Malikah tak pernah menginginkan untuk terpenjara pada masa
lalu yang menyesakan jiwanya. Tapi semakin dia berlari dari masa lalu, masa
lalu itu semakin mengejarnya dengan kenangan-kenangan yang tak pernah lekang.
Kenangan itu bernama cinta. Ya, cintanya kepada Rashed tak juga padam, bahkan
sekalipun bertahun-tahun kepedihan itu telah berlalu.
Semua berawal dari berita kematian yang mengguncang hidupnya.
Rashed dan Abdullah ditemukan telah membeku di Gunung Hood dalam sebuah pendakian
di musim dingin yang bersalju. Malikah bahkan menganggapnya itu mustahil, tapi
memang itu benar-benar terjadi.
Rasa tak percaya itu bukan tanpa asalan. Rashed telah
berjanji bahwa mereka akan segera menikah tiga hari setelah dia turun gunung.
Tapi nyatanya lelaki itu turun dengan meninggalkan nyawanya. Mengubur
harapan-harapan yang melambung dan membuatnya terjatuh pada jurang keputus
asaan. Semuanya tak mampu membuat dia bangkit.
“Malikah, kau harus menerima semua ini dengan lapang dada.
Ini sudah takdir Tuhan yang tak bisa kita pungkiri. “itu adalah nasihat kakak
iparnya, Sinniyah. Tepat ketika wanita yang lebih tua lima tahun dari Malikah
itu mengunjungi rumahnya di Portland.
Sinniyah adalah istri Abdullah, kakak lelaki Malikah yang
sama menjemput mautnya di gunung bersama Rashed. Tapi Sinniyah tanpaknya tak
lagi terkurung dengan rasa cinta yang mendalam kepada mendiang suaminya. Dua
tahun setelah itu dia menikah dengan Abdul Qadir, seorang lelaki Balkan yang
menawan hatinya dengan begitu mudah.
“Sinniyah, kau tidak akan mengerti tentang kondisi hatiku
yang sesungguhnya. Aku tidak seperti kamu.” Malikah memberi tekanan pada
kalimat keduanya. ‘Aku tidak seperti kamu’. Bukan tanpa alasan dia mengatakan
hal itu. Karena kedatangan Sinniyah hari itu adalah untuk mempengaruhi Malikah
tentang perkawinan. Sinniyah mengatakan bahwa ada seorang lelaki Bangladesh bernama
Salaudin menyukainya.
Sinniyah tentu tersinggung dengan apa yang dikatakan Malikah.
Seakan-akan Malikah mengatakan dengan tidak langsung bahwa dirinya seorang
wanita yang tidak setia. Wanita yang mudah melupakan cinta di masa lalunya.
“Asal kau tahu Malikah. Saya masih mencintai Abdullah seperti
kau mencintai Rashed. Tapi aku tak bisa mengabaikan realita.”
“Ya, kau tidak paham bahwa realitanya aku masih mencintai
Rashed dan tidak akan pernah ada yang bisa menggantikannya.”
Sinniyah mengela nafas, “Mau sampai kapan kau akan terus
seperti ini?” Tanya Sinniyah. Dia masih tidak habis pikir dengan keteguhan
sikap Malikah.
Malikah bangkit dari duduknya dan menghampiri Sinniyah yang
berdiri di ambang jendela menatap hamparan salju yang memutih di luar rumah.
“Asal kau tahu,” bisik Malikah sembari menatap mata Sinniyah,
“Aku menolak Salaudin bukan karena aku tidak bisa melepas Rashed dari
ingatanku. Alasan yang sesungguhnya lebih dari itu.”
“Apa?” Tanya Sinniyah dengan binar tanda tanya di matanya.
“Karena Salaudin seorang lelaki gunung. Kau tahu bahwa Tuhan
telah mengambil harapan dan cintaku di gunung. Dan aku tak ingin hal itu
terjadi untuk yang kedua kalinya.”
Sinniyah menghela napas berat. Ya, memang dia mengatakan
bahwa Salaudin seorang anggota Portland Mountain Rescue. Lelaki Bangladesh itu
juga tak jauh beda dengan Rashed, seorang pria yang menyukai pendakian sehingga
mendedikasikan hidupnya di tim penyelamat para pendaki.
“Kenapa?” tanya Malikah
“Maksudmu?” tanya Sinniyah. Pertanyaan yang dilontarkan
Malikah masih mengambang dan tak bisa dia pahami dengan cepat.
“Kenapa kau menawariku untuk menikah dengan seorang pria yang
menyukai gunung. Kau tahu gunung adalah mimpi buruk bagiku. Gunung telah
merenggut semua harapanku.”
“Kau hanya perlu berdamai dengan takdir. Kau hanya perlu rela dengan semua ketentuan
Tuhan Malikah.”
***
Hari itu Malikah berkunjung ke apartemen Sinniyah di Gresham untuk mengambil beberapa buku yang ingin dia pinjam dari kakak iparnya itu. Dan
sungguh bukan satu hal yang diinginkannya, Salaudin ada di sana, mereka tengah
mempersiapkan pendakian bersama Abdul Qadir.
“Kau membiarkan suami keduamu menantang maut?” tanya Malikah
kepada Sinniyah. Ketika dia menemuinya di dapur. Perempuan itu sibuk mengemas
beberapa bahan makanan yang akan dibawa suaminya.
“Jangan terlalu berlebihan Malikah. Kita tidak pernah tahu
rencana Tuhan. Kita juga tidak bisa mendikte Tuhan. Lagi bula bukan berarti
gunung selalu berkonotasi dengan kematian, bukan?”
Sinniyah membiarkan Malikah terdiam dengan kedongkolannya.
Tapi diam-diam Malikah merasakan kekhawatiran yang sama ketika dia melihat
kedua lelaki itu berangkat menantang gunung Hood. Persis seperti Rashed dan
Abdullah yang meninggalkannya beberapa tahun yang lalu.
Malam itu Malikah menginap di rumah Sinniyah. Tapi entah
bagaimana hatinya tak tenang dan memikirkan Salauidin dan suami Sinniyah. Tapi
untuk apa dia memikirkan orang lain? Salaudin bukan siapa-siapa dirinya. begitu
juga dengan Abdul Qadir, dia hanya suami bekas kakak iparnya yang selalu
menganggapnya seperti adik kandung sendiri.
Diam-diam Malikah malu mengakuinya, bahwa dia diam-diam
memiliki perasaan khusus terhadap lelaki bernama Salaudin itu. Dia tidak berani
mencintai lelaki gunung hanya karena dia takut kehilangan untuk yang kedua
kalinya, bukan karena tidak bisa memalingkan cintanya dari Rashed.
***
Sinniyah dan Malikah memperhatikan setiap kata yang
dilontarkan oleh penyiar televisi lokal. Sejak kemarin diberitakan bahwa tiga
orang pendaki telah tersesat di pegunungan Hood dan tentu saja dua diantara
mereka adalah Abdul Qadir dan Salaudin. Abdul Qadir menelpon Sinniyah untuk
terakhir kalinya di sore hari kemarin, dan setelah itu Sinniyah tidak bisa
menelpon suaminya.
Semua semakin membuat mereka gelisah ketika Portland Mountain
Recue tidak menemukan hasil yang memuaskan selain mengumumkan bahwa mereka akan
terus mencari. Sungguh aneh, mereka mencari rekan mereka sendiri yang terjebak
di badai salju di atas gunung Hood. Bukankah Salaudin seorang anggota tim
mereka?
Pada akhirnya, di pagi hari yang tidak berbadai, penyiar lokal mengumumkan bahwa para tim
penyelamat telah menemukan para pendaki itu dengan kondisi yang mengenaskan di
tengah cuaca yang dingin. Ya, mereka pada akhirnya bisa menghembuskan napas
dengan lega. Malikah hanya bisa memuji Tuhan dan menyeka air mata yang menganak
sungai di kedua matanya.
Air mata itu semakin deras mengalir ketika Abdul Qadir dan
Salaudin datang dengan senyum mereka yang mengembang. Malikah menyambut suaminya
dengan pelukan dan isakan tangis. Pun Malikah menangis. Dia bukan hanya
menangis karena gembira mereka kembali dengan selamat. Tapi dia juga menangis
karena ada kesunyian di hatinya.
Bagaimana tidak, kini Salaudin yang diam-diam dia menyimpan perasaan
untuknya telah memiliki tambatan hati. Lihatlah, dia kini disambut oleh seorang
wanita berparas oriental dengan tatapan yang berbinar cerah. Namanya A ling.
Seorang wanita mualaf yang sejak kemarin menginap di rumah Sinniyah sejak
mengetahui bahwa lelaki yang telah menikahinya sejak tiga bulan yang lalu
terjebak di gunung Hood.
Malikah tentu tak bisa menyalahkan siapa-siapa selain
menyalahkan dirinya sendiri. Dia terlalu mementingkan egonya sendiri, hingga
pada akhirnya hatinya yang rapuh mengakui bahwa dia mencintai Salaudin setelah
lelaki itu menikah. Ya, penyesalan memang selalu datang di akhir kisah. Dan dia
menyesal, tapi berharap bisa belajar dari penyesalan tersebut.
Bahwa kini dia harus berdamai dengan takdir sehingga tidak
terpenjara masa lalu.
Ayo bergabung sekarang juga bersama kami di Fans^^betting ^_^
ReplyDeleteKesempatan dapat Uang ... share ya 5.E.E.8.0.A.F.E. F4n5833771n9 ^_^
ReplyDelete