Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya.begitulah sebuah peribahasa mengatakan. Menggambarkan bagaimana karakter dan kepribadian serorang anak tak akan jauh dari karakter dan kepribadian kedua orang tuanya. Akan tetapi pribahasa itu bukanlah sesuatu yang pasti dan tak selamanya berlaku.
Sejarah mencatat pembangkangan kan’an, anak seorang nuh yang dipilih sebagai utusan allah. Ada banyak factor yang mrnyebabkan ketidak sinkronan hal tersebut. Salah satunya adalah akibat salah kaprah dalam pergaulan dan suatu kebiasaan. Dan tampaknya hal itu juga terjadi pada diriku.
Telah kujalani leliku jalan kehidupan bersama alur zaman yang aku tak menyadari dengan perubahan-perubahan yang seakan aku tak sadar dengannya. Aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang sangat religious dan sangat kuat memegang teguh tradisi agama yang kental. Ayahku seorang pendakwah yang getol menyebarkan paham-paham salafussalih. Bahkan ayahku mengelola sebuah lembaga pesantren.
Ibuku, walaupun sebagai ibu rumah ntangga biasa dan hanya lulusan sd, beliau sangat memperhatikan pendidikan dan perkembangan agama anak-anaknya. Sejak usia dini, aku dadn saudara-saudaraku telah terbiasa dengan hapalan-hapalan alquran dan hadits. Bahkan aku habiskan wakrtuku sepulang sekolah di sekolah diniyah bapakku sampai jam lima sore Tapi rupanya jalan hidupku tidak seperti yang diharapkan kedua orang tuaku.
Aku mengenal dunia luar yang menawarkan keindahan semu. Majalah-majalah hedonis dan novel-novel remaja picisan yang ditawarkan teman-teman membiusku secara tidak sadar. Aku hidup dn berkembang dalam kungkungan tradisi dan “doktrin” ala anak muda modern Ada satu hal uyang paling mendominasi dari semua yang telah menjadi kepribadianku. Bahkan telah menjadikan aku sebagai pribadi ganda yang selalu membuatku terasa asing dengan diriku sendiri sekaligus aku menikmatinaya. Tak seorangpun tahu bagaiman isi hatiku. Walau bagaimanapun aku mengakui kenyataan bahwa aku sebagai seorang gay yang mencintai sesama jenis layaknya seorang perempuan mencintai lelaki.
Entah kenapa aku bisa menjadi seperti ini. Akan kah aku menyalahkan kehidupan dan mengambing hitamkan takdir tuhan? Yang kutahu aku pernah menjadi (maaf) “korban” dati seorang gay yang tak lain kakak kelasku sekaligus tetanggaku. Sehingga aku mul;ai terbiasa dengan hal itu. Ia selalu menjadikanku sebagai objek nafsu iblisnya. Dan entah iblis apa pula yang bersemayam di hatiku sehingga aku membiarkannya. Sulit kupercaya, seiring berjalannya waktu aku telah menjadi korban dari tiga orang gay. Dan aku semakin tak mengerti kenapa aku ditakdirkan untuk selalu bertemu dengan orang abnormal seperti itu, hingga aku menjadi sosok yang abnormal pula.
Disisi lain aku sudah tersugesti dengan ungkapan nakal teman-temanku. Mereka mengatakanku seorang banci hanya karena tidak suka olahraga pria semacam sepak bola. Sehingga pada akhirnya aku sulit menemukan teman lelaki yang bisa mengerti keadaanku dan aku mulai terbiasa bersahabat dengan banyak teman-teman perempuanku. Aku juga mengakuio bahwa aku seorang lelaki feminine. Hanya karena kedekatanku dengan sosok ibu disbanding seorang ayah. Ayah terkesan dingin dan acuh. Ia tak segan memberikan hukuman fisik jika aku salah. Berbeda dengan ibu, ia yang selalu menasihatiku dengan seulas senyum dan elusan lembut di kepalaku. Hingga aku suka derngan kelembutan dan itu sseiring berjalannya waktu telah menjadi karakter jiwaku.ditambah saudara-saudara kandungku yang semuanya perempuan. Otomatis aku lebih sering berinteraksi dengan makhluk yang cenderung lembut tersebut.
Akhir dari semua itu jadilah aku sebagai seorang lelaki yang tak suka dengan sifat ego dan kasar atau sifat apapun itu dan kebiasaan apapun itu yang menjadi identitas kejantanan.aku tak bisa keluar dari lingkaran itu. Menginjak bangku sma aku mengenal dunia pesanteren atas saran orang tua. Entah karena kebetulan atau apa aku kembali bertemu dengan orang semacam kaum nabi luth itu. Berkali- kali aku terjatuh pada lubang yang sama.
