18 May 2015

Hijrah


Aku mematung di depan cermin sembari menatap tumpukan baju dan craft di atas sofa kamarku. Rasa bingung masih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, malam ini aku harus menghadiri pesta prom akhir tahun. Aku ingin tampil menawan dan menyenangkan di hadapan teman-temanku. Walaupun aku memakai hijab umpamanya. Hai, kau belum tahu ya, aku adalah nania. Tuhan menakdirkanku untuk lahir dari pasangan muslim keturunan pakistan-palestina. Mom dan dad yang sangat aku sayangi.
Aku tak bisa mengatakan bagaimana aku bisa menjalani kehidupan sebagai anak australia dan berstatus sebagai gadis muslim. Kau pun tahu bahwa islampobia tidak akan memberikan jaminan kau akan selamat dari tatapan penghakiman orang-orang di sekitarmu. Tapi aku berusaha untuk bisa merasa bangga dengan apa yang aku pakai selama ini.
"Lagi pula, hijab itu kan termasuk hak asasi setiap muslim, nania. Dan jika mereka membenci apa yang kau pakai, berarti mereka tidak paham apa itu demokrasi dan toleransi. Jadi, untuk apa kamu malu memakainya?" Ujar mom berusaha menghiburku. Aku masih ingat, saat itu adalah hari pertamaku masuk di junior high school di kiama. Sekolah umum yang memang minim siswa muslim bisa masuk ke institusinya.
"Teman-teman sekelas banyak yang mencibir mom. Bahkan alex selalu menarik-narik hijabku dari bangku belakang. 

Mom menghela nafas dan mengelus rambutku."Nania, kau harus tabah sayang. Lagi pula, tindak semua temanmu seperti itu kan?"
Aku mengangguk kecil."Yeah, memang ada yang bisa menerima apa adanya. Mrs. Cassandra pun selalu menghiburku mom." Terangkum kemudian. Mrs. Cassandra adalah wali kelasku saat itu. Terlepas dari semua itu, kini aku merasa memakai hijab bukan lagi sebuah halangan, apalagi aib yang musti aku tutup-tutupi.

Pertama kali aku membujuk mom dan dad untuk mengizinkanku sekolah di Sydney Institute bukanlah perkara gampang. Mereka berencana untuk memasukanku ke El-Hidaya Institute, sekolah muslim yang berada di kiama. Tapi tentu saja aku menolak. Ada beberapa hal yang memang tidak menjadi alasan kenapa aku menolak sekolah di sana.

Pertama, karena banyak teman-teman Junior High School-ku yang sekolah di Sydney institute. Bahkan teman muslimku seperti Jasmine alias Yasmin, Laila dan Amal sekolah di sini. Kedua, jaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah. Padahal, kau bisa menebak, jika seandainya aku bisa masuk ke El-Hidaya, perjalanan Sydney-Kiama akan membuatku layaknya Zombie saking lelahnya bolak balik setiap hari.
****
"Mom hanya khawatir kamu tidak akan bertahan lama di sana, Nania. Lagi pula, kau akan lebih nyaman bersekolah di sekolah islam."ujar mom masih dengan nada penuh kekhawatiran.
Aku menghela nafas,"Mom, aku yakin aku bisa menghadapi semua ini dengan apa yang aku bisa. Bukankah aku juga bisa bertahan selama tiga tahun di public school tanpa kendala apa-apa?" 
"Masih banyak yang bersikap sinis dan mencibir pakaianku."kali ini dad yang bicara.
"Hanya ocehan murahan tidak berpengaruh apa-apa untukku dad. Kumohon, aku bisa melewati hal ini dengan mudah. Lagi pula ada jasmine dan Laila disampingku."
Aku tahu, kedua orangtuaku berteman baik dengan orang tua teman-teman muslimku. Mereka memang tergabung dalam komunitas muslim yang saling melengkapi satu sama lain. Berangkat dari kesadaran akan nasib yang sama sebagai muslim australia. 
Rupanya kedua orangtuaku bisa menerima alasanku mengizinkanku sekolah di tempat pilihanku sendiri. Waktu itu dalam hati aku bersorak penuh kemenangan. 
Aku masih kebingungan untuk memilih gaun panjang yang cocok aku kenakan. Selain itu, aku juga harus mencocokkan warna dengan hijab yang akan aku pakai. By the way, aku memang cukup pandai untuk urusan padu padan pakaian. Jasmine yang selalu mengajari dan menceramahiku tentang pentingnya style dan hidup fashionable walau dengan memakai hijab sekali pun.
"Masih belum selesai juga?" Mom muncul di ambang pintu,"padahal sudah dua jam kau berdiri di depan cermin nania." 
Di tangannya terdapat setangkup panekuk dan cokelat panas yang masih mengepul di atas nampan.
Aku mendengus,"Aku bingung memilih gaun untuk ke pesta malam ini."
Mon menggelengkan kepalanya dan meraih sehelai gaun berwarna hitam legam yang sedari tadi tergeletak di atas lantai. "Yang ini sepertinya cocok, Nania."
"Warna hitam, Mon?"
"Ya. Kau harus percaya kepada Mom. Warna hitam sangat cocok untuk dikenakan di pesta malam, sayang."

Nania termangu dan meraih gaun hitam itu,"Oke, nania akan memakainya. Jadi, terimakasih banyak Mom."

Mom tersenyum dan berlalu meninggalkan kamarku."jangan lupa, Dad memanggilmu di ruang tamu."

Kali ini aku tak menanggapi perkataannya. Aku bisa menebak apa yang akan dikatakan dad kepadaku. Ia tak ingin aku keluar malam sendirian dan itu artinya Dad akan mengantarku ke pesta prom malam ini. Oh my...aku harap aku bisa mengajukan alasan yang masuk akal untuk menolak ide gila itu.

****
Dad menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapannya membuat aku kikuk dan bergerak tak nyaman. Dan itu memang terjadi karena gaun hitam itu agak sempit di pinggangku yang lumayan lebar.

"Jadi kau yakin akan mengikuti pesta prom malam ini?" Tanya dad dengan nada tak ubahnya seperti seorang hakim yang bertanya kepada seorang terdakwa.

Aku mengangguk.

"Tidak ada dansa dan alkohol?"

Untuk pertanyaan seperti ini aku harus menjelaskannya dengan diplomatis dan harus benar-benar meyakinkan. "Dad, semua orang juga tahu pesta prom tidak akan jauh dari dansa dan alkohol. Tapi aku....demi Allah, tak akan mengikuti kedua aktifitas jahanam itu. Aku hanya menghadiri acara seremonial. Itu saja."

Dad terdiam. Sementara mom hanya menatapku tanpa ekspresi.

"Oke, walaupun dad tidak setuju dengan hal ini, paling tidak Dad akan mengantarmu dengan syarat, jangan pulang melebihi jam sebelas malam." Ujar dad sembari manandaskan suapan terkahirnya. 

Mom menatap Dad, "Dan kau harus menjemputnya pada jam sebelas nanti."

Aku terkesiap. Diantar ke pesta saja sudah membuat perutku kram. Apalagi dijemput ketika pulang. Aku bisa memayangkan cemoohan teman-temanku dan mengataiku sebagai baby. Mengajakku sebagai anak kecil yang belum bisa mandiri. "Kau tidak perlu menjemputku Dad. Aku bisa pulang sendiri."

Mom membelalakan matanya." Apa?! Kau anak perempuan, Nania. Kau bukan anak lelaki yang bebas kelayapan tengah malam."

Aku semakin kikuk melihat sorot mata Mom yang terlihat jengkel. "Maksudku, aku akan diantar jasmine. Bukankah dia selalu membawa mobil?"

Dad terbatuk dan menatapku." Tapi tidak menjamin malam ini dia akan membawa mobilnya bukan."

"Jadi, jika kau memang perlu untuk dijemput, kau tinggal telpon Dad, nania. Kalau memang jasmine tidak 
Membawa mobilnya malam ini."ujar Mom sembari membereskan piring-piring kotor di atas meja makan. 

Aku menganggukkan kepaku dan tersenyum lebar. Tapi hatiku masih menyimpan rasa was-was dan kesal. Bagaimana mungkin aku harus pulang lebih awal dari teman-temanku. Dan satu hal yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa, Dad akan mengantarku ke pesta prom. Aku bisa membayangkan tatapan penuh ejekan. Siapa pun tak akan pernah ada yang berangkat ke acara pesta dengan diantar orang tuanya. Jika itu terjadi, kau akan menanggung malu dan dianggap konservatif.

*****

Malam itu langit bertabur bintang. Bulan dengan warna kelabu laksana tengkorak yang menggantung di ujung cakrawala selatan turut memeriahkan suasana malam. Semua teman-temanku sudah berkumpul di aula besar. Botol-botol tequila sudah diedarkan di setiap meja. Sementara aku sibuk mencari Jasmine, Laila, dan Amal. Tiga teman muslim ku yang selalu menemaniku kemana pun aku pergi. Tanpa mereka, aku seperti orang asing yang tersesat di planet lain. 

"Hai, rupanya kau masih memakai taplak meja di kepalamu ya." ujar seseorang dari arah sampingku.
Aku menoleh dan melihat Jocelyn dan Adam kekasihnya tengah memandangku dengan tatapan menyebalkan. 

"Aku kira aneh sekali jika kau masih berani memakainya di sini." Seru Simon dengan nada tinggi. Jelas ia memancing perhatian orang-orang di sekitarku.

"Jaga mulutmu Simon. Bisa jadi ia menyembunyikan bom dibalik kain itu dan melemparkannya ke arahmu kapan pun ia suka."timpal Jocelyn diiringi derai tawa teman-temannya.

Muka Nania merah padam mendengar kata-kata Jocelyn cs barusan. Ingin rasanya ia menghajar satu persatu dari mereka dengan membanting botol tequila ke arah muka mereka.

Tiba-tiba seseorang meraih tangan Nania dari arah samping. Nania kaget ketika mengetahui bahwa Jacob yang ternyata meraih tangannya. 
"Jangan hiraukan apa yang mereka katakan Nania." lirihnya dengan senyuman yang begitu tulus.

Aku tersipu dan segera melepaskan tangannya. Ia jadi teringat ceramah syeikh Ibrahim di masjid Sydney yang mengatakan bahwa seseorang perempuan dilarang bersentuhan dengan lelaki yang tidak punya hubungan darah atau mahram. Aku juga tak bisa memungkiri sentuhan barusan membuatku serasa terbang.
"Bagaimana kalau kita ngobrol di luar, Nania?" tawar Jacob masih dengan senyumannya yang lebar. Jocelyn cs hanya bisa mendengus dan berlalu ketika Jacob menatap mereka satu persatu dengan tatapan tajam seakan mengatakan : kalian semua pergi dari hadapanku.
Aku mengatur nafasku yang tidak karuan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Adrenalinku terpompa ketika aku harus berdekatan dengan lelaki sebaik dan setampan seperti Jacob. Hei, aku juga wanita normal bukan?
"Um....aku sedang menunggu teman-temanku Jacob."
"Siapa?"
"Yeah. Seperti yang kau tahu, aku sedang menunggu ketiga temanku yang biasa bersamaku."Maksudmu Jasmine, dan Laila dan....yang satu lagi siapa? Aku lupa namanya."
"Amal!" Jelasku ketika kulihat Jacob berpikir keras untuk mengingatnya. 
"Yeah, tepat. Amal si gadis pendiam dan tertutup itu."seru Jacob seakan baru saja menemukan berlian dari tong sampah rumahnya. "Tapi ngomong-ngomong, ada kabar mereka bertiga tidak akan datang ke pesta prom malam ini. 
"Benarkah? Jadi, hanya aku yang datang ke pesta malam ini?" Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa melewati malam ini tanpa kehadiran mereka bertiga.
"Just enjoy your time, nania." Ujar jacob. Ia meraih tequela dari atas meja."Kau mau minum?"
Ninia menatap tajam jacob."Aku tidak minum alkohol, Jacob."
"Oh, yeah. Aku hampir lupa akan hal itu. Tapi ini benar-benar fantastis. Yakin, kau tak ingin mencobanya?"
Nania menggedikan bahunya."Kalian tidak menyediakan minuman lain selain alkohol?"
"Ada sekeranjang susu dan beberapa cokelat panas di dalam. Mau kuambilkan?"
Nania mengangguk."Terimakasih."
Dan Jacob berlalu ke dalam ruangan.

Berkali-kali Nania melongokan kepalanya ke halaman depan. BerharaP ia melihat satu diantara ketiga temannya muncul dari arah depan. 
Jacob sudah kembali dengan segelas cokelat panas dan beberapa cookies."Ini untukmu."
Nania tersenyum dan mengambil gelas cokelat panas tersebut.
"Pesta prom malam ini benar-benar meriah Nania." Ujar Jacob.
Nania terdiam. Meriah bagaimana, sementara teman-teman muslimnya belum datang juga.
Nania mencoba mengirim pesan kepada Laila.
Laila, kamu tak akan membatalkan rencanamu untuk berangkat ke pesta prom bukan. Aku menunggumu. Bahkan Jasmine dan Amal pun belum datang.
Nania berharap Laila akan membalas sms-nya. Dan segera ia menekan tombol send.
"Hai Jacob. Maukah kau menemaniku dansa malam ini?" Clara tiba-tiba datang dari samping mereka.
Jacob tersenyum tipis dan melambaikan tangannya.
"Aku sedang tidak minat dansa Clara" Jacob menolak dengan halus tawaran gadis berambut blonde tersebut.
Clara tanpak kecewa. " Kau mau berdansa dengan Nania?"ujarnya sembari melirikku."Aku tidak yakin dengan hal ini."
"Apa urusanmu Clara? Toh aku tak akan pernah memaksa setiap gadis untuk menemaniku dansa. Begitu juga dengan kau."
Clara mendengus dan bergumam."Aku tak habis pikir. Kenapa kau tertarik dengan gadis konservatif seperti dia?"
Jacob akan membuka mulutnya ketika Clara berlalu dari hadapan mereka.
Jacob mendengus dan menatap Nania."lupakan kata-katanya barusan.
Aku hanya tersenyum. 
Handphonenya bergetar. Balasan dari Laila.
Maafkan aku Nania. Aku tak bisa pergi ke pesta prom. Begitu juga dengan Amal. aku tidak tahu mengenai jasmine.
Rasa kesal, sedih dan marah bercampur jadi satu dalam hatiku. Ada kemungkinan orang tua mereka melarang pergi ke pesta prom. Apagi laila. Nania tahu betul bagaimana orang tua laila yang sangat konservatif dan mengekang anaknya.
Maka aku menghubungi Jasmine untuk memastikan bahwa temanku yang satu ini akan berangkat ke pesta.
Jasmine, kau akan berangkat ke pesta malam ini?
Tak berapa lama handphoneku bergetar.
Yeah. Ofcourse. Aku sedang di jalan. Tunggu beberapa menit lagi.
Aku tersenyum membaca Smsnya. Bagaimana pun juga, aku butuh teman yang memang benar-benar 'teman' malam ini.

Tak berapa lama jasmine muncul dengan senyum yang sumringah. Kau jangan menyangka bahwa dia berani memakai hijab. Asal kau tahu, jasmine hanya memakai hijab ketika di elementary school dulu. Itu pun karena tuntutan seragam sekolah islam. Atau dia memakainya saat acara keluarga dan ketika menghadiri acara keluarga muslim. Orangtuanya tidak memaksanya untuk memakai hijab.
"Asalkan aku tidak meninggalkan shalat, Mom tidak mempersalahkan rambutku." Terangnya suatu hari ketika aku dan amal menyinggung soal rambut pirangnya yang tergerai indah.
Kala itu, Amal langsung melontarkan pertanyaan."tapi berhijab juga sama wajibnya dengan shalat. Itu juga perintah Allah yang tidak boleh kita beda-bedakan Jasmine."
Dan selama empat hari lamanya mereka berdua tidak saling sapa. Tapi itu tak bertahan lama. Aku dan Laila berusaha mendamaikan perseteruan mereka. 
Jasmine segera menghampiriku dan memelukku."aku kira kau tak bakalan datang."
Aku tersenyum."bahkan aku juga sempat khawatir kau juga tak datang."
"Amal dan laila tidak ikut. Mereka dilarang orang tuanya untuk menghadiri pesta prom. Orang tua kita mungkin mengira kita bakalan minum alkohol disini."
"Orang tuamu melarang juga?"tanyaku.
"Tidak. Mereka hanya mengingatkanku untuk tidak minum. Itu saja."jawabnya."Ngomong-ngomong, aku sudah ada janji dengan Edward. Aku pergi dulu Nania."
"Apa yang akan kau lakukan?"
Jasmine mengedipkan matanya."dansa Nania."
Aku terlonjak kaget. Lebih kaget lagi ketika Jacob mencengkeram lenganku dan mencondongkan mukanya ke arah mukaku hingga jaraknya tinggal beberapa centi saja.
Aku terkesiap dan mencoba melepaskan pegangannya."Sori Jacob! Aku tidak mau dan tidak pernah terpikirkan untuk melakukannya!"
Jacob terdiam. Mukanya merah padam."melakukan apa?"
"Kau....apa yang akan kau lakukan barusan? Menciumku?"
Jacob tertawa."Kau terlalu penakut dan phobia Nania. Tidak. Sama sekali aku tidak...."
"Lalu untuk apa kau mencondongkan mukamu ke arahku?"
Jacob terdiam. Ia memainkan botol tequila yang tinggal setengah. "I'm sorry." Kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku termenung. Amal dan laila tidak salah ketika mereka tidak hadir malam ini. Mom dan Dad tindak salah ketika mereka ingin aku sekolah di sekolah komunitas islam
 Hanya aku saja yang egois dengan segala kemauanku sendiri. Tak menunggu lama, aku menelpon Dad untuk menjemputku saat itu juga.


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment