembuhan,”La ba’sa thahurun, In syaa Allah. Sakit anda tidak apa-apa. In syaa Allah sebagai pembersih dosa”
Tapi kakek tersebut malah menimpali,”Bukan, tapi demam yang datang ini akan mengantarkan kakek yang tua renta ini menuju liang kubur.”
Nabi saw membalas omongannya,”Kalau seperti itu (kata-katamu) akan terjadi.”
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar bahwa ajal menjemput kakek tua tersebut.
Lisan selalu membahasakan apa yang dirasakan anggota tubuh. Ia juga menggambarkan bagaimana kondisi seseorang. Sangatlah tidak elok seorang muslim mengumbar kata-kata sesuai dengan apa yang ia inginkan tampa memikirkan baik buruknya. Tampa menimbang maslahat mafsadatnya.
Lisan seorang muslim selalu membahasakan nilai-nilai positif yang bermuatan kebaikan. Ia tidak akanberseru, aduh, sial, anjrit dan dasar!, ketika tertimpa kesedihan, petaka musibah. Tetapi mengalirkan kalimat indah, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un...
Jika mencemaskan sesuatu atau meneriba kabar yang mengkhawatirkan, maka ia ucapkan, hasbunallah wa ni’mal wakil.
Jika ianya merasa lemah dan tidak kuat memikul beban, maka senarai indah keluar dari mulutnya, la haula wala quwwata illa billah.
Abu darda mengatakan,”musibah datang karena omongan. Ketika sesorang manusia mengatakan,’sungguh, aku tidak akan mungkin melakukannya,’setan akan meninggalkan semua hal dan terobsesi untuk menjatuhkan orang tersebut ke dosa itu.”
Benarlah apa yang dikatakan abu darda. Banyak orang yang pesimis dari rahmat Allah, maka ia benar-benar jauh dari rahmat Allah. Ada orang yang merasa sudah terlanjur kotor bergelimang dosa, ia merasa tidak pantas untuk bertobat. Sudah terlanjur berkubang lumpur. Ia pikir dosanya sudah kelewat banyak dan Allah tidak mungkin mencurahkan ampunan-Nya. Akhirnya hidayah benar-benar tidak menyambanginya.
Ada juga orang yang merasa tidak sanggup untuk beramal dan tidak terobsesi untuk beramal. Ia merasa mustahil beramal layaknya generasi tabi’in. Ia tak merasa percaya diri untuk menghafal Kitabullah layaknya ulama-ulama terdahulu. Setan pun menggembosinya dan menguatkan pikiran negativenya. Ternyata benar adanya, ia malas beramal dan ia malas menghafal al-Quran. Mencukupkan diri dengan amal-amalan yang biasa ia kerjakan sebatas amal fardhu. Stagnan. Bahkan lebih parah lagi, ia bergantung pada amalannya yang tiada seberapa. Ia merasa alaman fardhu itu mencukupinya untuk mengantongi tiket surga, walau bukan surga yang tertinggi yang ia dapat, begitu pikirnya. Tapi siapa yang menjamin amalan kita tercatat di sisi-Nya. Siapa yang menjamin Allah ridho dengan alaman kita? Tertipu dengan amalannya. Bisa jadi lambat laun setan menggembosinya dengan rasa futur.
Al-Qadhi Ibnu Bahlul berkata,”jangan mengucapkan sesuatu yang kamu sendiri tidak suka. Bisa jadi lisan mengucapkan sesuatu, kemudian hal itu terjadi.”
****
Kadang lisan ini begitu gatal untuk memberikan komentar terhadap sesuatu hal. Dan hal yang disesalkan kadang komentar yang terlontar tidak mengindahkan kepatutan, sopan santun, perasaan dan nilai-nilai agama. Kadang komentar yang terucap layaknya sampah yang membuat jijik orang mendengarkannya. Ada juga komentar yang ianya membawa petaka untuk orang lain. Benarlah pepatah lama, mulutmu harimaumu.
Lisan juga susah dikendalikan ketika harus membalas serangan orang lain. Api dilawan api. Kata-kata pedas yang terlontar kepada kita, kita balas dengan lontaran yang tak kalah pedasnya. Lebih parah lagi jika terjadi kesalah pahaman. Maksud kata seseorang mengatakan hal yang baik, kita anggap kata itu sebagai penghinaan. Kita lontarkan kata-kata yang tajam menusuk. Sekali lagi benar pepatah lama. Lidah daging tak bertulang. Tapi lebih tajam dari pada pedang.
Antara lidah dan Hati
Buruknya hati seseorang bisa dilihat dari ucapan yang biasa keluar dari mulutnya. Jika kata-kata yang keluar dominan jelek, maka itu bisa cukup menjadi bukti bahwa pribadinya memang jelek
Sungguh indah senarai yang dikatakan oleh Aa Gym dalam sebuah kajiannya. Ia mengatakan. Hati itu ibarat teko. Jika teko itu kita isi dengan kopi, maka yang keluar dari mulut teko itu kopi. Jika yang diisi ke dalam teko susu, maka yang tertuang ke dalam gelas adalah susu. Jika teko itu kita isi air comberan, maka mulut teko itu pun akan mengeluarkan air comberan.
*****
Hati seseorang kadang dihinggapi rasa dendam. Atau paling tidak sakit hati karena telah diperlakukan tidak baik oleh orang lain. Nah, dalam kondisi inilah akan terlahir sifat asy-syamatah. Yakni rasa senang akibat melihat orang yang tidak kita sukai atau orang yang pernah menyakiti kita kena musibah. Secara spontan mulut kita melontarkan rasa puas yang tak terperi,
”sukurin! Emang enak!,
makanya jadi orang jangan belagu lu,
‘puas, hukum karma itu.’
Jika hal itu terjadi, cepat-cepatlah mengingat Allah. Jadikan hal itu sebagai alasan untuk bersyukur karena musibah itu tidak turun kepada kita. Lalu melantunkan doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita,
Diriwayatkan dari abu hurairah dari nabi saw, beliau bersabda,” barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa musibah, kemudian mengucapkan, alhamdulillahi ladzii ‘aafaanii mimmabtalaka bihi wa fadhalani ‘ala katsirin mimman khalakqa tafdhian lam yusibuhu dzalikal bala’. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari segala musibah yang Ia ujikan kepadamu dan mengutamakanku di atas sebagian besar makhluk yang Dia ciptakan dengan keutamaan,’ niscaya musibah tersebut tidak akan menimpanya (HR. Tirmidzi)
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment