13 Mar 2018

Berdamai Dengan Takdir


Malikah tak pernah menginginkan untuk terpenjara pada masa lalu yang menyesakan jiwanya. Tapi semakin dia berlari dari masa lalu, masa lalu itu semakin mengejarnya dengan kenangan-kenangan yang tak pernah lekang. Kenangan itu bernama cinta. Ya, cintanya kepada Rashed tak juga padam, bahkan sekalipun bertahun-tahun kepedihan itu telah berlalu.

Semua berawal dari berita kematian yang mengguncang hidupnya. Rashed dan Abdullah ditemukan telah membeku di Gunung Hood dalam sebuah pendakian di musim dingin yang bersalju. Malikah bahkan menganggapnya itu mustahil, tapi memang itu benar-benar terjadi.

Rasa tak percaya itu bukan tanpa asalan. Rashed telah berjanji bahwa mereka akan segera menikah tiga hari setelah dia turun gunung. Tapi nyatanya lelaki itu turun dengan meninggalkan nyawanya. Mengubur harapan-harapan yang melambung dan membuatnya terjatuh pada jurang keputus asaan. Semuanya tak mampu membuat dia bangkit.

“Malikah, kau harus menerima semua ini dengan lapang dada. Ini sudah takdir Tuhan yang tak bisa kita pungkiri. “itu adalah nasihat kakak iparnya, Sinniyah. Tepat ketika wanita yang lebih tua lima tahun dari Malikah itu mengunjungi rumahnya di Portland.

Sinniyah adalah istri Abdullah, kakak lelaki Malikah yang sama menjemput mautnya di gunung bersama Rashed. Tapi Sinniyah tanpaknya tak lagi terkurung dengan rasa cinta yang mendalam kepada mendiang suaminya. Dua tahun setelah itu dia menikah dengan Abdul Qadir, seorang lelaki Balkan yang menawan hatinya dengan begitu mudah.

“Sinniyah, kau tidak akan mengerti tentang kondisi hatiku yang sesungguhnya. Aku tidak seperti kamu.” Malikah memberi tekanan pada kalimat keduanya. ‘Aku tidak seperti kamu’. Bukan tanpa alasan dia mengatakan hal itu. Karena kedatangan Sinniyah hari itu adalah untuk mempengaruhi Malikah tentang perkawinan. Sinniyah mengatakan bahwa ada seorang lelaki Bangladesh bernama Salaudin menyukainya.

Sinniyah tentu tersinggung dengan apa yang dikatakan Malikah. Seakan-akan Malikah mengatakan dengan tidak langsung bahwa dirinya seorang wanita yang tidak setia. Wanita yang mudah melupakan cinta di masa lalunya.

“Asal kau tahu Malikah. Saya masih mencintai Abdullah seperti kau mencintai Rashed. Tapi aku tak bisa mengabaikan realita.”

“Ya, kau tidak paham bahwa realitanya aku masih mencintai Rashed dan tidak akan pernah ada yang bisa menggantikannya.”

Sinniyah mengela nafas, “Mau sampai kapan kau akan terus seperti ini?” Tanya Sinniyah. Dia masih tidak habis pikir dengan keteguhan sikap Malikah.

Malikah bangkit dari duduknya dan menghampiri Sinniyah yang berdiri di ambang jendela menatap hamparan salju yang memutih di luar rumah.

“Asal kau tahu,” bisik Malikah sembari menatap mata Sinniyah, “Aku menolak Salaudin bukan karena aku tidak bisa melepas Rashed dari ingatanku. Alasan yang sesungguhnya lebih dari itu.”

“Apa?” Tanya Sinniyah dengan binar tanda tanya di matanya.

“Karena Salaudin seorang lelaki gunung. Kau tahu bahwa Tuhan telah mengambil harapan dan cintaku di gunung. Dan aku tak ingin hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya.”

Sinniyah menghela napas berat. Ya, memang dia mengatakan bahwa Salaudin seorang anggota Portland Mountain Rescue. Lelaki Bangladesh itu juga tak jauh beda dengan Rashed, seorang pria yang menyukai pendakian sehingga mendedikasikan hidupnya di tim penyelamat para pendaki.

“Kenapa?” tanya Malikah

“Maksudmu?” tanya Sinniyah. Pertanyaan yang dilontarkan Malikah masih mengambang dan tak bisa dia pahami dengan cepat.

“Kenapa kau menawariku untuk menikah dengan seorang pria yang menyukai gunung. Kau tahu gunung adalah mimpi buruk bagiku. Gunung telah merenggut semua harapanku.”

“Kau hanya perlu berdamai dengan takdir. Kau hanya perlu rela dengan semua ketentuan Tuhan Malikah.”