Berkali-kali pula aku telah membuat setan semakin berkuasa terhadap diriku yang lemah. Dan tak ada yang tahu dengan kondisi ini selain diriku sendiri dan orang yang menjadi “sahabat “ ku. Qadarullah, suatu malam di pertengahan tahun 2011, kesadaran itu atau lebih tepatnya hidayah allah mulai menyambangi hatiku yang tertutup nooda-noda kefasikan. Bermula ketika sahabat sekelasku, sebut saja namanya T. merasa tak senang dengan persabatanku dengan seorang kaka kelas kami, sebut saja D. T menyatakan bahwa D adalah banci iblis yang mengganggu hidupnya. Aku sangat marah mendengar apa yang telah ia katakan. Tak terima D yang merupakan sahabat dekatku yang selama ini banyak membantuku dalam berbagai hal dihina sedemikian rupa oleh teman sekelasku yang juga termasuk sahabt dekatku juga. Aku balik mendamprat T dan mengatainya sebagai seorang fasik karena telah menghina seorang muslim.
Ashtaghfirullah…betapa sukarnya hamba menjaga lidah ini ya allah.. T mengatakan bahwa dia tak suka aku berteman dengan D. aku menayankan apa alas an dia melarangku untuk bersahabat dengan dia. Bukankah bersahabat dengan siapa pun merupakan hak prifasi setiap orang? T hanya menggelengkan kepala dan akhirnya dia mengajakku untuk berbicara empat mata. Dia menceritakan sesuatu yang belum pernah aku bayangkan dan benar-benar membuatku terkrjut setengah mati. D ternyata menyukai T layaknya seorang perempuan terhadap teman prianya. T merasa jijik dan sangat frustasi mengetahui kenyataan terburuk yang harus ia alami itu.
Padahal yang ku tahu sebelumnya T dan D adalah teman yang bisa dibilang dekat . apalagi sama-sama aktif di organisasi OSIS dan ekskul pramuka. Demi allah, selama ini aku dekat dengan D hanya karena kepribadiannya yang lembut dan cenderung kalem. Sdahabat yang selama ini aku cari karena kesamaan sifat denganku. Dan aku benar-benar tak menyangka sekaligus tak menerima jiak kesamaan itu juga masuka pada sifat abnormal dan gila seperti itu.
Sebelumnya belum pernah terpikirkan dalam benakku bahwa dia seorang gay hanya karena sifatnya dan ledekan teman-temannya yang mengatai dia seorang banci. Bahkan beberapa kali ia curhat kepadaku ada seorang akhwat yang menarik perhatiannya. Bagiku, mustahil seorang gay menyukai perempuan. Ending dari semua itu tiba-tiba saja rasa benci menjalari hatiku. Aku tak nyaman melihat T menangis dadn tertekan. Tapi bukankah aku juga tak jauh beda dengan keadaan D selama ini. Bagaimana respon T jika seandainya dia tahu bahwa aku sama bejatnya.
Ah.. ya rabby… jangan kau biarkan aib hamba ini diketahui sahabat-sahabat terdekatku.tutupi aibku ya allah. Hatiku gerimis dan bergetar. Malam itu aku benar-benar menangis dan menangis. Aku saat itu sulit menerima kenyataan bahwa aku seorang gay. Suidah beberapa orang yang telah menjadi korban keddurjanaanku. Akankah mereka juga sama tertekannya seperti T jika mereka mengetahui keadaanku?
Sepanjang perajalanan hidupku empat orang gay telah mewarnai jiwa hinaku sekaligus membawaku pada kehidupan yang sama dengan mereka. Sebelumnya aku selalu berlindung dalam tembok hokum kausalitas.
Aku menjadi gay-menyukai sesame jenis untuk memeperturutkan hawa nafsu jiwaku yang penuh kelembutan- karena aku juga korban dari makhluk yang bernama gaya itu sendiri. Sebelumnya aku pernah membaca sebuah survey di sebuah majalah bahwa seorang gay adalah bagian dari mata rantai yang saling menyambung. Faktanya mengatakan bahwa seorang gay setidaknya pernah menjadi korban homoseksual pula sebelum menjadi seorang gay tulen.
Dari sinilah aku mencari perlindungan dan sejumput legalitas bahwa aku menjadi gay bukan karena kemauanku. Aku adalah korban mata rantai itu. Dan, malam itulah yang menjadi babak baru dalam perjalan hidupku. Aku menangis di hadapan rabbku. Menyesali atas apa yang selama ini aku lalui di lembah hitam kesesatanku. Semoga sepenggal kisah hidupku ini bisaa member pelajaran berharga kepada para pembaca semua dan generasi islam terhindar darai perbuatan kaum nabi luth itu. Wal‘iyadzubillah.
Cibeureum,tasikmalaya 7 nopember 2013
Seperti diceritakan AZZ Pada penulis
Kisah ini pernah di muat di laman bersamadakwah.net, majalah Ar-Risalah edisi Januari 2014 dan Majalah Elfata edisi Nopember 2016
No comments:
Post a Comment