***

Hari itu Malikah berkunjung ke apartemen Sinniyah di Gresham untuk mengambil beberapa buku yang ingin dia pinjam dari kakak iparnya itu. Dan sungguh bukan satu hal yang diinginkannya, Salaudin ada di sana, mereka tengah mempersiapkan pendakian bersama Abdul Qadir.

“Kau membiarkan suami keduamu menantang maut?” tanya Malikah kepada Sinniyah. Ketika dia menemuinya di dapur. Perempuan itu sibuk mengemas beberapa bahan makanan yang akan dibawa suaminya.

“Jangan terlalu berlebihan Malikah. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan. Kita juga tidak bisa mendikte Tuhan. Lagi bula bukan berarti gunung selalu berkonotasi dengan kematian, bukan?”

Sinniyah membiarkan Malikah terdiam dengan kedongkolannya. Tapi diam-diam Malikah merasakan kekhawatiran yang sama ketika dia melihat kedua lelaki itu berangkat menantang gunung Hood. Persis seperti Rashed dan Abdullah yang meninggalkannya beberapa tahun yang lalu.

Malam itu Malikah menginap di rumah Sinniyah. Tapi entah bagaimana hatinya tak tenang dan memikirkan Salauidin dan suami Sinniyah. Tapi untuk apa dia memikirkan orang lain? Salaudin bukan siapa-siapa dirinya. begitu juga dengan Abdul Qadir, dia hanya suami bekas kakak iparnya yang selalu menganggapnya seperti adik kandung sendiri.

Diam-diam Malikah malu mengakuinya, bahwa dia diam-diam memiliki perasaan khusus terhadap lelaki bernama Salaudin itu. Dia tidak berani mencintai lelaki gunung hanya karena dia takut kehilangan untuk yang kedua kalinya, bukan karena tidak bisa memalingkan cintanya dari Rashed.

***

Sinniyah dan Malikah memperhatikan setiap kata yang dilontarkan oleh penyiar televisi lokal. Sejak kemarin diberitakan bahwa tiga orang pendaki telah tersesat di pegunungan Hood dan tentu saja dua diantara mereka adalah Abdul Qadir dan Salaudin. Abdul Qadir menelpon Sinniyah untuk terakhir kalinya di sore hari kemarin, dan setelah itu Sinniyah tidak bisa menelpon suaminya.

Semua semakin membuat mereka gelisah ketika Portland Mountain Recue tidak menemukan hasil yang memuaskan selain mengumumkan bahwa mereka akan terus mencari. Sungguh aneh, mereka mencari rekan mereka sendiri yang terjebak di badai salju di atas gunung Hood. Bukankah Salaudin seorang anggota tim mereka?

Pada akhirnya, di pagi hari yang tidak berbadai, penyiar lokal mengumumkan bahwa para tim penyelamat telah menemukan para pendaki itu dengan kondisi yang mengenaskan di tengah cuaca yang dingin. Ya, mereka pada akhirnya bisa menghembuskan napas dengan lega. Malikah hanya bisa memuji Tuhan dan menyeka air mata yang menganak sungai di kedua matanya.

Air mata itu semakin deras mengalir ketika Abdul Qadir dan Salaudin datang dengan senyum mereka yang mengembang. Malikah menyambut suaminya dengan pelukan dan isakan tangis. Pun Malikah menangis. Dia bukan hanya menangis karena gembira mereka kembali dengan selamat. Tapi dia juga menangis karena ada kesunyian di hatinya.

Bagaimana tidak, kini Salaudin  yang diam-diam dia menyimpan perasaan untuknya telah memiliki tambatan hati. Lihatlah, dia kini disambut oleh seorang wanita berparas oriental dengan tatapan yang berbinar cerah. Namanya A ling. Seorang wanita mualaf yang sejak kemarin menginap di rumah Sinniyah sejak mengetahui bahwa lelaki yang telah menikahinya sejak tiga bulan yang lalu terjebak di gunung Hood.

Malikah tentu tak bisa menyalahkan siapa-siapa selain menyalahkan dirinya sendiri. Dia terlalu mementingkan egonya sendiri, hingga pada akhirnya hatinya yang rapuh mengakui bahwa dia mencintai Salaudin setelah lelaki itu menikah. Ya, penyesalan memang selalu datang di akhir kisah. Dan dia menyesal, tapi berharap bisa belajar dari penyesalan tersebut.

Bahwa kini dia harus berdamai dengan takdir sehingga tidak terpenjara masa lalu.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

2 comments:

  1. Ayo bergabung sekarang juga bersama kami di Fans^^betting ^_^

    ReplyDelete
  2. Kesempatan dapat Uang ... share ya 5.E.E.8.0.A.F.E. F4n5833771n9 ^_^

    ReplyDelete